Mohon tunggu...
Asep Wijaya
Asep Wijaya Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengajar bahasa

Penikmat buku, film, dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Menguak Kisah Cinta Minke dan Annelies di "Bumi Manusia"

11 Juli 2018   12:26 Diperbarui: 5 Juli 2019   01:17 29957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang sutradara kenamaan Indonesia menyebut roman Bumi Manusia itu soal cinta Minke dan Annelies. Adalah Hanung Bramantyo yang secara tegas mengatakan, inti cerita dua remaja tersebut bergerak di seputar hubungan percintaan, semacam hubungan yang harmonis sekaligus tragis.

Meski disanggah oleh sebagian penikmat karya Pramoedya Ananta Toer, penulis Bumi Manusia, yang menyebut anggapan itu terlalu simplistis, faktanya sekitar 2/3 pembahasan dalam buku memang menyangkut Minke dan Annelies. Perdebatan itu kemudian mengajak kita untuk menengok kembali kisah cinta keduanya seperti tersaji sebagaimana berikut: 

Remaja lelaki Pribumi ini boleh dikata beruntung. Sebab ia satu-satunya siswa yang berlabel Pribumi di Hogere Burgerschool (H.B.S) Surabaya. Adapun teman-temannya yang lain sebagian besar Indo alias keturunan Belanda dan sebagian kecilnya Totok. 

Tetapi keistimewaan yang melekat itu tidak lantas membuat Minke jemawa. Remaja kelahiran 31 Agustus 1880 yang saat itu berusia 18 tahun tersebut bahkan ogah menyebut nama keluarganya yang teraliri darah raja-raja Jawa. 

Ya, ia tidak pernah mengakui punya keturunan bupati. Di tengah upayanya belajar, Minke malah menyambi kerja sebagai penjual perabot rumah tangga bergaya Eropa dan penulis artikel di koran.  

Meski begitu, soal selera terhadap perempuan, ia tetaplah seperti remaja kebanyakan. Minke suka dengan perempuan cantik yang dirumuskannya memiliki letak dan bentuk tulang yang tepat, diikat oleh lapisan daging yang tepat pula, kulit yang halus-lembut, mata yang bersinar, dan bibir yang pandai berbisik. 

Keterpesonaannya pada perempuan cantik ia tunjukkan dengan kekagumannya pada potret perempuan Belanda. Ia tegas mendambakan seorang dara, cantik, kaya, berkuasa, gilang-gemilang, berkepribadian baik, dan kekasih para dewa. 

Suatu laku yang kemudian digolongkan oleh teman sekelasnya, Robert Suurhof, sebagai philogynik atawa mata keranjang alias buaya darat. 

Dengan statusnya itu, Suurhof tertantang mengajak Minke untuk menemui seorang dewi di Surabaya dan memberinya kesempatan untuk menunjukkan philogyniknya. Merasa lebih unggul, Minke menerima tantangan itu dan bepergian bersama Suurhof ke Wonokromo tempat kenalannya, Robert Mellema, tinggal. 

Rupanya Suurhof mengajak Minke ke kediaman seorang gundik dari hartawan Belanda yang kaya raya. Seorang gundik yang banyak dikagumi orang, rupawan, berumur tiga-puluhan, pengendali utama Boerderij Buitenzorg, perusahaan pertanian seluas 180 hektare. 

Setelah menempuh perjalanan yang jauh, Minke dan Suurhof tiba di depan rumah yang sangat megah. Meskipun suatu keistimewaan bagi Pribumi bisa memasuki kediaman itu, namun perasaan asing tidak bisa dielakkan. 

Dan benar saja, Minke mendapatkan penerimaan yang tidak ramah dari tuan rumah. Alih-alih diajak nimbrung, ngobrol bareng bersama dua Robert, Minke diabaikan seorang diri di ruang tamu. Sebabnya cuma satu: karena Minke Pribumi dan tidak mau menyebut nama keluarganya yang berdarah raja-raja Jawa. 

Namun pengabaian itu tidak dilakukan oleh semua penghuni rumah. Adalah Annelies Mellema yang tetiba muncul mulai menyapa Minke. Berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan bermata Pribumi, jelas Annelies merupakan sosok impian Minke. 

Karena kegemilangan penampilan Annelies, Minke pun kikuk. Bahkan Minke dibuat tertegun saat Annelies menunjukkan aksinya di lapangan terbuka. Ya di ladang pekerjaan itu, Annelies menunjukkan kepemimpinannya dan keterampilannya bekerja, termasuk memerah susu sapi. 

Dengan gaun panjang satin, si Indo Annelies tetap lincah bergerak. Aksinya menyapa para pekerja juga memesona Minke. Meskipun Annelies mengaku tidak tamat E.L.S, setingkat sekolah dasar, tetapi lakunya di hadapan Minke jauh dari kesan ber-IQ jongkok. 

Aneka kelebihan Annelies itulah yang kemudian menggerakkan keberanian Minke untuk menyatakan sukanya. Minke menyebut Annelies gadis tercantik yang pernah ia temui dan malah berani menciumnya dua kali. Ya dua kali ciuman mendarat di wajah Annelies pada pertemuan pertama. 

Dan tampaknya Annelies tidak keberatan dengan laku lancang Minke. Ia malah mengadukan kelakuan Pribumi itu kepada Nyai Ontosoroh. Dan kini, Minke kudu berurusan dengan Nyai, yang menurut anggapan banyak orang, bertingkat susila rendah, jorok, tanpa kebudayaan, dan hanya punya perhatian pada berahi. 

Rupanya anggapan itu keliru. Nyai Ontosorh alias Sanikem punya dandanan rapi, wajahnya jernih, senyumnya keibuan, riasnya sederhana, kelihatan manis dan muda, berkulit langsat, dan berbahasa Belanda dengan baik. Minke malah menilainya punya adab yang tinggi, termasuk sikapnya pada anaknya yang halus dan bijaksana, serta terbuka,  

Kesilapan penilaian itu ternyata membuat Minke merasa tergenggam hatinya oleh Nyai Ontosoroh. Perasaan itu datang seiring dengan rasa penasaran yang dalam untuk mengetahui darimana Nyai memperoleh sikap yang hebat itu. 

Kekaguman Minke kepada Nyai semakin menjadi-jadi kala Tuan Herman Mellema, suami Nyai, memasuki rumah dan mendapati Minke tengah menyantap makanan di kediamannya. Bentakan hartawan Belanda itu pun tak terelakkan. Tetapi di luar dugaan, Nyai membela Minke dan malah mengusir suaminya. 

Minke sama sekali belum pernah melihat pemandangan itu: Pribumi mengusir orang Eropa yang tengah menjadi penguasa di Hindia Belanda. Bahkan si Nyai berani menawarkan Minke untuk tinggal lebih lama di rumahnya agar Annelies bisa punya teman bincang dan main. 

Annelies memang tidak punya teman. Sejak ia keluar dari E.L.S dan sepanjang lima tahun, tidak pernah ada tamu yang datang ke rumahnya. Annelies mengambil peran sebagai asisten Nyai dalam mengurusi perusahaan yang besar milik keluarga mereka. 

Tawaran itu sontak bikin bingung Minke. Ia pun mencurahkan isi hatinya kepada teman dekatnya dan mendapati petunjuk untuk menerima tawaran tinggal di rumah Nyai sekaligus menelusuri hikayat keluarga aneh itu. 

"Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan," (halaman 77) 

Lima hari tinggal di rumah mewah Nyai, Minke beroleh banyak cerita dari Annelies. Mulai dari kisah kelam Nyai saat "dijual" oleh ayahnya senilai 25 gulden kepada Tuan Herman untuk menjadi selirnya hingga perubahan sikap Tuan Herman ke arah gila setelah kedatangan anak kandungnya yang sah, Ir. Maurits, dari negeri Belanda.  

Sejak saat itu, Nyai ogah mengakui ayah dan ibunya sebagai leluhurnya yang sah. Meskipun Tuan Herman mengajarinya adab orang Eropa hingga Nyai bisa menjadi seperti saat ini, perasaan dendam ditelantarkan orang tua masih terpatri dalam hati. 

Dan dengan cerita itu, tersingkaplah rahasia dapur Nyai. Setelah itu, Minke bukannya merasa tenang melainkan kudu menjalani hidup susah. Terlebih setelah Robert Suurhof, kakak Annelies, mengancam untuk membunuhnya, secara tidak langsung. 

Jadilah ia sempat memutuskan untuk berhenti berhubungan dengan Annelies sebelum Darsam, penjaga rumah Nyai, datang menemuinya. Pendekar Madura itu mengabarkan Annelies sakit keras dan obat satu-satunya hanya kehadiran Minke. 

Dan akhirnya hati Minke luluh. Ia kembali lagi datang ke kediaman Nyai dan menjadi dokter bagi penyakit aneh yang diderita Annelies. Memang kemudian Annelies sembuh tetapi rahasia yang lebih besar terungkap setelah Minke menyerahkan dirinya ke pelukan Annelies, tidur berduaan. 

Ternyata rahasia itu bukan satu-satunya kejutan. Minke mendapati kejutan lain berupa pemecatannya dari sekolah karena dianggap telah dewasa, penilaian yang datang dari keputusannya menginap di rumah Nyai. 

Tetapi keputusan sekolah rupanya belum bulat. Manajemen sekolah memintanya kembali belajar di H.B.S Surabaya hingga lulus. Momen setelah kelulusan sekolah itu menjadi awal manis bagi Minke meskipun ia gagal untuk bisa melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda. 

Minke dan Annelies pun akhirnya menikah dan dirayakan dengan pesta yang megah di Wonokromo. Sepanjang enam bulan setelah hajatan itu merupakan saat-saat yang membahagiakan bagi keduanya, termasuk Nyai, hingga sepucuk surat dari Pengadilan Putih memanggil Nyai dan Annelies.

Ir. Maurits, anak kandung sah Tuan Herman, rupanya menuntut kekayaan mendiang ayahnya di Wonokromo dan pengadilan memutuskan Maurits menjadi wali bagi Annelies. Artinya, Annelies harus pergi ke negeri Belanda.

Bagi Annelies, berpisah dengan Minke dan Nyai adalah suatu kegilaan. Perasaan ini memaksanya menderita depresi berat. Ia diam seribu bahasa. Hingga hari penjemputan tiba, Annelies baru membuka suara. Itupun suara yang pedih.

"Sekali dalam hidup, biarlah aku suapi suamiku," kata Annelies kemudia terdiam dan tak mau bicara lagi.

Kepada Nyai, Annelies juga berpesan:

"Beri aku seorang adik sampai mama takkan lagi merasa tanpa Annelies,"

Terakhir kepada Minke:

"Kenangkan kebahagiaan saja ya, mas, jangan yang lain,"

Kita tentu mulai menduga-duga ke mana akhir cerita cinta Minke dan Annelies bermuara. Sampai pengujung narasi Bumi Manusia, kita ternyata dibuat penasaran dengan akhir kisah yang menggantung ini.

Tetapi di buku lanjutannya, Anak Semua Bangsa, duga-duga itu menemui jawabannya: Annelies menyerahkan nyawanya pada sebuah depresi berat di sebuah rumah tua tanpa perawatan medis yang memadai. Annelies menyerah setelah ikhlas melepaskan cengkaman Minke dan Nyai.

Kenyataan ini tentu meninggalkan tanya terutama bagi Nyai yang pernah mengatakan: 

"Dengan melawan kita takkan sepenuh kalah, Minke," (halaman 499). "Kita telah melawan Nak Nyo, sebaik-baiknya, sehormat hormatnya," (535)

Apakah benar begitu Nyai? Apakah benar demikian Minke? Yang terdengar kemudian hanya perkataan sahabat Minke, Jean Marais:

"Cinta itu indah Minke juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya," (81)

-----

Bumi Manusia 

Penulis: Pramoedya Ananta Toer; Penyunting: Astuti Ananta Toer; Perancang Sampul: Nadia; Tebal: 551 Halaman; Penerbit: Lentera Dipantara; Tahun Terbit: November 2015 (Cetakan ke-21), pertama kali terbit pada 1980 oleh Penerbit Hasta Mitra; ISBN: 978-979-97312-3-4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun