Meskipun kata malaadministrasi belum menjadi lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana maladministration yang telah masuk ke dalam kamus Bahasa Inggris, tetapi proses pembentukan katanya laras dengan kaidah yang berlaku.
Malaadministrasi juga punya sejawat kata serupa yang telah masuk menjadi lema dalam KBBI: malafungsi dan malagizi.
Berkaitan dengan penulisan malaadministasi tanpa atau dengan tanda hubung (-), kaidah ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan membolehkan penggunaan tanda hubung untuk memperjelas hubungan bagian-bagian kata atau ungkapan.
Seperti dalam "alat pandang-dengar", malaadministrasi juga bisa ditulis mala-administrasi.
Atas uraian proses morfologis itu, penjelasan Noam Chomsky pada sebuah wawancara dengan Lillian R. Putnam pada 1987 menjadi relevan.
Menurut Chomsky, penggunaan bahasa tidak didasarkan pada seperangkat sistem kebiasaan, melainkan upaya kreatif sebuah penciptaan bentuk baru berdasarkan seperangkat sistem kaidah dan prinsip tata bahasa setempat.
Kata maladministrasi, boleh dikatakan sebagai, sebuah mala-tatabahasa (penyimpangan gramatikal), kendatipun kata tersebut telah melekat pada sebuah ketentuan hukum (UU 37/2008).
Kata mala-administrasi, secara morfologis, lebih laras dengan kaidah tata Bahasa Indonesia. Dan bila suatu penciptaan baru boleh ditawarkan, pilihan kata, seperti: mala-tatalaksana atau mala-tadbir laik dijadikan pertimbangan atas sinonim mala-administrasi.
Memang, tidak semua kata yang berhiliran dalam laku percakapan dapat ditemukan dalam kamus. Inilah suatu kondisi yang disebut sebagai kekosongan kosa kata (lexical gap).
Suatu kata baru bisa disusun berdasarkan kaidah dan prinsip pembentukan kata (proses morfologis) sesuai tata bahasa setempat yang berlaku.
Dengan cara itu, suatu bahasa terus hidup dan berkembang selaras dengan kaidah tata bahasa yang melingkupinya.