Mohon tunggu...
barrotunzahidah
barrotunzahidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka menulia artikel

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kaidah Kebahasaan dalam Tafsir

11 Desember 2024   10:30 Diperbarui: 11 Desember 2024   10:27 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Penduduk bangsa Arab terkenal dengan julukan ashab al-fashahah (fasih berbahasa) dan ahl al-balaghah (memiliki cita rasa bahasa tinggi), pada kenyataannya tidak ada yang mampu menandingi keindahan bahasa Al-Qur'an.

Dalam surah Az-Zukhruf ayat 3 Allah berfirman:

Artinya: Kami menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab agar kamu mengerti. (QS. Az-Zukhruf: 3).

Ditegaskan pada ayat tersebut menjelaskan bahwa firman Allah swt disampaikan dalam berbahasa Arab. Maka perlu diketahui makna-makna yang terkandung dalam firman Allah swt agar pesan-pesan Al-Qur'an bisa tersampaikan kepada halayak umat manusia khususnya umat Islam, sehingga penafsiran Al-Qur'an merupakan sebuah kepastian yang tidak dapat dihindari dan sangat dibutuhkan. Pada saat itulah, kaidah-kaidah kebahasaan berperan penting untuk mencapai pemahaman yang baik dan benar. Quraish Shihab menyatakan salah satu keistimewaan bahasa Arab adalah adanya i'rab. Dengan demikian Al-Qur'an harus dipahami dan ditafsirkan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah bahasa Arab, karena dengan menguasai kaidah kebahasaan mampu memudahkan seseorang dalam menafsirkan Al-Qur'an agar dapat kita ketahui kemuliaan nilai-nilai dan kedudukan Al-Qur'an. Menurut Imam Az-Zarwani sebagaimana dikutip beliau menjelaskan bahwa dikategorikan sebagai produk tafsir terendah ialah orang yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai seorang mufasir (memahami kaidah hebahasaan). Dengan demikian, sudah pasti apabila Bahasa Arab dan Al-Qur'an mempunyai peran paling penting dalam studi-studi keislamaan.

B.Hasil dan Pembahasan

1.Pendapat Ulama Mengenai Tafsir

Tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan kata-kata Al-Qur'an serta cara pengungkapan petunjuk,kandungan hukum dan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Kata tafsir berasal dari bahasa Arab al-tafsir (), yang masih diperdebatkan masalah muasal (istihqaq) nya. Banyak dari beberapa pendapat ulama tentang tafsir dapat disimpulakan definisi tafsir secara bahasa yaitu membuka dan menjelaskan sesuatu yang belum jelas. Sedangkan menurut istilah ulama juga belum ada kesepakatan dalam mendefinisikannya. Terkadang istilah al-tafsir diselaraskan dengan al-ta'wil yang asalnya dari kata al-awla dengan mengikuti wazan taf'il yang bermakna kembali pada keadaan semula. Hal itu merupakan salah satu dari beberapa arti dari kata al-awla. Tafsir Al-Qur'an memiliki kisah panjang dengan berbagai tokoh yang berperan didalamnya.

Sejarah tafsir bermula pada penafsiran oleh Nabi saw, dikala menjumpai ayat-ayat Al-Qur'an yang belum jelas maknanya para sahabat langsung menemui Nabi saw agar menerangkan ayat-ayat tersebut. Meski demikian, tidak semua ayat-ayat dalm Al-Qur'an diterangkan oleh beliau. Nabi hanya menjelaskan ayat yang maknanya tidak dimengerti para sahabat. Seperti ayat yang bersifat global dan sulit dipahami, yang masih butuh kejelasan dan juga ayat yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang pandai dan cerdas. Begitu juga ayat-ayat yang hanya diketahui oleh Allah tidak di ketahui seorangpun seperti ayat yang menjelaskan tentang hal-hal ghaib, terjadinya hari kiamat dan hakikat ruh. Nabi saw tidak menjelaskan ayat-ayat yang sudah bisa dipahami dari aspek kebahasaan dan ayat-ayat yang berisi sesuatu yang dapat dinalar. Sehabis kemangkatan Nabi, sahabat yang berperan paling dekat dalam peristiwa pewahyuan menjadi penerus Nabi dalam penafsiran Al-Qur'an. Meski begitu, dikarenakan tidak semua sahabat memiliki kemampun akal dan pemahaman yang sama menyebabkan perbedaaan dalam menangkap dan memahami makna Al-Qur'an. Para sahabat memiliki empat sumber dalam menafsirkan Al-Qur'an, yaitu Al-Qur'an, hadits, ijtihad, dan keterangan ahli kitab yaitu Yahudi dan Nasrani. Pada awalnya para sahabat mencari dalam Al-Qur'an dalam menafsirkan suatu ayat, jika tidak menjumpai ayat yang dapat menafsirkannya mereka berganti pada hadits Nabi saw, apabila tidak menjumpai ayat Al-Qur'an dan hadits yang dapat menafsirkannya, maka dilakukanlah ijtihad dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Tahap selajutnya jika memang sudah tidak menjumpai apapun dalam Al-Qur'an dan hadits yang dapat digunakan sebagai landasan dalam penafsiran Al-Qur'an, maka dilakukanlah sahabat menyandarkan penafsirannya pada orang-orang Yahudi dan Nasrani, hanya beberapa ayat yang ada sangkut pautnya dengan kitab Taurat dan Injil yang ditanyakan oleh para sahabat, seperti ayat-ayat mengenai cerita-cerita nabi dan umat-umat terdahulu yang memang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an. Meskipun demikian, sahabat tetap memilah dan memilih dari apa yang disampaikan oleh Ahli Kitab apakah sesuai dengan Akidah dan Syari'at islam atau tidak. Sumber rujukan dari Ahli Kitab tersebut dilalukan hanya sebagai aspek nasehat (al-'izah) dan pelajaran (al-'ibrah) yang terkandung dalam ayat tersebut.

Sesudah berakhirnya generasi sahabat, berlanjutlah dengan generasi para tabi'in, dari para tabi'in inilah, tafsir berkembang pesat menyebar ke berbagai penjuru daerah sehingga mudah dijangkau oleh umat islam pada masa itu. Pergerakan tafsir pada masa tabi'in tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya dalam mengambil sumber rujukan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dan para tabi'in juga sangat berhati-hati dalam periwayatan tafsir yang diperoleh dari pendahulunya. Perbedaan penafsiran tabi'in dan sahabat hanyalah pada frekuensi penafsiran tabi'in lebih banyak dibandingkan dengan penafsiran dari para sahabat dan juga rujukan kepada Ahli Kitab juga semakin mudah dan sering dilakukan. Hal tersebut menghasilkan semakin luasnya wilayah islam, yang pada akhirnya membutuhkan penafsiran beberapa ayat yang belum sempat ditafsirkan oleh para sahabat, serta hal tersebut juga menyebabkan semakin banyaknya orang non Arab khususnya dari Ahli Kitab yang masuk islam mereka ingin memperdalam pengetahuan tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang mengisahkan cerita-cerita Isroiliyat. Sejak dimulainya pembukuan pada hadits Nabi pergerakan tafsir mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat. Dalam pengumpulkan Hadits seputar tafsir yang kemudian menjadi sebuah kitab tafsir, para ulama belum menemukan kesepakatan siapa yang menjadi tokoh pertama yang mengumpulkannya. Tafsir masa itu masih mengfungsikan metode riwayat dari Hadits Nabi, sahabat ataupun tabi'in dan ulama-ulama sesudahnya (tabi' al-tabi'in) lengkap beserta sanadnya. Mereka sering mengambil pemikiran para ulama dan mereka juga mengambil beberapa tafsir sebelumnya beserta dengan sanadnya yang sampai pada pengarang kitab tafsirnya. Berkat kepemimpinan Dinasti 'Abbasiyah perkembangan tafsir pada periode ini mengalami kemajuan yang sangat berarti, sehingga usaha-usaha penulisan dalam berbagai aspek keilmuan mendapat perhatian yang cukup besar. Tafsir yang pada awalnya hanya bersandar pada riwayat Hadits Nabi, sahabat, tabi'in, (naql riwayat) pada periode ini mulai bergerak meluas ke wilayah nalar-ijtihad ('aqli). Hal tersebut tampak dengan meningkatnya fanatisme bermadzhab dalam fikih, aliran-aliran ilmu kalam sampai pada bidang tata bahasa Arab (nahw-sarf). Dalam menafsirkan mereka menyesuaikan dengan golongan atau bidang keahliannya. Berikutnya pergerakan tafsir mulai berganti arah dan metode. Selanjutnya tafsir berubah mengarah pada kajian-kajian tematik (mawdu'i) dari segenap sisi Al-Qur'an beserta ilmu-ilmunya. Beberapa tokoh yang menggunakan metose tematik diantaranya adalah Mahmud Shaltut (w. 1963 M), Amin al-Khuli (w. 1978 M), 'Aishah Abd al-Rahmah bint al-Shati (w. 2000 M), dalam kitab tafsirnya al-Tafsir al-Bayani li al-Qur'a al-Karim.

2.Kegunaan dan tingkatan kaidah kebahasaan dalam tafsir

Kaidah-kaidah tafsir adalah aturan-aturan atau azas-azas yang dijadikan dasar ketetapan untuk membantu mufasir dalam menyimpulkan makna dan pesan-pesan Al-Qur'an serta menjelaskan ayat-ayat yang dirasa susah (musykilah) berdasarkan Nahwu, Sharaf dan Balaghah, yang menjadi bagian ilmu yang secara khas bersangkutan dengan Bahasa Arab. Dan semua pihak telah sepakat bahwa dalam beberapa ayat Al-Qur'an secara tegas Allah telah menyatakan bahwa Bahasa Arab telah dipilih sebagai sistem isyarat dalam pewahyuan Al-Qur'an. Bagi umat muslim bahasa Arab sebagai bahasa wahyu (Al-Qur'an) memiliki arti penting. Selain ia menjadi bahasa yang dipilih oleh Allah, ia juga sebagai bahasa peribadatan. Hal tersebut disebabkan Al-Qur'an dinilai sebagai bagian dari ajaran agama karena Al-Qur'an merupakan serangkaian firman Allah. Betapa pentingnya kaidah kebahasaan dalam memahami atau menafsirkan Al-Qur'an tidaklah sesuatu yang hanya bersifat formalitas, melainkan ia adalah sesuatu yang harus diketahui makna dan kedudukan sebuah ayat Al-Qur'an darinya agar dapat dipahami serta mengapresiasikannya kedalam tingkah laku kehidupan sehari-hari. Seseorang yang ingin memahami Al-Qur'an harus juga memahami kaidah bahasa yang berfungsi sebagai penuntun dalam memahami Al-Qur'an, itu pun tidak lepas dari kritik, hal itu berlaku karena faktor bahasa itu sendiri yang memiliki keterbatasan dalam mengungkapkan sifat dan makna apa adanya sebenarnya. Maka perlu perangkat pendukung lainnya, seperti orang yang akan mendalami Al-Qur'an tidak dapat memaksakan kemauan atau pendapat diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun