Girigori, 18 Ramadhan 1881 Hijriyah
03.59 WIB
"Hahh... Allohu Akbar. Hahhh...! Allohu Akbar! Hahh....!! Allohu Akbar!! Hahh.....!!! Allohu Akbar!!! Hahh........!!!! Allohu Akbar!!!!"
Seorang kakek renta berumur 80-an tahun mendesah diiringi dengan seruan Allohu Akbar itu tanpa henti kian lama kian berkurang frekuensinya. Tetapi desahnya kian keras.
Huk... huhuk....huhuk....
Suara burung hantu membuat suasana menakutkan. Sementara suasana Kampung Girigori berselimutkan kabut nan dingin merasuk ke sumsum tulang. Sosok tua renta itu ternyata Arya Wirajaya. Kakek renta itu membawa tongkat, karena jalannya sudah tertatih-tatih. Ia berpakaian ala pendekar pencak silat. Ia berbaju putih dan bercelana hitam setinggi betis. Kepalanya diikat dengan kain merah laiknya pendekar Barry Prima. Ia juga membawa keris kecil bernama Kalimasada sepanjang 33 cm. Keris itu dibungkus kain dan diikatkan di pinggangnya.
Ia menuju ke sebuah tempat. Sering kali ia menengok ke belakang. Dan.....
Brukkk....
Tubuh renta itu pun ambruk tepat di depan pos ronda paling ujung Kampung Girigori. Ia memang baru menempuh perjalanan yang sangat jauh, dari Kutabangun, sejauh 111 kilometer. Tanpa seorang pun menemaninya.
"Innalillahi..... hahh......! Allohu Akbar! hahh.....!! Allohu Akbar!! hahh.......!!! Allohu Akbar!!!"
Spontan mulutnya berucap innalillahi. Desah nafas dan ucapan Alloh Akbar kian jarang, tetapi intensitasnya kian meninggi. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia berusaha mendudukkan tubuhnya dan bersandar di dinding pos ronda yang ber alas tikar pandan wangi. Kemudian desah nafasnya nyaris berhenti. Tetapi ia tanpa henti melafalkan Allohu Akbar.