Definisi
Genealogi adalah studi tentang asal-usul dan perkembangan suatu konsep, praktik, atau institusi, menelusuri evolusi dan transformasinya sepanjang waktu. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani "genea" yang berarti generasi atau keturunan, dan "logos" yang berarti ilmu atau studi. Dalam konteks yang lebih luas, genealogi tidak hanya terbatas pada pencarian asal-usul keluarga atau garis keturunan, tetapi juga meliputi analisis kritis terhadap sejarah ide, struktur sosial, budaya, dan praktik.Â
Dalam memahami genealogi, beberapa aspek penting yang harus dipahamai antara lain:
- Genealogi melibatkan penelusuran sejarah suatu konsep atau praktik dari asal mulanya hingga kondisi saat ini. Ini termasuk memeriksa konteks historis, budaya, dan sosial yang mempengaruhi transformasinya.
- Genealogi sering kali menggunakan pendekatan interdisipliner, memanfaatkan ilmu sejarah, filsafat, sosiologi, antropologi, dan psikologi untuk memberikan wawasan yang lebih holistik tentang evolusi suatu fenomena.
- Genealogi tidak hanya mendokumentasikan sejarah tetapi juga menganalisis dan mengkritisi perubahan dan pergeseran dalam makna dan fungsi dari konsep atau praktik tersebut. Ini sering kali melibatkan dekonstruksi narasi-narasi dominan dan mengeksplorasi kekuatan dan kepentingan yang terlibat dalam pembentukannya.
- Dalam beberapa pendekatan, seperti psikoanalitik dan post-strukturalis, genealogi juga mengeksplorasi bagaimana unsur-unsur yang tidak disadari atau tersembunyi mempengaruhi evolusi suatu konsep atau praktik.
Michel Foucault, seorang filsuf Perancis, adalah salah satu tokoh utama yang mengembangkan metode genealogis dalam analisisnya terhadap berbagai institusi dan konsep sosial. Foucault menggunakan genealogi untuk mengeksplorasi bagaimana kekuasaan, pengetahuan, dan diskursus berinteraksi dalam membentuk realitas sosial dan praktik-praktik tertentu.Â
Transfer pricing adalah praktik penetapan harga untuk transaksi barang, jasa, atau aset tidak berwujud antara entitas-entitas yang berafiliasi atau berada di bawah kepemilikan perusahaan yang sama. Praktik ini sangat relevan dalam konteks perusahaan multinasional yang melakukan transaksi lintas batas negara antara anak perusahaan, cabang, atau divisi yang berbeda. Transfer pricing memainkan peran penting dalam manajemen keuangan dan strategis perusahaan, namun juga menimbulkan berbagai isu terkait perpajakan dan regulasi.Â
Transfer pricing mencakup transaksi antara perusahaan yang memiliki hubungan kepemilikan atau kontrol yang sama. Ini termasuk penjualan barang, pemberian jasa, penggunaan aset tidak berwujud (seperti paten atau merek dagang), dan transaksi finansial.Â
Harga yang ditetapkan dalam transfer pricing harus sesuai dengan prinsip "arm's length" (jarak antar pihak independen), yang berarti harga tersebut harus mencerminkan kondisi pasar yang wajar seolah-olah transaksi tersebut terjadi antara pihak-pihak yang tidak berafiliasi.Â
Dalam konteks transfer pricing, pendekatan genealogis akan menelusuri asal-usul dan perkembangan konsep serta praktik transfer pricing, termasuk faktor-faktor ekonomi, regulasi, dan manajerial yang mempengaruhi evolusinya. Pendekatan ini akan membantu kita memahami mengapa dan bagaimana transfer pricing menjadi penting dalam ekonomi global saat ini, serta implikasi dan kontroversi yang menyertainya.
Asal Usul
Transfer pricing merupakan isu penting dalam ekonomi global saat ini. Praktik ini mencakup penetapan harga untuk transaksi antar perusahaan dalam satu grup atau konglomerasi. Meskipun terdengar sederhana, transfer pricing memiliki implikasi yang mendalam terhadap perpajakan, regulasi, dan bahkan ekonomi politik global. Untuk memahami transfer pricing secara mendalam, penting untuk mengurai asal-usulnya serta bagaimana ia berkembang dari sebuah konsep menjadi praktik yang kompleks dan sering kontroversial. Pendekatan genealogi dapat memberikan wawasan mendalam tentang transfer pricing sebagai hasil dari kehendak (Wille) ketidaksadaran (Id) yang menjadi kesadaran.Â
Dalam sejarah ekonomi, transaksi antar entitas bisnis selalu menjadi bagian integral. Namun, seiring dengan perkembangan perusahaan multinasional, transfer pricing mulai menjadi alat yang penting. Pada era perdagangan kolonial, perusahaan-perusahaan besar seperti British East India Company dan Dutch East India Company sudah terlibat dalam praktik yang serupa dengan transfer pricing. Mereka menetapkan harga barang dan jasa yang ditransaksikan antar cabang di berbagai wilayah dunia untuk mengoptimalkan keuntungan dan meminimalkan pajak yang harus dibayar.Â
Ilmu akuntansi dan manajemen juga memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan transfer pricing. Pada awal abad ke-20, teori akuntansi biaya mulai berkembang, yang memungkinkan perusahaan untuk lebih akurat mengalokasikan biaya antar departemen dan cabang. Sistem akuntansi modern seperti ABC (Activity-Based Costing) memberikan dasar bagi metode transfer pricing yang lebih canggih. Dengan demikian, transfer pricing bukan hanya soal penetapan harga jual beli antar perusahaan, tetapi juga melibatkan pengalokasian biaya secara lebih akurat dan strategis.
Tujuan dan Motif
Motif utama transfer pricing adalah optimasi keuangan, terutama dalam hal perpajakan. Perusahaan multinasional sering kali beroperasi di berbagai yurisdiksi dengan tingkat pajak yang berbeda. Dengan menetapkan harga transfer yang sesuai, perusahaan dapat memindahkan laba dari negara dengan pajak tinggi ke negara dengan pajak rendah, sehingga mengurangi beban pajak keseluruhan. Praktik ini sah secara hukum selama harga transfer yang ditetapkan sesuai dengan prinsip "arm's length" atau harga pasar wajar. Â
Transfer pricing juga digunakan untuk mengelola risiko dan keuangan internal. Dalam perusahaan besar dengan banyak divisi atau anak perusahaan, transfer pricing memungkinkan pengendalian yang lebih baik terhadap kinerja masing-masing unit bisnis. Misalnya, dengan menetapkan harga transfer yang tinggi untuk produk yang dikirim dari satu divisi ke divisi lain, perusahaan dapat mengalihkan keuntungan ke unit bisnis yang lebih menguntungkan atau mengurangi eksposur risiko di wilayah tertentu.Â
Regulasi yang semakin ketat di berbagai negara juga menjadi alasan penting di balik penerapan transfer pricing. Banyak negara telah mengadopsi aturan transfer pricing yang mengharuskan perusahaan multinasional untuk mendokumentasikan dan melaporkan harga transfer mereka. Kepatuhan terhadap regulasi ini penting untuk menghindari sanksi dan denda yang dapat merugikan perusahaan.
Transfer Pricing dalam Perpektif Teoritis: Pendekatan Psikoanalitik
Ketidaksadaran Ekonomi: Sigmund Freud; Id, Ego dan Superego
Teori ketidaksadaran ekonomi dari Sigmund Freud tidak secara langsung ada dalam karya Freud,. Freud lebih dikenal dengan teori psikoanalisis yang berfokus pada ketidaksadaran psikologis individu. Namun, konsep ketidaksadaran dapat diterapkan dalam analisis ekonomi melalui interpretasi bahwa keputusan-keputusan ekonomi juga dapat dipengaruhi oleh dorongan dan motivasi yang tidak disadari oleh individu atau kelompok. Mari kita eksplorasi bagaimana prinsip-prinsip dasar dari teori ketidaksadaran Freud dapat diterapkan untuk memahami fenomena ekonomi, khususnya dalam konteks transfer pricing.Â
Id adalah bagian dari pikiran yang mengandung dorongan primitif dan naluriah seperti keinginan untuk kepuasan segera dan penghindaran rasa sakit. Id beroperasi pada prinsip kesenangan tanpa memperhatikan realitas atau konsekuensi. Â Sementara yang dimaksud Ego adalah bagian yang berhubungan dengan realitas dan berfungsi sebagai mediator antara keinginan id dan tuntutan superego serta dunia luar. Ego beroperasi pada prinsip realitas, mencoba memenuhi keinginan id dengan cara yang realistis dan sesuai dengan norma sosial. Â Di sisi lain ada juga yang dinamakan Superego yang merupakan bagian yang menginternalisasi nilai-nilai moral dan etika masyarakat, berfungsi sebagai hati nurani yang menilai tindakan dan keinginan ego.
Ketidaksadaran adalah bagian dari pikiran yang menyimpan dorongan, keinginan, dan memori yang tidak disadari oleh individu. Menurut Freud, banyak perilaku dan keputusan manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di luar kesadaran.
Menggunakan pendekatan psikoanalitik dari Sigmund Freud, transfer pricing dapat dilihat sebagai manifestasi dari kehendak ekonomi yang tidak disadari. Freud mengajarkan bahwa banyak tindakan manusia, termasuk yang bersifat ekonomi, didorong oleh dorongan dan keinginan yang tidak disadari. Dalam konteks perusahaan, keinginan untuk memaksimalkan laba dan mengurangi pajak dapat dianggap sebagai dorongan bawah sadar yang terwujud dalam praktik transfer pricing. Dalam konteks transfer pricing, berikut adalah beberapa cara penerapan konsep ketidaksadaran ekonomi:Â
- Dorongan untuk memaksimalkan keuntungan (Id), Perusahaan multinasional memiliki dorongan mendasar untuk memaksimalkan keuntungan mereka. Ini bisa dianggap sebagai manifestasi dari "Id" dalam ekonomi, yang mencari kepuasan segera dalam bentuk keuntungan maksimal dan penghindaran pajak. Praktik transfer pricing dapat dilihat sebagai upaya untuk memenuhi dorongan ini dengan cara memindahkan laba ke yurisdiksi dengan pajak rendah, meskipun tindakan ini mungkin tidak sepenuhnya disadari oleh semua pihak dalam perusahaan.Â
- Rasionalisasi dan Kepatuhan terhadap regulasi (Ego), "Ego" dalam konteks ekonomi berusaha untuk menyeimbangkan dorongan untuk keuntungan dengan realitas hukum dan regulasi. Perusahaan harus menetapkan harga transfer yang sesuai dengan prinsip "arm's length" untuk tetap patuh terhadap regulasi perpajakan internasional. Ini mencerminkan upaya rasional untuk mengoptimalkan keuntungan sambil mematuhi hukum dan menghindari sanksi.Â
- Norma dan Etika Perusahaan (Superego), "Superego" dalam perusahaan dapat diwakili oleh nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial. Perusahaan yang memiliki kode etik yang kuat mungkin berusaha untuk memastikan bahwa praktik transfer pricing mereka adil dan transparan, tidak hanya untuk menghindari sanksi hukum tetapi juga untuk mempertahankan reputasi dan tanggung jawab sosial mereka.
Dalam perusahaan multinasional, sering terjadi konflik antara keinginan untuk memaksimalkan keuntungan (Id) dan kebutuhan untuk mematuhi regulasi dan norma sosial (Superego). Transfer pricing menjadi arena di mana konflik ini dimainkan. Keputusan untuk menetapkan harga transfer yang agresif demi penghindaran pajak mungkin berasal dari dorongan Id, sementara tekanan untuk mematuhi regulasi dan mempertahankan reputasi perusahaan mencerminkan fungsi Superego.Â
Pendekatan genealogis terhadap transfer pricing akan menelusuri asal-usul dan perkembangan praktik ini sebagai hasil dari dorongan-dorongan ekonomi yang tidak disadari yang kemudian menjadi kesadaran melalui regulasi dan strategi manajerial. Dalam sejarahnya, keinginan perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan mungkin tidak selalu disadari sepenuhnya oleh para pengambil keputusan, tetapi melalui proses regulasi dan pengalaman, praktik ini menjadi lebih disadari dan diatur dengan lebih baik.
Prinsip-prinsip dari teori ketidaksadarannya dapat digunakan untuk memahami dinamika di balik keputusan ekonomi dan praktik seperti transfer pricing. Dorongan tidak disadari untuk memaksimalkan keuntungan, upaya rasional untuk menyeimbangkan kepentingan ini dengan realitas regulasi, dan norma etika perusahaan semuanya berperan dalam membentuk praktik transfer pricing. Melalui pendekatan genealogis, kita dapat melihat bagaimana praktik ini berkembang dari dorongan dasar yang tidak disadari menjadi strategi manajerial yang terstruktur dan diatur. Â
 Kesadaran dan Rasionalitas: Carl Jung
 Carl Jung, seorang murid Freud yang kemudian mengembangkan teorinya sendiri, menekankan pentingnya kesadaran dan rasionalitas dalam tindakan manusia. Dalam konteks transfer pricing, praktik ini bisa dilihat sebagai upaya sadar dan rasional oleh perusahaan untuk mengelola keuangan mereka dengan cara yang paling efisien. Transfer pricing bukan sekadar manipulasi harga, tetapi juga melibatkan analisis dan perencanaan yang matang untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi sambil memaksimalkan keuntungan.
Teori kesadaran dan rasionalitas Carl Jung menawarkan perspektif yang berbeda dari Sigmund Freud mengenai struktur dan fungsi pikiran manusia. Carl Jung, seorang psikolog dan psikiater Swiss, dikenal sebagai pendiri psikologi analitis. Dalam teorinya, Jung tidak hanya membedakan antara kesadaran dan ketidaksadaran, tetapi juga memperkenalkan konsep-konsep seperti ketidaksadaran kolektif dan arketipe yang sangat relevan dalam analisis perilaku manusia, termasuk dalam konteks ekonomi dan bisnis.Â
Kesadaran (Consciousness) menurut Jung adalah bagian dari pikiran yang kita sadari dan yang mengendalikan fungsi-fungsi rasional dan intelektual kita. Ini mencakup pikiran, perasaan, persepsi, dan ingatan yang kita sadari dalam kehidupan sehari-hari. Sementara Ketidaksadaran Pribadi (Personal Unconscious) itu sendiri adalah bagian dari pikiran yang berisi ingatan dan pengalaman yang telah dilupakan atau ditekan tetapi masih mempengaruhi perilaku individu. Ini serupa dengan konsep ketidaksadaran Freud.Â
Kemudian ada Ketidaksadaran Kolektif (Collective Unconscious ) yang merupakan lapisan terdalam dari ketidaksadaran yang berisi pengalaman manusia universal dan arketipe, yang merupakan pola perilaku dan simbol yang diwariskan dari generasi ke generasi. Arketipe ini mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak meskipun kita tidak menyadarinya. Yang dimaksud Arketipe itu sendiri adalah model atau pola dasar yang ada dalam ketidaksadaran kolektif. Contoh arketipe termasuk "pahlawan", "ibu", "bayangan", dan "anima/animus". Arketipe ini muncul dalam mitos, cerita, seni, dan juga dalam perilaku individu dan kolektif.Â
Dalam konteks ekonomi dan bisnis, teori kesadaran dan rasionalitas Jung dapat membantu kita memahami bagaimana keputusan dibuat dan bagaimana faktor-faktor yang tidak disadari mempengaruhi perilaku organisasi.Â
Dalam pengambilan keputusan ekonomi, bagian yang sadar dari pikiran memainkan peran penting. Perusahaan menggunakan data, analisis, dan perencanaan strategis untuk membuat keputusan yang rasional. Transfer pricing, misalnya, memerlukan analisis pasar, penilaian risiko, dan penetapan harga yang berdasarkan pada informasi yang tersedia dan prinsip "arm's length".
Pengalaman dan ingatan yang tersimpan dalam ketidaksadaran pribadi individu dalam perusahaan juga mempengaruhi keputusan mereka. Misalnya, seorang manajer yang memiliki pengalaman buruk dengan otoritas pajak mungkin lebih konservatif dalam penetapan harga transfer untuk menghindari masalah di masa depan.Â
Ketidaksadaran kolektif dan arketipe juga mempengaruhi perilaku organisasi. Arketipe seperti "pahlawan" atau "penjaga" dapat tercermin dalam budaya perusahaan dan strategi bisnis. Perusahaan mungkin mengambil peran sebagai "pahlawan" dalam mencoba mengoptimalkan keuntungan melalui transfer pricing, atau sebagai "penjaga" yang mematuhi ketat aturan dan regulasi untuk menjaga reputasi dan keberlanjutan jangka panjang.Â
Dalam praktik transfer pricing, perusahaan multinasional menggunakan data pasar dan analisis ekonomi untuk menetapkan harga yang sesuai. Ini adalah contoh dari penggunaan kesadaran dan rasionalitas dalam pengambilan keputusan. Perusahaan multinasional juga menggunakan data pasar dan analisis ekonomi untuk menetapkan harga yang sesuai. Ini adalah contoh dari penggunaan kesadaran dan rasionalitas dalam pengambilan keputusan.Â
Selain itu Norma dan budaya perusahaan, yang dipengaruhi oleh ketidaksadaran kolektif, juga berperan dalam transfer pricing. Jika sebuah perusahaan memiliki budaya yang mengagungkan inovasi dan risiko, mereka mungkin lebih agresif dalam strategi transfer pricing mereka. Sebaliknya, perusahaan dengan budaya yang berfokus pada kepatuhan dan stabilitas mungkin lebih konservatif.
Teori kesadaran dan rasionalitas Carl Jung memberikan kerangka kerja yang kaya untuk memahami bagaimana keputusan ekonomi dan bisnis dibuat, termasuk dalam praktik transfer pricing. Dengan memahami peran kesadaran, ketidaksadaran pribadi, dan ketidaksadaran kolektif, kita dapat melihat bahwa keputusan dalam transfer pricing tidak hanya didasarkan pada analisis rasional tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lebih dalam dan sering tidak disadari. Ini membantu kita memahami kompleksitas dan dinamika yang mendasari praktik transfer pricing dan bagaimana perusahaan multinasional mengelola tantangan dan peluang dalam konteks ekonomi global. Â
Globalisasi dan Pengaruhnya
Globalisasi telah memperkuat peran perusahaan multinasional dalam ekonomi global. Perusahaan-perusahaan ini memiliki jaringan operasional yang luas di berbagai negara, yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkan perbedaan regulasi dan tarif pajak melalui transfer pricing. Dengan demikian, globalisasi tidak hanya menciptakan peluang baru bagi transfer pricing tetapi juga meningkatkan kompleksitas dan kontroversi yang terkait dengan praktik ini. Â
Sebagai respon terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh transfer pricing, banyak negara dan organisasi internasional seperti OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) telah berupaya untuk mengharmonisasikan regulasi transfer pricing. Pedoman OECD tentang transfer pricing, misalnya, bertujuan untuk memastikan bahwa harga transfer yang digunakan oleh perusahaan multinasional sesuai dengan prinsip "arm's length" dan mencegah penghindaran pajak yang tidak adil.Â
Transfer pricing juga dipengaruhi oleh dinamika politik dan ekonomi global. Ketegangan antara negara-negara dengan tingkat pajak yang berbeda, serta antara negara-negara berkembang dan maju, sering kali menciptakan perdebatan sengit tentang keadilan dan transparansi dalam transfer pricing. Dalam konteks ini, transfer pricing menjadi alat yang digunakan tidak hanya untuk optimasi keuangan tetapi juga sebagai sarana negosiasi dan power play dalam arena politik global.Â
Transfer Pricing; Metodologi
Salah satu metode utama dalam transfer pricing adalah penetapan harga berdasarkan pasar. Metode ini melibatkan penggunaan harga pasar sebagai acuan untuk menetapkan harga transfer antar entitas dalam perusahaan yang sama. Prinsip "arm's length" yang diusung oleh OECD menekankan bahwa harga transfer harus mencerminkan kondisi pasar yang wajar, seolah-olah transaksi tersebut terjadi antara pihak-pihak yang independen.
Metode lain yang penting adalah analisis fungsional, yang melibatkan penilaian terhadap fungsi, aset, dan risiko yang ditanggung oleh masing-masing entitas dalam perusahaan. Analisis ini membantu dalam menentukan harga transfer yang tepat dengan mempertimbangkan kontribusi masing-masing entitas terhadap nilai keseluruhan yang dihasilkan oleh perusahaan. Â
Selain metode pasar, terdapat juga metode penetapan harga berdasarkan biaya dan laba terbanding. Metode ini melibatkan penggunaan biaya produksi ditambah margin laba tertentu sebagai dasar untuk menetapkan harga transfer. Selain itu, metode laba terbanding membandingkan laba yang diperoleh oleh entitas yang terlibat dalam transaksi transfer dengan laba yang diperoleh oleh perusahaan lain dalam industri yang sama. Metode penetapan harga dalam praktek transfer pricing dapat dirangkum sebagai berikut
- Comparable Uncontrolled Price (CUP) Method: Membandingkan harga yang digunakan dalam transaksi serupa antara entitas yang tidak berafiliasi.
- Â Resale Price Method: Menggunakan harga jual kembali produk oleh pembeli kepada pihak ketiga yang tidak berafiliasi.
- Â Cost Plus Method: Menambahkan margin laba tertentu pada biaya produksi.
- Â Transactional Net Margin Method (TNMM): Membandingkan margin laba bersih dari transaksi dengan margin yang diperoleh oleh perusahaan lain dalam industri yang sama.
- Â Profit Split Method: Membagi laba yang dihasilkan oleh transaksi sesuai dengan kontribusi masing-masing entitas dalam menghasilkan laba tersebut.
KontroversiÂ
Salah satu kontroversi terbesar dalam transfer pricing adalah penghindaran pajak. Banyak perusahaan multinasional dituduh menggunakan transfer pricing untuk mengalihkan laba ke negara-negara dengan pajak rendah, sehingga mengurangi kewajiban pajak mereka di negara-negara dengan pajak tinggi. Praktik ini sering kali dianggap tidak adil dan merugikan negara-negara yang kehilangan potensi pendapatan pajak.
 Transfer pricing juga menimbulkan tantangan dalam hal kompleksitas dan biaya kepatuhan. Perusahaan harus menginvestasikan sumber daya yang signifikan untuk memastikan bahwa harga transfer mereka sesuai dengan regulasi yang berlaku. Hal ini melibatkan penyusunan dokumentasi yang mendetail, analisis pasar yang komprehensif, dan konsultasi dengan ahli pajak dan hukum.Â
Perbedaan interpretasi dan penerapan  regulasi antar negara juga menjadi tantangan utama dalam transfer pricing. Meskipun terdapat upaya internasional untuk mengharmonisasikan aturan transfer pricing, masih terdapat variasi signifikan dalam interpretasi dan penerapan regulasi di berbagai negara. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan potensi sengketa pajak yang dapat merugikan perusahaan multinasional.Â
Mengelola transfer pricing membutuhkan investasi signifikan dalam hal waktu, sumber daya, dan biaya untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. Dokumentasi yang diperlukan sering kali sangat detail dan memerlukan analisis yang mendalam.Â
Masa Depan dan Tantangan
Perkembangan teknologi dan automasi diharapkan akan memberikan dampak signifikan terhadap transfer pricing di masa depan. Alat-alat analisis data yang canggih dan sistem manajemen keuangan yang terintegrasi akan memungkinkan perusahaan untuk lebih akurat dan efisien dalam menetapkan harga transfer. Selain itu, teknologi blockchain dan smart contracts dapat digunakan untuk menciptakan transparansi yang lebih besar dalam transaksi antar perusahaan.Â
Regulasi yang lebih ketat dan tuntutan transparansi yang meningkat juga akan mempengaruhi praktik transfer pricing di masa depan. Negara-negara di seluruh dunia semakin menyadari pentingnya menangani penghindaran pajak dan menciptakan sistem perpajakan yang adil. Hal ini kemungkinan akan mengarah pada penegakan regulasi yang lebih ketat dan peningkatan kolaborasi internasional dalam pengawasan transfer pricing.
 Organisasi internasional seperti OECD dan PBB akan terus memainkan peran penting dalam mengembangkan pedoman dan standar untuk transfer pricing. Melalui inisiatif seperti BEPS (Base Erosion and Profit Shifting), organisasi ini berupaya untuk menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil dan mengurangi praktik penghindaran pajak yang merugikan. Kolaborasi internasional ini akan menjadi kunci dalam menciptakan kerangka kerja transfer pricing yang lebih transparan dan efektif.Â
Transfer pricing adalah fenomena kompleks yang melibatkan banyak aspek ekonomi, regulasi, dan manajerial. Dengan menggunakan pendekatan genealogi, kita dapat memahami asal-usul dan perkembangan transfer pricing sebagai manifestasi dari kehendak ekonomi yang tidak disadari menjadi kesadaran yang terstruktur. Praktik ini bukan hanya soal optimasi pajak tetapi juga mencerminkan dinamika globalisasi, perkembangan ilmu akuntansi, dan tantangan regulasi internasional. Di masa depan, teknologi, regulasi yang lebih ketat, dan kolaborasi internasional akan terus membentuk praktik transfer pricing, menciptakan tantangan dan peluang baru bagi perusahaan multinasional dan otoritas pajak di seluruh dunia.
Referensi
C.G. Jung (1959) The Archetypes and The Collective Unconscious
Kees Bertens (2006) Psikoanalisis Sigmund Freud
OECD (2022) Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H