Mohon tunggu...
Banu Adzkar
Banu Adzkar Mohon Tunggu... Lainnya - -

Masih dan terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Filsuf Itu Bernama Uchiha Itachi

1 September 2021   00:01 Diperbarui: 1 September 2021   01:17 2141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Serial Naruto Shippuden memang telah tamat sejak 2017 lalu. Namun sampai sekarang, anime yang satu ini masih tetap menarik untuk dinikmati ulang. Akan banyak kita temukan insight baru yang mungkin tidak akan kita dapatkan dalam sekali nonton. Salah satu yang menjadi contohnya adalah perkembangan karakter Uchiha Itachi.

Mempelajari karakter Uchiha Itachi layaknya membaca sebuah buku filsafat. Perlu dibaca berulang-ulang agar kita mampu menemukan gagasan yang sebenarnya. Karakter Itachi di awal episode dimunculkan sebagai sosok penjahat yang paripurna. Seorang biadab yang membunuh 99% keluarganya tanpa ampun. Masashi Kishimoto seakan ingin menggambarkan bahwa Itachi ini representasi dari kejahatan dan perbuatan keji.

Seiring waktu berjalan, kebenaran mengenai Itachi perlahan mulai terungkap. Dimulai dari cerita Obito, dilanjutkan ketika pertemuan Itachi edo tensei dengan Sasuke, dan puncaknya ketika dirilisnya serial Itachi Shinden. Fix! saya menyimpulkan Itachi ini seorang filsuf.

Ia ternyata seorang yang sangat bijaksana. Ia rela menjadi korban dari konflik dan pertentangan yang terjadi antara suku dan negaranya. Ia rela menanggung semua beban kebencian, demi mewujudkan kedamaian antar umat manusia. Tak peduli apa kata orang, ia tetap teguh memegang jalan ninjanya. Suatu keteguhan hidup yang jarang orang miliki saat ini.

Biar saya jelaskan alasannya!

Masa kecil Itachi berlatar belakang perang dunia ketiga, dimana masing-masing negara berperang demi kepentingannya masing-masing. Jeritan akan kematian menjadi teman akrab itachi waktu kecil. 

Oleh karenanya, sejak umur 8 tahun, ia sudah mempertanyakan arti kehidupan. 8 tahun lo! Ketika anak seusianya sibuk memikirkan permainan. Itachi sudah sibuk memikirkan hakikat kehidupan. Apa itu kehidupan? sebuah kelahiran? Kematian? ataukah sebuah pertarungan diantara itu semua? Atau bahkan kesemuanya itu? Ruwet !

Alasan kuat lain adalah berbagai kata mutiara yang lahir dan terucap darinya. Filsuf identik dengan berbagai kata mutiaranya. Misalkan Socrates dengan "Satu-satunya kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa Anda tidak mengetahui apa-apa" -nya, atau milik Nietzsche, "Keyakinan yang buta bisa lebih berbahaya daripada sebuah kebohongan", nguerri !!!  

Itachi juga punya kata-kata sakti yang lahir dari kontemplasi dan pengalaman hidupnya. Kecerdasan pemikirannya dan kebijaksanaannya melahirkan sebuah kata-kata yang layak dijadikan sebagai status di whatsapp story. Bahkan dengan kata-katanya ini, ia mampu mengalahkan jurus terkuat Naruto, yaitu talking no jutsu, jurus yang mampu mengalahkan Gaara, Pain, dan Sasuke.

Beberapa kata mutiara Itachi antara lain :

Saat kau mengenal kasih sayang, kau juga menanggung resiko kebencian

Kasih sayang akan selalu beriringan dengan sebuah kebencian. Kausalitas diantara kedua hal tersebut seperti sebuah cahaya dan kegelapan, yin dan yang, ataupun Indonesia dan Korupsi.

Ketika kita menaruh sebuah harap dalam wujud kasih sayang, maka kita perlu menyadari sebuah potensi kekecewaan yang akan muncul ketika harapan kita tidak kunjung menjadi kenyataan. Besar harapan kita akan sebanding dengan besarnya kekecewaan.

Hal ini sejalan dengan konsep "The Partnership Paradox" Tracey Cox, bahwa Kekecewaan itu terjadi ketika tahap idealisasi dari jatuh cinta berhenti. Kita akan memaafkan segala kebiasaannya yang menjengkelkan ketika mimpi cinta masih terlihat menakjubkan, namun itu akan berubah ketika berganti dengan kacamata pembesar yang kritis. Akumulasi kekecewaan itulah yang pada gilirannya akan berubah menjadi kebencian.

Bukan menjadi pemimpin maka semua orang akan mengakuimu,  namun mereka yang diakuilah yang akan menjadi pemimpin.

Inilah penggalan kata yang mampu mengalahkan Naruto, seorang master talking no jutsu. Sebelumnya Naruto terkenal mampu merubah hati lawan-lawannya, mulai dari Gaara, Nagato, hingga Sasuke. Namun dengan mudahnya Naruto takluk oleh Itachi.

Ini menegaskan tentang hakikat pemimpin yang ideal. Bahwa hanya orang yang diakuilah yang pantas menjadi seorang pemimpin. Pengakuan ini didasarkan atas kapabilitas dan kompetensi yang dimiliki. Dalam kondisi "masyarakat ideal" ketika seseorang memang sudah memiliki dua hal tersebut -tanpa perlu berkoar-koar untuk dipilih- masyarakat akan dengan sendirinya memilihnya menjadi pemimpin.

Begitupun sebaliknya, bahwa ketika seseorang maju menjadi pemimpin sebagai ajang eksistensi dirinya, maka ia tidak akan pernah mendapatkan hati rakyatnya. Memasang baliho di pinggir jalan misalnya

Untuk mengenal diri sendiri bukanlah dengan mencapai segalanya dan menjadi sempurna, tapi dengan mengetahui apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan.

Simaklah dialog epic antara Itachi dan Kabuto :

Itachi     :

aku akhirnya mengerti bahwa untuk mengenal diri sendiri bukanlah dengan mencapai segalanya dan menjadi sempurna, tapi dengan mengerti apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan.

Kabuto :

Terdengar seperti kata-kata pecundang. Mengakui apa yang tidak bisa dilakukan bukankah sama dengan menyerah?

Itachi     :

Bukan. Ini tentang memaafkan diri sendiri untuk hal yang tidak bisa kau lakukan sendiri.

Inilah salah satu pertarungan epic di serial Naruto, dimana penonton tidak hanya disuguhkan pertarungan fisik yang menarik, namun juga pertarungan ideologi. Pertarungan antar persepsi tentang konsep diri dan jati diri manusia.

Memaafkan diri sendiri untuk mengakui hal yang tidak bisa dilakukan adalah kunci untuk menikmati kehidupan. Hidup bukan tentang perlombaan untuk terus meraih segala hal, namun mensyukuri segala yang telah dimiliki.

Bukan berarti kita tidak bisa berkembang. Dengan mengetahui batasan diri kita, justru kita mampu memaksimalkan potensi yang sebenarnya kita miliki. Dengan mengetahui mana yang bisa kita lakukan dan mana yang bisa dioptimalkan, maka kita akan lebih produktif. Sebaliknya, ketika memaksakan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan, maka hal yang seakan "bersifat positif" tersebut justru berakhir kontra produktif.

Ini tentang menghargai diri sendiri, dan ini penting untuk dilakukan. Ketika kita tidak mampu menghargai diri sendiri, maka kita akan cenderung menghukum diri sendiri dengan komentar negatif, hingga pada gilirannya akan menggerus harga diri dan membuat kita sulit untuk berkembang.

...

Ngeri to Itachi? Kandani og

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun