Mohon tunggu...
Moh Nur Fauzi
Moh Nur Fauzi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi Jawa Timur Indonesia

Hobi: Membaca Kegemaran: Literasi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mencari Titik Temu: Implementasi PPN 12% yang Sesuai dengan Prinsip-prinsip Maqasid Syariah

9 Januari 2025   10:59 Diperbarui: 9 Januari 2025   10:52 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemerintah baru-baru ini menetapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12% sebagai bagian dari reformasi fiskal untuk meningkatkan pendapatan negara. Langkah ini bertujuan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang dianggap vital untuk pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, di sisi lain, kenaikan PPN memicu kekhawatiran di masyarakat, terutama di kalangan menengah ke bawah, yang berpotensi merasakan beban tambahan akibat meningkatnya harga barang dan jasa. Dalam konteks ini, penting untuk mengevaluasi kebijakan ini melalui lensa Maqasid Syariah, yang berfokus pada pemeliharaan kemaslahatan umat secara holistik.

Perspektif Hukum Umum dan Hukum Islam

Dalam hukum umum, pajak adalah instrumen utama negara untuk mendanai pengeluaran publik. Kenaikan PPN dirancang untuk memperkuat keuangan negara, terutama dalam menghadapi defisit anggaran.

Pajak tidak hanya bertujuan untuk redistribusi pendapatan, tetapi juga sebagai alat untuk mendorong stabilitas ekonomi. Namun, efektivitas PPN bergantung pada desain kebijakan, termasuk pengenaan pajak yang proporsional dan adil sehingga tidak memberatkan kelompok rentan.

Sementara itu, dalam Islam, pengenaan pajak dapat dilihat melalui prinsip Maqasid Syariah, yaitu pemeliharaan lima aspek utama: agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Pajak dapat diterima selama memenuhi kriteria berikut, pertama, tidak membebani masyarakat secara berlebihan (tidak melanggar prinsip keadilan). Kedua, bertujuan untuk kemaslahatan bersama, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Ketiga, transparan dan efisien dalam penggunaannya.

Menurut ulama seperti Ibnu Khaldun, pajak harus moderat agar tidak melemahkan produktivitas ekonomi. Al-Mawardi juga menekankan bahwa negara harus memastikan bahwa pajak dipungut secara adil dan dialokasikan untuk kebutuhan umat.

Beberapa pakar ekonomi Islam memberikan pandangan mengenai kenaikan PPN dalam konteks Maqasid Syariah. Dr. M. Umer Chapra, ekonom Islam terkemuka, menekankan pentingnya keadilan dalam kebijakan fiskal. Kenaikan pajak hanya dapat dibenarkan jika digunakan untuk memperkuat kesejahteraan sosial dan mengurangi kesenjangan ekonomi. Sementara itu Dr. Syed Naquib al-Attas menggarisbawahi bahwa kebijakan fiskal yang baik harus mengutamakan pendidikan dan pengentasan kemiskinan sebagai aspek penting dari kemaslahatan umat. Tak ketinggalan Prof. M. Dawam Rahardjo, dalam konteks Indonesia, menyatakan bahwa sistem pajak yang baik adalah yang mampu menghindarkan eksploitasi terhadap masyarakat kecil sambil tetap memperkuat anggaran negara.

Dampak Sosial Kenaikan PPN

Secara faktual kenaikan PPN berdampak positif dan negatif di masyarakat. Dampak positif PPN di antaranya, Pertama, peningkatan anggaran negara. Dengan kenaikan PPN, pemerintah memiliki lebih banyak ruang fiskal untuk mendanai program pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Kedua, Fasilitas Publik yang Lebih Baik. Dana tambahan dapat digunakan untuk memperbaiki infrastruktur, memperluas akses pendidikan, dan meningkatkan pelayanan kesehatan.

Sementara itu masyarakat juga dihadapkan pada dampak negatif PPN. Pertama, Beban pada Kelompok Rentan. Kelompok berpenghasilan rendah akan merasakan dampak terbesar dari kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Kedua, Inflasi. Kenaikan PPN dapat memicu inflasi, yang pada akhirnya melemahkan daya beli masyarakat. Ketiga, Ketidakpuasan Publik. Kebijakan ini berpotensi meningkatkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat, terutama jika dianggap tidak transparan atau tidak berdampak langsung pada perbaikan kesejahteraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun