"Nggak,ah. Kalian saja." Balasku.
"Pegangkan tasku,ya.." ujarnya sambil melepas rangselnya dan menyerahkan padaku. Kemudian, dia sudah ikut mengejar laying-layang bersama teman-teman yang lain.
Ketika laying-layang itu nyangkut di tiang listrik, teman-teman yang lain tidak berani mengambilnya karena mereka tidak bisa memanjat. Sementara Marudut dengan lihat memanjat tiang listri dengan gesitnya. Melihat adegan itu, aku khawatir kalau Marudut terjatuh.
"Dut, turun! Nggak usah diambil lah layang-layang itu." Teriakku.
Dia mengabaikan teriakanku sambil terus memanjat tiang listri yang jelas-jelas ada logo tegangan tinggi. Dalam hitungan menit, Marudut sudah ebrada di pucuk tiang.Â
Melihat keberadaannya yang ada di ujung tiang, ibu-ibu berteriak dan menjerit menyuruh turun. SUasana menjadi ramai. Tidak hanya ada aku, teman-teman dan ibu-ibu. Beberapa bapak-bapak ikut menyuruh dia turun.
Tapi naas. Tiba-tiba tubuh Marudut bergetar-getar saat memegang layang-layang kemudian tubuhnya terpental jatuh ke aspal. Melihat kejadian itu sontak aku dan semua yang ada di lokasi beteriak, menjerit histeris. Tubuh Marudut menghitam dan kepalanya remuk terbentur aspal saat terjatuh dari atas tiang.
Kejadian itu benar-benar membuat traumaku semakin mendalam hingga aku dewasa. Bahkan, setiap kali melihat orang bermain layang-layang ingatanku seakan ikut melayang kembali keusia dimana kejadian itu terjadi. Dimana aku kehilangan teman-temanku.Â
Mereka mati konyol hanya karena layang-layang. Mereka mengabaikan nyawa demi sebuah layang-layang.
Kini, layang-layang yang nyangkut di pohon jeruk purut di halaman rumahku membawa kenangan ke masa kecilku diputar kembali.Â
Setiap kali ada layang-layang nyangkut, aku selalu mengambilnya lalu membakarnya dengan tumpukan sampah kering dipekaranganku. Agar kenangan tragis masa kecilku ikut terbakar dengan hangusnya layang-layang itu. Â