Dikalangan teman-teman saya yang dulunya protes setiap ditanya kapan menikah dan mereka lebih terobsesi dengan pekerjaan dan jenjang karir, sampai akhirnya mereka menggapai apa yang mereka cita-citakan tapi mengabaikan yang namanya pernikahan. Banyak diantara mereka yang sudah berusia matang (40 hingga 50-an) tapi masih melajang. Baik cewek maupun cowok.Â
Setelah mereka meraih semua yang diimpikan tetap ada satu ruang yang dianggap kosong yaitu ruang batin. Mereka feel lonely ditengah pencapaian-pencapaian yang mereka raih.
"Seandainya dulu gue cepat menikah, mungkin hidup gue sudah sempurna,ya. Karir ada, kehidupan mapan, punya anak dan istri." Ujar teman sambil berkhayal. "Dulu, gue paling benci ketika ditanya,"Kapan Nikah?" Â eh, sekarang gue baru menyadari pertanyaan itu adalah wujud kepedulian mereka terhadap kita." Â Lanjutnya.
Begitu juga dengan teman saya yang perempuan. Karirnya di dunia pertelevisian, perbankan, perusahaan asing rata-rata hidup mereka  cukup mentereng. fasilitas yang dia terima pun cukup membuat gajinya yang tembus diangka 30 hingga 50 jutaan perbulan tidak terganggu. Karena, tunjangan dari perusahaan justru cukup berlimpah yang dia rasakan. Hanya saja, sekarang dia merasakan kesepian yang teramat kronis. Kemapanan tidak menjamin hidupnya bahagia.
"Gue sering menangis kalo lagi sendiri, lho. Gue menyesal dengan kesombongan gue dulu. Gue dulu terlalu ambisi pengen sukses tapi mengabaikan ajakan pacar gue menikah. Setelah sukses ternyata gue merasa nothing." Isaknya.
Begitulah yang dialami kakak saya, dua anak perempuannya sudah memasuki usia 30 tahunan tapi belum juga menikah. Bahkan ketika ditanya kapan menikah, mereka langsungs ewot. Saat ini mereka tengah menikmati pekerjaan dan karir mereka yang terlihat baik.Â
Bagi kakak saya, karir bukanlah hal yang utama dimata orangtua. Yang mereka resahkan adalah ketika usia mereka terlalu matang untuk menikah terlalu banyak yang dikhawatirkan.Â
Salah satunya sulit memiliki keturunan. Untuk saat ini, mereka lebih memilih diam sejenak dan mengikuti kemauan anak-anaknya sambil memantau sampai kapan mereka akan menyadari kalau apa yang selama ini yang di khawatirkan orangtua adalah wujud dari perhatian bukan mau ikut campur akan kehidupan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H