Menjelang Lebaran tiba, hal yang paling ditakutkan saat berkumpul bersama keluarga oleh anak muda Gen Z adalah pertnyataan," Kapan menikah?".Sehingga, setiap ada pertemuan keluarga atau kumpul bersama keluarga besar, mereka lebih memilih menghindar supaya terbebas dari pertanyaan-pertanyaan "basi" bagi mereka.
Dulu, saya pun merasakan hal demikian. Ketika usia 20-an saya paling malas ikut berkumpul bersama keluarga besar di hari besar seperti Natal dan Tahun Baru. Saya memilih pergi bersama teman-teman ketimbang berbaur dengan keluarga. Karena sering muncul pertanyaan-pertanyaan yang tidak diinginkan. Â Menurut saya tidak penting dan sangat annoying.
Bahkan muncul pertanyaan juga dari para Gen Z, apakah pertanyaan "Kapan menikah?" itu wujud dari perhatian atau sekedar kepo saja? Mereka beranggapan kalau pertanyaan itu hanya sekedar kepo. Pengen tahu urusan anak muda.
Untungnya saya menikah diusia yang sesuai dengan target. Dulu saya bercita-cita menikah paling cepat diusia 28 tahun dan paling lama 30 tahun. Menurut saya itu usai yang ideal untuk laki-laki menikah.Â
Meski menurut saya, sesungguhnya tidak ada usia ideal untuk menikah. Ada yang menikah di usia 30-an tapi rumah tangganya berantakan. Â Ada yang menikah di 20 early, eh rumah tangganya awet-awet saja. Jadi, usia berapa pun menikah tidak akan menjadi patokan menikah itu aman atau tidak.
Menjelang usia 30 tahun saya menikah. Dan saya terbebas dari pertanyaan kapan menikah tapi masuk ke episode berikutnya ,"kapan punya anak?" Hmmm... never ending question!
Akhirnya saya sadar, ketika muncul pertanyaan "Kapan menikah?" oleh orang-orang tua kita. Sesungguhnya mereka bukanlah mau ikut campur urusan anak-anak mereka. Melainkan wujud dari kepedulian mereka untuk kelangsungan hidup para anak muda. Karena, ketika mereka  terlena  dengan ke independen-an, akhirnya mereka suka lupa kalau waktu terus berjalan dan usia terus berjalan.Â
Jika mereka melontarkan pertanyaan seperti di atas, tentu mereka juga faham kalau pertanyaan tersebut ditujukan untuk mereka yang sudah memasuki usia 20 dan 30 tahunan.Â
Karena usia-usia tersebut merupakan usia yang sangat ideal untuk berumah tangga. Â Jika sudah melewati usia tersebut tapi belum menikah, percayalah, orangtua akan resah dan gelisah akan kehidupan anaknya.Â
"Ini, anak saya mau menikah atau nggak,sih?" ujar mereka ketika bertemu dengan sesame orangtua yang anaknya masih lajang di usia matang.
Dikalangan teman-teman saya yang dulunya protes setiap ditanya kapan menikah dan mereka lebih terobsesi dengan pekerjaan dan jenjang karir, sampai akhirnya mereka menggapai apa yang mereka cita-citakan tapi mengabaikan yang namanya pernikahan. Banyak diantara mereka yang sudah berusia matang (40 hingga 50-an) tapi masih melajang. Baik cewek maupun cowok.Â
Setelah mereka meraih semua yang diimpikan tetap ada satu ruang yang dianggap kosong yaitu ruang batin. Mereka feel lonely ditengah pencapaian-pencapaian yang mereka raih.
"Seandainya dulu gue cepat menikah, mungkin hidup gue sudah sempurna,ya. Karir ada, kehidupan mapan, punya anak dan istri." Ujar teman sambil berkhayal. "Dulu, gue paling benci ketika ditanya,"Kapan Nikah?" Â eh, sekarang gue baru menyadari pertanyaan itu adalah wujud kepedulian mereka terhadap kita." Â Lanjutnya.
Begitu juga dengan teman saya yang perempuan. Karirnya di dunia pertelevisian, perbankan, perusahaan asing rata-rata hidup mereka  cukup mentereng. fasilitas yang dia terima pun cukup membuat gajinya yang tembus diangka 30 hingga 50 jutaan perbulan tidak terganggu. Karena, tunjangan dari perusahaan justru cukup berlimpah yang dia rasakan. Hanya saja, sekarang dia merasakan kesepian yang teramat kronis. Kemapanan tidak menjamin hidupnya bahagia.
"Gue sering menangis kalo lagi sendiri, lho. Gue menyesal dengan kesombongan gue dulu. Gue dulu terlalu ambisi pengen sukses tapi mengabaikan ajakan pacar gue menikah. Setelah sukses ternyata gue merasa nothing." Isaknya.
Begitulah yang dialami kakak saya, dua anak perempuannya sudah memasuki usia 30 tahunan tapi belum juga menikah. Bahkan ketika ditanya kapan menikah, mereka langsungs ewot. Saat ini mereka tengah menikmati pekerjaan dan karir mereka yang terlihat baik.Â
Bagi kakak saya, karir bukanlah hal yang utama dimata orangtua. Yang mereka resahkan adalah ketika usia mereka terlalu matang untuk menikah terlalu banyak yang dikhawatirkan.Â
Salah satunya sulit memiliki keturunan. Untuk saat ini, mereka lebih memilih diam sejenak dan mengikuti kemauan anak-anaknya sambil memantau sampai kapan mereka akan menyadari kalau apa yang selama ini yang di khawatirkan orangtua adalah wujud dari perhatian bukan mau ikut campur akan kehidupan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H