Pemerintah baru-baru ini menetapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12% sebagai bagian dari reformasi fiskal untuk meningkatkan pendapatan negara. Langkah ini bertujuan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang dianggap vital untuk pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, di sisi lain, kenaikan PPN memicu kekhawatiran di masyarakat, terutama di kalangan menengah ke bawah, yang berpotensi merasakan beban tambahan akibat meningkatnya harga barang dan jasa. Dalam konteks ini, penting untuk mengevaluasi kebijakan ini melalui lensa Maqasid Syariah, yang berfokus pada pemeliharaan kemaslahatan umat secara holistik.
Perspektif Hukum Umum dan Hukum Islam
Dalam hukum umum, pajak adalah instrumen utama negara untuk mendanai pengeluaran publik. Kenaikan PPN dirancang untuk memperkuat keuangan negara, terutama dalam menghadapi defisit anggaran.
Pajak tidak hanya bertujuan untuk redistribusi pendapatan, tetapi juga sebagai alat untuk mendorong stabilitas ekonomi. Namun, efektivitas PPN bergantung pada desain kebijakan, termasuk pengenaan pajak yang proporsional dan adil sehingga tidak memberatkan kelompok rentan.
Sementara itu, dalam Islam, pengenaan pajak dapat dilihat melalui prinsip Maqasid Syariah, yaitu pemeliharaan lima aspek utama: agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Pajak dapat diterima selama memenuhi kriteria berikut, pertama, tidak membebani masyarakat secara berlebihan (tidak melanggar prinsip keadilan). Kedua, bertujuan untuk kemaslahatan bersama, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Ketiga, transparan dan efisien dalam penggunaannya.
Menurut ulama seperti Ibnu Khaldun, pajak harus moderat agar tidak melemahkan produktivitas ekonomi. Al-Mawardi juga menekankan bahwa negara harus memastikan bahwa pajak dipungut secara adil dan dialokasikan untuk kebutuhan umat.
Beberapa pakar ekonomi Islam memberikan pandangan mengenai kenaikan PPN dalam konteks Maqasid Syariah. Dr. M. Umer Chapra, ekonom Islam terkemuka, menekankan pentingnya keadilan dalam kebijakan fiskal. Kenaikan pajak hanya dapat dibenarkan jika digunakan untuk memperkuat kesejahteraan sosial dan mengurangi kesenjangan ekonomi. Sementara itu Dr. Syed Naquib al-Attas menggarisbawahi bahwa kebijakan fiskal yang baik harus mengutamakan pendidikan dan pengentasan kemiskinan sebagai aspek penting dari kemaslahatan umat. Tak ketinggalan Prof. M. Dawam Rahardjo, dalam konteks Indonesia, menyatakan bahwa sistem pajak yang baik adalah yang mampu menghindarkan eksploitasi terhadap masyarakat kecil sambil tetap memperkuat anggaran negara.
Dampak Sosial Kenaikan PPN
Secara faktual kenaikan PPN berdampak positif dan negatif di masyarakat. Dampak positif PPN di antaranya, Pertama, peningkatan anggaran negara. Dengan kenaikan PPN, pemerintah memiliki lebih banyak ruang fiskal untuk mendanai program pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Kedua, Fasilitas Publik yang Lebih Baik. Dana tambahan dapat digunakan untuk memperbaiki infrastruktur, memperluas akses pendidikan, dan meningkatkan pelayanan kesehatan.
Sementara itu masyarakat juga dihadapkan pada dampak negatif PPN. Pertama, Beban pada Kelompok Rentan. Kelompok berpenghasilan rendah akan merasakan dampak terbesar dari kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Kedua, Inflasi. Kenaikan PPN dapat memicu inflasi, yang pada akhirnya melemahkan daya beli masyarakat. Ketiga, Ketidakpuasan Publik. Kebijakan ini berpotensi meningkatkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat, terutama jika dianggap tidak transparan atau tidak berdampak langsung pada perbaikan kesejahteraan.
Titik Temu dalam Perspektif Maqasid Syariah
Dalam mencari titik temu antara implementasi PPN 12% dan prinsip Maqasid Syariah, beberapa pertimbangan berikut dapat menjadi landasan. Pertama, Keadilan (Adl). Pengenaan PPN harus disertai dengan kebijakan pembebasan pajak untuk barang dan jasa kebutuhan pokok, sehingga kelompok rentan tidak terbebani secara berlebihan.
Kedua, Kemanfaatan (Maslahah). Dana yang dihasilkan dari kenaikan PPN harus dialokasikan untuk program-program yang langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti bantuan sosial, pendidikan gratis, dan layanan kesehatan murah.
Ketiga, Keterbukaan (Shafafiyah). Pemerintah harus transparan dalam pengelolaan dana pajak agar masyarakat merasa yakin bahwa pajak yang dibayarkan benar-benar digunakan untuk kemaslahatan umum.
Mencermati paparan di atas beberapa solusi dapat ditawarkan. Pertama, Kebijakan Kompensasi. Pemerintah dapat memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengimbangi dampak kenaikan PPN.
Kedua, Pengecualian Barang Esensial. PPN tidak diberlakukan untuk barang kebutuhan dasar, seperti pangan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Ketiga. Penguatan Sistem Zakat. Dalam Islam, zakat adalah bentuk pajak wajib yang berorientasi pada pengurangan kemiskinan. Pemerintah dapat mengintegrasikan sistem zakat sebagai pelengkap kebijakan fiskal untuk memperkuat keadilan sosial.
Keempat, Edukasi Publik. Pemerintah perlu meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai tujuan kenaikan pajak dan dampaknya terhadap pembangunan. Kelima, Evaluasi Berkala. Kebijakan PPN 12% harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa dampaknya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan umat.
Walhasil, kenaikan PPN 12% adalah kebijakan yang memiliki potensi positif dan negatif. Dalam perspektif Maqasid Syariah, kebijakan ini dapat diterima jika mampu memenuhi prinsip keadilan, kemanfaatan, dan transparansi.
Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk mengurangi dampak negatifnya, terutama pada kelompok rentan, melalui kebijakan kompensasi, pengecualian barang esensial, dan penguatan sistem zakat. Dengan pendekatan ini, diharapkan kebijakan fiskal dapat menjadi instrumen yang tidak hanya mendukung pembangunan nasional tetapi juga menjaga kesejahteraan umat secara holistik.
Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H. Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI