Pendidikan yang bermutu merupakan impian dan tujuan semua stakeholder pendidikan. Mutu pendidikan dibangun melalui penguatan mutu setiap unsur 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan.Â
Perwujudan mutu dalam setiap Standar Nasional Pendidikan merupakan output kerjasama kolektif kolegial dari seluruh komponen stakeholders pendidikan.Â
Sejauhmana ketercapaian setiap Standar Nasional Pendidikan diukur setiap tahun melalui evaluasi diri sekolah/madrasah. Dan secara eksternal akan diverifikasi, diklarifikasi, dan divalidasi melalui kegiatan akreditasi sekolah/madrasah.
Pada saat kegiatan visitasi sekolah/madrasah, sebagai asesor penulis menemukan beberapa hal yang menarik yang layak kita diskusikan, kita renungkan, dan kita carikan solusi terhadap berbagai permasalahan yang sering ditemukan.Â
Ada banyak persoalan yang mesti diurai demi peningkatan mutu pendidikan nasional. Beberapa persoalan tersebut antara lain: 1) Pengisian DIA (Daftar Isian Akreditasi) sekolah/madrasah kurang memperhatikan petunjuk teknis dalam instrumen akreditasi.Â
Disamping itu, dalam pengisian dipercayakan pada seorang operator, tidak melalui tim penanggung jawab 8 SNP yang  seharusnya dibentuk oleh sekolah.Â
Dampaknya adalah tidak semua potensi yang ada di sekolah/madrasah tercover sehingga merugikan sekolah. 2) Dalam penyusunan dokumen 1 (Buku 1) KTSP tidak melibatkan narasumber dan pengawas sekolah/madrasah.Â
Dampaknya adalah ada beberapa unsur yang terlewatkan, terlebih sekolah/madrasah yang berada di lingkungan pesantren di mana struktur kurikulum, jam belajar, dan minggu efektif bergantung kebijakan pondok pesantren.Â
Kondisi ini harus disikapi secara profesional mengingat sekolah/madrasah yang berdiri di atas "dua kaki" harus mencari komposisi yang ideal dan mengakomodir keduabelah pihak baik regulasi pesantren maupun regulasi pemerintah.Â
Di sini dibutuhkan reengineering kurikulum yang harus didesain dengan bijak dan taat pada spek normatif.
Persoalan yang ke-3 adalah kesadaran administratif dari tenaga pendidik dan kependidikan. Banyak ditemukan administrasi yang serba baru, yang format dan sistematikanya tidak sesuai dengan regulasi pada masanya.Â
Proses yang serba dikebut dalam waktu sesaat tak ubahnya kisah Bandung Bondowoso yang membuat candi Prambanan dalam semalam.Â
Dampaknya adalah ketidaksesuaian antara desain program tahunan, semester, dan RPP. Tidak itu saja, banyak ditemui administrasi pembelajaran yang pabrikan dan tidak diadaptasi sesuai kondisi senyatanya.Â
Sudah seharusnya administrasi pembelajaran memang genuine produk setiap pelaku pendidikan sehingga disadari betul semua skenario yang akan dilaksanakan dalam pembelajaran.
Memang membangun kesadaran administratif tidak mudah, tetapi penulis yakin setiap lembaga pendidikan baik sekolah/madrasah mencari kiat-kiat khusus.Â
Sebagai contoh setiap bulan ada gerakan hari administratif yang tujuannya adalah menyusun administrasi yang dilakukan secara bertahap dan berkala.
Persoalan ke-4 adalah minimnya jumlah guru yang telah disertifikasi. Dalam pandangan penulis instrumen yang berkaitan dengan jumlah guru yang disertifikasi tidak semata-mata menjadi tanggung jawab sekolah/madrasah karena kuota guru yang disertifikasi bukan wewenang sekolah/madrasah. Persoalan ke-5 adalah sarana laboratorium.Â
Banyak sekolah/madrasah yang laboratoriumnya masih mengadopsi 3 in 1, di mana laboratorium Fisika, Kimia, dan Biologi masih menyatu. Selain itu, belum dikelola dengan administrasi yang baik, semisal setiap laboratorium memiliki SOP (Standar Operasional Prosedur). Hal ini disebabkan oleh daya kreatifitas sekolah/madrasah yang belum total dalam mewujudkan laboratorium.
Persoalan ke-6 adalah pada aspek pengelolaan sekolah/madrasah tidak disusun analisis SWOT dan Renstra (Rencana Strategis). SWOT merupakan sebuah fundamen dari rencana strategis yang memperhatikan aspek internal dan aspek eksternal. Dengan analisis SWOT maka sekolah/madrasah mengetahui apa yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman.Â
Dengan berlandaskan SWOT sekolah/madrasah dapat menyusun rencana strategisnya. Sayangnya kesadaran untuk melakukan analisis SWOT secara sungguh-sungguh belum banyak penulis ditemukan pada saat visitasi.Â
Dampaknya adalah mengelola sekolah/madrasah dengan progres yang relatif lambat dan daya saing yang rendah. Dengan ketiadaan rencana strategis maka pengelola sekolah/madrasah tidak memiliki daya inovasi dan pengembangan ke arah yang lebih baik.
Melihat berbagai permasalahan yang penulis temukan di atas menunjukkan bahwa budaya mutu belum sepenuhnya disadari betul oleh setiap pemangku kepentingan di sekolah/madrasah.Â
Pertanyaannya adalah mengapa ghirah mewujudkan pendidikan yang bermutu rendah?. Apakah karena minimnya finansial sehingga tidak leluasa dalam mengembangkan sekolah, atau karena daya inovasi yang kurang?. Â Jawabannya ada dalam diri setiap penyelenggara pendidikan.
Akredasi sejatinya merupakan instrumen untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu. Bukan hanya status akreditasi/nilai akreditasi yang keluar pasca visitasi yang diharapkan, akan tetapi bagaimana persiapan-persiapan yang dilakukan itu menjadi budaya mutu yang dilakukan setiap stkeholder pendidikan.Â
Jadi budaya mutu yang suatainable yang diharapkan, yang dilakukan secara kontinyu setiap melakukan aktifitas pendidikan. Dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari setiap insan pendidikan bahwa profesionalisme merupakan instrumen kunci mewujudkan pendidikan yang berkualitas.
Barnawi
Pengawas Sekolah Madya Kemenag Kab. Cirebon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H