"It's ok. Nevermind. Gue nyuruh lo datang kesini ya, karena gue pengen menumpahkan uneg-uneg gue yang sudah menumpuk dipikiran gue. Gue pengen pikiran gue plong. Gue sudah tidak sanggup lagi. Rasanya mau gila!' katanya berapi-api.
Gue membiarkan dia menghabiskan satu batang rokok yang masih menyala. Gue biarkan dia diam sejenak dan gue biarkan dia mondar mandir antara dapur dan ruang keluarga tempat kami ngobrol.
Lalu, dia mulai beriksah tentang kehidupan mereka yang benar-benar ups and downs. Kehidupan yang dulu bergelimang harta, kini hidup apa adanya. Bahkan cerita miris yang membuat gue shock adalah, mereka sempat tidak sanggup membayar maintenan apartemen sehingga listrik dipadamkan dalam beberapa hari.
       "Lo nggak percaya kan? Listrik kami sempat dipadamkan gara-gara nggak sanggup bayar." ucapnya melihat wajah dan mulut gue terbengong mendengar ceritanya. "Begitulah kehidupan. Kalau dulu lo bisa lihat gimana boros dan royalnya mama dan adik gue. Tapi, sekarang kehidupan kami yang begini. Seadannya."
Gue masih terbengong. Masih belum bisa mencerna apa yang gue dengar dan gue lihat. Karena, gue masih tidak percaya kalau hidup mereka bisa seterpuruk ini.
       "Waktu gue hamil, cowok gue tidak mau bertanggung jawab. Sampai anak gue lahir, dia belum pernah melihatnya. Sementara usia anak gue sekarang sudah 5 tahun. Dia sudah sering bertanya keberadaan bapaknya."
       "Jadi, lo belum menikah?" dia menjawab dengan gelengan kepala.
       ""Gimana mau menikah. Pas tahu gue hamil, eh, dia langsung kabur ke luar negeri."
       "Pacar lo itu orang mana?"
       "Amerika."
       "Bule dong?"