Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

3 April 2024   07:10 Diperbarui: 3 April 2024   07:10 1347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Agar puasa yang kita lakukan tidak hanya mendapat lapar, dan haus belaka mari kita simak ulang firman Allah dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. 

Dari ayat tersebut kiranya kita dapat perintah, dan petunjuk Allah. Butir pertama yang harus diingat, dan disadari bahwa firman Allah tersebut ditujukan kepada orang yang beriman, jadi jangan beranggapan hanya ditujukan kepada orang Islam saja.

Butir kedua yang harus dipahami bahwa firman Allah tersebut juga telah diwajibkan kepada orang -- orang sebelum nabi Muhammad, artinya puasa juga diwajibkan kepada umat nabi sebelum nabi Muhammad yang sudah barang tentu berbeda tata cara, dan waktunya. Oleh karena itu hendaklah kita selaku muslim yang sedang melaksanakan puasa jangan selalu minta dihargai, dan dihormati orang lain; Tetapi kita juga hendaklah dapat menghargai, dan menghormati orang lain yang tidak berpuasa saat itu.

Sebagai intermezo berikut cerita singkat anak bungsu yang saat itu berdomisili di Tangerang Selatan sebagai berikut.

Saat berpuasa di bulan Ramadhan si bungsu mengajak anak sulungnya yang masih duduk di sekolah Taman Kanak -- Kanak, ke Pamulang Square untuk bermain. Meskipun masih di TK anak si bungsu yang tidak lain adalah cucuku, juga sudah belajar berpuasa. Usai bermain si bungsu mengajak anaknya pulang, dan dalam perjalanan si anak berkata pah itu kayaknya si om yang jual es teh ya? Si bungsu menjawab iya itu si om penjual es teh, memangnya kakak mau minum es teh? Ya tidaklah, kan kakak berpuasa jawab si cucu.

Si bungsu masih melanjutkan pertanyaan beraroma menguji anaknya. Kak kalau bulan puasa seperti ini kira -- kira boleh tidak ya orang menjual makanan, dan minuman? Spontan anaknya menjawab ya bolehlah kan banyak juga orang yang tidak berpuasa: ada orang sakit, orang tua, anak -- anak.

Begitu cerita sederhana tentang cucu yang disampaikan si bungsu kepadaku yang dapat membuat aku merasa bangga, dan bahagia layaknya di alam surga. Mengapa? Ya karena si cucu yang baru duduk di TK sudah dapat berpikir dewasa tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi dapat berpikir menghargai dan menghormati orang lain. Matur nuwun Gusti.

Butir ketiga agar kamu bertakwa, yaitu menjadi orang yang beriman, dan berbuat baik (beramal saleh) yang setiap tingkah laku, perbuatan, dan tutur katanya selalu mencerminkan rasa kasih sayang, tidak hanya kepada sesama manusia tetapi kepada sesama makhluk ciptaan Allah, inilah baju takwa yang sesungguhnya. Jadi hendaklah tidak beranggapan bahwa baju takwa adalah pakaian apapun modelnya, dan asesoris yang melekat pada badan wadag seseorang. Al Qur'an surat Maryam ayat 96. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.

Atas dasar hal - hal tersebut mudah -- mudahan dapat kita pergunakan sebagai bahan untuk mengevaluasi diri, apakah pelaksanaan puasa yang kita lakukan selama ini sudah dapat meningkatkan kadar ketakwaan kita atau hanya sekedar mendapat lapar, dan haus belaka.

Mari kita simak bersama uraian selanjutnya.

Adalah kebiasaan dari tahun ke tahun, setiap bulan Ramadhan diisi dengan berbagai kegiatan. Diantaranya berbuka puasa bersama di masjid, sembahyang isa dan tarawih secara berjama'ah, dan ceramah sebelum tarawih. Kegiatan itu makin intensif dilakukan disepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, biasanya diisi dengan pembacaan kitab Al Qur'an dalam bahasa Arabnya dengan harapan mendapat malam Laillatul Qadar. Jadi dapat dibayangkan betapa ramainya suasana bulan Ramadhan di malam hari, dan menjelang subuh di lingkungan kami.        

Sebagai umat Islam akupun melakukan aktifitas yang sama sebagaimana muslim yang lain. Bedanya, aku lebih sering mengaji kitab suci dalam bahasa yang aku pahami yaitu bahasa Indonesia. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam Al Qur'an surat Yusuf ayat 2. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.

Dengan mengajinya menggunakan bahasa yang kupahami, membuat aku mudah mencerna apa yang Allah firmankan kepada hamba-Nya. Itupun harus aku lakukan secara berulang -- ulang membacanya dengan segenap pikiran, dan rasa yang merasakan (Jawa=roso pangroso). Mengapa? Ya karena setiap petunjuk dalam Firman Allah atau Al Qur'an itu saling berkaitan, dan saling menjelaskan antar satu ayat dalam surat tertentu, dengan satu ayat dalam surat yang lain. Sehingga pembacaan yang berulang -- ulang menjadi wajib dilakukan untuk menangkap makna batiniah yang ingin disampaikan. Kegiatan mengaji makna  batiniah Al Qur'anpun tidak aku batasi waktu atau dalam bulan tertentu saja.

Setiap ayat yang berhasil kukaji aku tempatkan dalam hati, lalu aku amalkannya  ke dalam tingkah laku, perbuatan, dan tutur kataku dalam keseharian. Dengan cara itulah aku berharap sepanjang hidupku selalu berada dalam pancaran Nur Ilahi. Karena kemanapun pergi aku selalu membawa Al Qur'an bukan kitab Al Qur'an atau dengan kata lain perjalananku di atas dunia ini tak ubahnya perjalanan Al Qur'an itu sendiri.

Bulan Ramadhan 1425H ( 2004 M ) bertepatan pada malam ke 27 aku bermimpi. Dalam mimpi itu tergambar peristiwa terang benderang di malam hari, namun tak tampak adanya bulan. Banyak orang berkerumun, bersorak gembira  menyaksikan peristiwa menakjubkan itu, sambil berteriak "malam laillatul qadar, malam laillatul qadar, malam laillatul qadar". Aku berbaur dalam kerumunan orang itu, berdiri di samping seorang wanita berpakaian sederhana. Wanita itu memakai baju kebaya, dan kain ( Jawa = jarik ) yang sudah lusuh hanya sebatas dibawah lutut, sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Sayang mimpi itu hanyalah sebatas itu saja, selanjutnya aku terbangun, dan sahur bersama keluarga.

Mimpi itu sungguh membekas dalam benakku, begitu terpukaunya aku hingga aku ceritakan mimpi itu pada istri sambil bersantap sahur. Meskipun singkat, samar -- samar dapat aku tangkap makna petunjuk dalam mimpi itu. Sosok wanita sederhana tadi aku maknai sebagai orang desa yang umumnya berprofesi sebagai petani. Jadi menurut analisisku, sosok petani hakekatnya adalah gambaran dari orang yang sabar, dan ikhlas dalam melakoni perjalanan hidup di atas dunia ini.

Mereka mengolah tanah agar siap ditanami, menabur benih, merawat, memelihara, memupuk, hingga akhirnya tiba waktu mereka dapat memanen hasilnya. Mereka terbiasa berproses, menunggunya dengan sabar sejak bibit ditanam, hingga dapat menghasilkan dan dipanen. Artinya petani tidak pernah berpikiran instan, karena mereka tahu yang namanya berproses itu butuh waktu, dan itu dilakukannya dengan sabar dan ikhlas.

Mereka juga terlatih sabar, dan ikhlas dalam menghadapi semua keadaan. Saat harga beras membumbung tinggi misalnya, alih -- alih melakukan demo seperti umumnya masyarakat kota yang mengaku terpelajar itu, mereka justru menyiasatinya dengan mengonsumsi jagung atau ubi sebagai pengganti makanan pokok. Sungguh ikhlas dan sabar bukan?

Atas dasar tersebut aku menyimpulkan bahwa mimpi itu sebagai petunjuk " hanya orang yang berlaku sabar, dan ikhlaslah yang akan mendapatkan malam laillatul qadar".

Aku mengibaratkan bahwa puasa Ramadhan, dan rukun Islam lainnya pada hakekatnya adalah merupakan kawah candradimuka bila dianalogikan dalam jagad pewayangan. Yaitu sebagai wahana untuk menempa atau menggembleng atau membangun diri para penganut Islam agar menjadi insan yang berakhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur.

Berpuasa seharusnya tidak hanya dimaknai dari sisi lahiriah saja (menahan makan dan minum), tetapi lebih dari itu batin kitapun hendaklah wajib dipuasakan dengan cara menahan hawa nafsu diantaranya: menahan amarah, tidak membicarakan aib orang lain, tidak mencuri dengar pembicaraan orang lain, tidak berbohong, tidak korupsi, tidak mencuri, dan tidak melakukan perbuatan tercela lainnya. Kecuali itu kitapun harus sabar, dan ikhlas dalam setiap perbuatan termasuk dalam menerima ujian Allah sepahit apapun itu.

Jadi meskipun bulan Ramadhan telah berlalu dimana puasa lahir sudah tidak dilaksanakan, tetapi batin tetap wajib dipuasakan sepanjang masa sampai akhir hayat. Dengan demikian kapanpun, dan dimanapun kita berada manakala  Allah menghendaki untuk mewafatkan kita, kita wafat dalam kondisi berpuasa.

Saat bulan Ramadhan sering kita mendengar di TV ataupun media masa lainnya, dimana seorang pejabat atau penyampai risalah umumnya berkata "di bulan Ramadhan ini mari kita puasakan lahir, dan batin kita". Sepintas, tentu tidak ada yang salah dengan perkataan tersebut. Tapi bila kita tilik lebih mendalam, dan dirasakan melalui rasa yang merasakan kalimat itu dapat diartikan oleh orang yang pendek penalarannya menjadi "di luar bulan Ramadhan, berarti kita tidak perlu melakukan puasa lahir apalagi batin."

Semoga kita tidak menjadi bagian dari orang yang bernalar pendek itu. Sehingga untuk membangun akhlak, dan bersedekah pun tidak perlu menunggu moment Ramadhan tiba. Maka berhati - hati, dan hendaklah selalu ingat (Jawa = eling) serta waspada agar perbuatan yang sedianya baik sebagai penyampai firman Allah, justru akan mendapatkan kesengsaraan bagi diri sendiri. Mengapa? Ya karena sudah terbiasa menggiring umat untuk melakukan perbuatan hanya dengan iming -- iming pahala, dan surga belaka.

Mari kita kaji Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 174. Sesungguhnya orang - orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.

Selain itu "kawah candradimuka" Ramadhanpun diharapkan mampu menjadikan kita menjadi orang -- orang yang sabar. Sabar dalam setiap tingkah laku, perbuatan, dan tutur kata sehingga kesabaran itu dapat menjadikan jalan kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Atau dengan kata lain Allah akan selalu beserta kita kapanpun dan dimanapun kita berada. Sebagaimana difirmankan Allah dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Kembali ke pokok bahasan. Pada umumnya tiap sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan diisi dengan pembacaan kitab Al Qur'an dalam bahasa Arabnya, dengan harapan mendapat malam laillatul qadar. Bahkan oleh penceramah selalu ditekankan mari kita kejar laillatul qadar, mari kita kejar laillatul qadar.

Berbeda dengan cara pandang para penceramah pada umumnya, aku justru memiliki pandangan bahwa laillatul qadar hakekatnya adalah wahyu bila dalam jagad pewayangan. Dan untuk mendapatkan wahyu bukan dengan cara mengejar -- ngejar, tetapi justru wahyulah yang akan mencari wadah (dalam hal ini orang) yang sekiranya akan mampu ditempatinya.

Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 269. Allah menganugerahkan al hikmah ( kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar - benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang - orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). 

Pandanganku itu bukan berarti kita tidak perlu berusaha, hanyalah menunggu Allah yang menentukan. Sama sekali bukan begitu. Justru sebaliknya aku berpendapat bahwasanya usaha yang harus kita lakukan haruslah maksimal, dan berkesinambungan bukan saja pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, tetapi disepanjang waktu hidup kita. Sementara laillatul qadar itu sendiri, sepenuhnya adalah hak prerogative Allah untuk umat yang Dia pilih.

Aku adalah seorang warga negara Indonesia sudah barang tentu dalam mengawali puasa Ramadhan, aku hanya akan mengawali puasa sesuai dengan ketetapan Pemerintah.

Suatu saat pada bulan Ramadhan  hari ke 21  tepatnya tanggal 21 September 2008, terngiang dalam telingaku suara kidung dan secara spontan aku dapat merangkai sebuah kidung yang kemudian aku beri nama Kidung Pemut; Padahal aku bukanlah seorang penyair. Alhamdulillah kejadian itu membuatku semakin yakin Janji Allah adalah nyata. Firman Allah, Allah akan menambah petunjuk, kepada orang yang telah mendapat petunjuk. Al Qur'an surat Maryam ayat 76. Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal - amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya.

Kejadian lain yang betul -- betul aku alami saat bulan Ramadhan adalah sebagai berikut. Saat itu malam ke 21 Ramadhan tahun 2011, tepat 7 tahun setelah aku bermimpi tentang Laillatul Qadar. Setelah melakukan  kegiatan rutin harianku, lalu tidur. Pukul 02 dini hari aku terbangun, karena merasa ingin buang air kecil. Maka pergilah aku ke kamar mandi. Saat menuju ke kamar mandi, aku mendengar suara tetesan air dari kran disalah satu  kamar mandi, karena krannya memang agak bocor.

Kebetulan di lantai bawah terdapat 2 kamar mandi, dengan model kran berbeda. Di kamar mandi 1  model kran bulat ( tidak bertangkai ), sehingga untuk mengetahui posisi kran terbuka atau tertutup, perlu disentuh dengan memutarnya. Sedangkan kran yang ada di kamar mandi 2 model kran bertangkai, sehingga bila posisi tangkai melintang, dari jauhpun sudah dapat diketahui bila kran dalam keadaan tertutup.

Demi mendengar tetesan air dari kran, akupun merasa  senang karena itu menandakan air PAM mengalir.  Maklumlah di daerah ku air PAM tidak mengalir setiap hari, bisa 2 atau 3 hari sekali dengan debit yang kecil. Saat itu juga terpikir olehku untuk mengisi bak tandon air yang terletak di lantai atas menggunakan pompa air kecil. Untuk melancarkan proses pemompaan air ke bak tandon atas, akupun  mengecek untuk memastikan bahwa semua kran yang ada di bak bawah sudah dalam keadaan tertutup.

Akupun segera menuju ke kamar mandi 2, karena khawatir airnya keburu berhenti mengalir, sebelum dipompa ke atas. Setelah sampai di depan kamar mandi 2, aku dapati posisi kran bertangkai melintang, mengindikasikan kalau sesungguhnya kran dalam keadaan tertutup. Tetapi anehnya meski kran dalam posisi tertutup, kok bak terisi penuh dengan permukaan air tepat sampai dibibir bak, dan tidak meluber? Suara tetesan air berasal dari kran ini, karena memang kran ini agak bocor.

Selanjutnya aku melangkah ke kamar mandi 1,  kran di kamar mandi ini tidak bertangkai, jadi untuk memastikan posisi kran harus dengan memutar krannya. Saat aku cek, ternyata kran sesungguhnya dalam posisi terbuka. Keanehan terjadi lagi, bak sudah terisi penuh air dengan kondisi persis di kamar mandi sebelah, penuh hingga ke bibir bak tetapi tidak luber sama sekali. Yang tampak berbeda hanyalah air kran tidak mengalir di kamar mandi ini, meski kran dalam posisi terbuka. Selanjutnya kran aku tutup, lalu naik ke lantai atas menghidupkan pompa guna mengalirkan air menuju bak tandon atas.

Meskipun tampak janggal dan sempat bertanya dalam hati "Siapa yang telah berjaga hingga air bak terisi begitu sempurna?", toh aku tidak begitu ambil pusing atas peristiwa itu. Bergegas aku mandi, mumpung air dalam bak masih penuh. Setelahnya aku bangunkan istri untuk sahur. Sambil mempersiapkan sahur aku ceritakan kejadian itu pada istri, dan bertanya apakah dia berjaga tadi malam saat air PAM mengalir?  Istri akupun menggelengkan kepalanya. Kami memang hanya tinggal berdua saja di rumah ini.

Setelah sahur, aku menghidupkan TV yang secara kebetulan sedang menayangkan acara ceramah agama menjelang subuh. Entah stasiun TV apa saat itu aku lupa, tetapi yang jelas si penceramah mengatakan sebagai berikut. "Survai telah membuktikan, bahwa sejak zaman nabi hingga zaman wali, bila puasa hari pertama jatuh pada hari senin, maka laillatul Qadar pasti jatuh pada puasa Ramadhan malam ke 21."

Setelah mendengar ceramah itu, iseng aku melihat kalender kebetulan hari pertama puasa tahun itu memang jatuh pada hari Senin, tepatnya Senin Legi, 01 - 08 -- 2011. Lalu menghitungnya secara cepat dalam hati, dan baru tersadar bahwa semalam adalah Ramadhan malam ke 21. Beberapa fakta kembali tersaji dalam benakku, "kondisi bak yang penuh air secara misterius semalam, isi ceramah agama tentang turunnya laillatul qadar, semalam adalah malam ke 21 Ramadhan. " Spontan sekujur badan merinding, keluar keringat dingin bercampur rasa takut.

"Ya Allah, benarkah kejadian tersebut merupakan peristiwa malam laillatul qadar? Apakah itu berarti aku dapat dikatakan mendapat laillatul qadar? Apakah itu berarti aku termasuk dalam kelompok orang yang dimuliakan Allah? Maha Suci Allah, hanya Allah-lah yang mengetahui." 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun