Apa -- apa yang telah diputuskan, hendaklah dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab, dan tidak merubah fokus agar sasaran yang ingin dicapai tidak meleset. Sebagaimana contoh sederhana berikut. Andaikan seseorang memerintahkan orang sebagai berikut, bacalah surat kabar Lampung ( ditulis dalam bahasa Indonesia ), tanggal 20 Januari 2021. Dengan serta merta pelaksanaannya dimaknai dengan, mempelajari bahasa Indonesia. Dimulai dari belajar membaca, menghafal, dan menulis alphabet atau abjad Indonesia, a, b, c, ......... Â z.
Dilanjutkan dengan belajar merangkai huruf, misal. i + n + i  = ini, i + b + u = ibu, b + u + d + i  = budi. Terus ketiganya dirangkaikan sehingga berbunyi "ini ibu budi". Kalau mau jujur, bukankah ini pelajaran TK ( Taman Kanak -- Kanak ) di Indonesia? Demikian seterusnya, sehingga akhirnya orang yang diperintah untuk membaca surat kabar Lampung tanggal 20 Januari 2021 itu pandai membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia.
Pertanyannya. Apakah dengan pandai membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia orang tadi lalu secara otomatis mengetahui informasi atau berita, yang diwartakan  dalam  surat kabar Lampung tanggal 20 Januari 2021 dimaksud? Tidak. Mengapa? Karena fokus pelaksanaan, orang tersebut sudah berubah. Yang seharusnya  membaca agar mengetahui informasi atau berita yang diwartakan dalam surat kabar Lampung tanggal 20 Januari 2021, berubah menjadi mempelajari cara membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia.
Dan bisa jadi orang tersebut malah tidak mengetahui isi berita surat kabar Lampung tanggal 20  Januari  2021, mengapa? Karena untuk mempelajari sampai dapat membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia butuh waktu. Bisa satu minggu, satu bulan atau bahkan mungkin sampai satu tahun baru mahir. Mari dibayangkan apa yang terjadi? Bisa -- bisa koran yang harus dibaca tadi, malah sudah tidak diketahui dimana rimbanya, logis bukan? Dan ada yang lebih celaka lagi, apa itu? Belum sempat membaca, orangnya sudah mati duluan.
Kalau begitu, apakah orang tadi salah dan rugi? Tidak semuanya, salah dan rugi. Paling tidak, orang tadi sudah mendapat pahala atau ganjaran atau gift atas usaha atau perbuatan yang telah dilaksanakannya. Apa wujud pahala, atau ganjaran, atau gift yang didapatnya? Pahala atau ganjaran atas perbuatannya, orang tadi lalu mengerti aksara, menulis, dan pandai membaca dalam bahasa Indonesia. Atau dengan kata lain, yang tadinya termasuk kategori 3 buta, menjadi bebas 3 buta ( huruf, baca, tulis ) dalam bahasa Indonesia, alhamdulillah.
Kita hendaklah tidak berpikir, bahwa pahala baru akan diterima nanti kalau sudah mati. Dan kita hendaklah tidak berpikir, yang namanya pahala adalah surga diakherat kelak. Surgapun dapat dinikmati di dunia ini. Seperti orang yang sudah mendapat pahala atau ganjaran bebas 3 buta tadi, juga mendapat surga. Apa wujud surganya, wujud surganya kalau berjalan -- jalan atau berdarmawisata tidak kesasar, karena dia bisa membaca informasi dan petunjuk jalan.
Selanjutnya mari kita gali makna batiniyah, atau makna yang tersirat, atau makna yang tersembunyi dalam surat Luqman ayat 14. Dan Kami perintahkan kepada manusia ( berbuat baik ) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah - tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Ayat ini memberi petunjuk seyogyanya anak disapih, sedikitnya setelah berumur 2 tahun. Apakah pahala dan surga yang didapat orang tua, bila melaksanakan firman Allah ini? Pahala, atau ganjaran, atau hadiah yang didapat adalah ibunya sehat demikian pula anaknya, karena sang anak mendapat kekebalan tubuh langsung dari ibu melalui Air Susu Ibu ( ASI ). Dengan anak dalam kondisi sehat, orang tua dapat bekerja secara terfokus pada pekerjaannya. Hasil yang diperolah dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan keluarganya. Ini wujud surga dunianya. Mengenai pahala, dan surga dikelak kemudian hari itu hak prerogative Allah.
Sebaliknya bila seseorang tidak melaksanakan firman tersebut, begitu anaknya lahir tidak diberi ASI. Anak sakit -- sakitan, karena tidak mendapat kekebalan tubuh dari ibunya. Dengan anak sakit - sakitan, orang tua tidak dapat bekerja secara terfokus pada pekerjaannya. Dan hasil yang diperolah tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan keluarganya. Karena pendapatan yang diperoleh, habis digunakan untuk biaya perawatan anaknya. Kondisi seperti ini dapat mendorong seseorang untuk berbuat yang tidak semestinya hanya karena pendapatan yang pas -- pasan, dan didera kebutuhan yang mendesak. Dan karena didera penderitaan berkepanjangan  tidak menutup kemungkinan orang tadi lalu berbuat nekat, dan melanggar hukum yang akhirnya berurusan dengan penegak hukum. Ini wujud neraka dunianya. Mengenai imbalan dikelak kemudian hari, itu hak prerogative Allah.
Kembali ke masalah, bebas 3 buta dalam bahasa Indonesia. Salahnya, orang tersebut telah merubah sasaran atau merubah fokus atau merubah arah yang seharusnya. Dan ruginya, tertundanya orang tersebut mengetahui informasi atau berita yang diwartakan dalam surat kabar dimaksud. Atau malah tidak mengetahui sama sekali, karena korannya sudah tidak diketahui dimana rimbanya, atau bisa saja karena orangnya sudah mati duluan.
Lalu bagaimana, dengan yang selalu dikatakan orang - orang selama ini. Yang mengatakan, membaca kitab Al Qur'an dalam bahasa Arabnya dapat pahala, walau tidak mengerti artinya tidak apa -- apa. Mari dianalogikan, atau dialur pikirkan sama dengan ilustrasi tadi.
Kita diperintah membaca Al Qur'an, kemudian ditindaklanjuti dengan "ngaji" yang pelaksanaannya dimaknai hanya dengan belajar membaca, menulis, dan menghafal alphabet atau abjad Arab: alif, ba, ta .................... ya. Dilanjutkan dengan belajar merangkai huruf, misal. alif jere i + nun jere ni = ini, alif jere i + bak domah bu  = ibu, bak domah bu + dal jere di = budi, terus ketiganya dirangkaikan, berbunyi "ini ibu budi".
Kalau mau jujur, apakah ini tidak sama dengan kita mendaftarkan diri sebagai murid TK ( Taman Kawak - Kawak = Taman Kakek - Kakek ) di Arab? Demikian seterusnya akhirnya orang yang diperintah untuk membaca Al Qur'an, Â setelah mengaji lalu pandai membaca dan menulis dalam bahasa Arab. Pertanyaannya. Apakah dengan pandai membaca, dan menulis dalam bahasa Arab orang tadi lalu secara otomatis mengerti perintah dan petunjuk Allah? Tidak.
Mengapa? Karena fokus yang dikaji atau yang dipelajari, oleh orang tersebut sudah berubah. Yang seharusnya membaca, dimaknai dengan mengaji atau mempelajari perintah dan petunjuk Allah (Al Qur'an) agar dapat memahami makna batiniyah, atau makna yang tersirat, atau makna yang tersembunyi, atau makna yang terkandung didalamnya dengan benar dan tepat. Berubah menjadi mempelajari cara membaca, dan menulis kitab Al Qur'an dalam bahasa Arab.
Apakah dengan demikian, orang tadi salah dan rugi? Tentunya tidak semuanya salah dan rugi. Paling tidak orang tadi, sudah mendapat pahala atau ganjaran dari apa yang diperbuatnya. Apa wujud pahala atau ganjaran yang didapatnya? Wujud ganjaran atau pahala yang diterimanya: mengerti aksara, menulis, dan pandai membaca tulisan Arab. Yang semula termasuk kategori 3 buta, menjadi kategori  bebas 3 buta  ( huruf, baca dan tulis ) dalam bahasa Arab.
Salahnya karena orang tersebut telah merubah fokus kajian, atau mendustakan sasaran, atau arah yang seharusnya. Dan ruginya, tertundanya memahami makna batiniyah, atau makna yang tersirat, atau makna yang tersembunyi, atau yang terkandung dalam Al Qur'an dengan benar dan tepat. Dan alangkah celakanya kita, kalau belum dapat memahami perintah dan petunjuk Allah, sudah mati duluan.
Walau tertunda tetapi kalau setelah mengetahui akan kekeliruan selama ini, kemudian melakukan koreksi dan langkah tindak perbaikannya alhamdulillah, insya-Allah masih ada waktu dan kesempatan untuk memperbaiki. Tetapi kalau baru mengetahui, dan mengakui kekeliruan saat menjelang ajal tiba ( yang datangnya tidak ada pemberitahuan sebelumnya ); Oohhh alangkah rugi dan celakanya kita, karena sudah tidak ada waktu atau kesempatan lagi untuk memperbaikinya.
Hal yang perlu diingat dan disadari, mendustakan ayat Allah itu sungguh sangat berat hukumannya. Surat Al Baqarah ayat 39. Adapun orang -- orang yang kafir dan mendustakan ayat -- ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal didalamnya. Â
Mari dirasakan melalui roso pangroso. Termasuk mendustakan ayat Allah atau tidak, kalau kita diperintah untuk membaca ayat Allah ( Al Qur'an ), dengan harapan agar kita dapat memahami makna batiniyah yang terkandung didalamnya. Tetapi pelaksanaanya oleh "sang guru / ustadz" atau "sang pemuka" atau "sang panutan" atau apapun sebutannya, disampaikan hanya dengan mempelajari aksara, cara menulis, dan membaca dalam bahasa Arab?
Kecuali hal tersebut, mari kita koreksi mumpung masih punya waktu. Kita mempelajari bahasa Indonesia, yang menghasilkan kalimat "ini ibu budi". Lazim tidak dikatakan ngaji? Tidak bukan? Lalu bagaimana halnya, dengan mempelajari bahasa Arab. Yang sama - sama menghasilkan kalimat "ini ibu budi", kok dengan serta merta orang mengatakan ngaji? Sudah benar dan tepatkah, bila ngaji Al Qur'an hanya dimaknai sekedar mempelajari cara membaca kitab Al Qur'an dalam bahasa Arab?
Hal yang perlu kita ingat. Seseorang yang pandai membaca dalam bahasa Arab, tidak berarti serta merta akan memahami makna yang terkandung dalam Al Qur'an. Benarkah? Benar! Begini cerita singkatnya. Pernah keluarga penulis, diikuti seorang pemuda keturunan Arab ( teman dari anak bungsu penulis ) selama 3 bulan. Karena anak keturunan Arab sudah jelas, dan pasti pemuda tersebut sangat fasih membaca dalam bahasa Arab.
Tetapi ketika penulis sodorkan sebuah ayat tertentu dalam Al Qur'an, diapun mengatakan kalau membaca dalam bahasa Arabnya bisa, tetapi tidak memahami apa makna batiniyah, atau makna yang terkandung atau makna yang tersirat, atau makna yang tersembunyi dalam ayat tersebut. Benar bukan, bahwa pandai membaca kitab Al Qur'an dalam bahasa Arab, bukan merupakan suatu jaminan secara otomatis seseorang akan dapat memahami makna batiniyah perintah, dan petunjuk Allah tersebut.
Sekarang mari kita ujikan kepada diri kita sendiri, dan berani jujur mengakui. Kita sudah termasuk orang Indonesia kategori bebas 3 buta, kemudian kita membaca surat An Nuur ayat 35 Â yang sudah diterjemahkan dari bahasa Arab, ke dalam bahasa Indonesia.
Surat An Nuur ayat 35.  Allah (Pemberi) cahaya ( kepada ) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu didalam kaca  ( dan ) kaca itu seakan - akan bintang ( yang bercahaya ) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, ( yaitu ) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur (sesuatu) dan tidak pula disebelah barat (nya), yang minyaknya ( saja ) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya diatas cahaya ( berlapis - lapis ), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan - perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.Â
Sebagai orang yang mahir dalam bahasa Indonesia, tentunya amat sangat mudah untuk membaca surat ini bukan? Namun mari dengan jujur, menurunkan gengsi, dan mengedepankan bisa merasa kita jawab pertanyaan berikut. Sudah dapatkah kita menemukan makna batiniyah, atau makna yang tersirat, atau makna yang tersembunyi, atau makna yang terkandung dalam surat tersebut? Sekali lagi tolong dijawab dengan jujur, dan dirasakan melalui rasa yang merasakan ( Jawa = roso pangroso ).
Tidak mudah menemukan maknanya bukan? Perlu dikaji dengan tenang dan seksama melalui roso pangroso, mengingat perintah dan petunjuk Allah tidak disampaikan dalam bentuk siap saji, tetapi umumnya disampaikan dalam bentuk perumpamaan, mengapa? Karena Allah menghendaki, supaya manusia itu mau berpikir.
Surat Al Ankabuut ayat 43. Dan perumpamaan -- perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang -- orang yang berilmu.
Surat Al Hasyr ayat 21. Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.Â
Kepada teman - teman yang berprofesi sebagai penyampai risalah, apakah dengan sebutan: guru ( ustadz ), penyampai risalah, kiai, pemuka agama, ulama, dan atau sebutan lainnya, hendaklah berhati -- hati dalam melaksanakan tugas mulia, yaitu membangun manusia agar menjadi insan yang berakhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur. Jangan sampai ada perintah dan petunjuk Allah yang disembunyikan, atau didustakan baik disengaja maupun tidak di sengaja.
Surat Al Baqarah ayat 39. Adapun orang -- orang yang kafir dan mendustakan ayat -- ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.
Surat Al Baqarah ayat 174. Sesungguhnya orang -- orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit ( murah ), mereka itu sebenarnya tidak memakan ( tidak menelan ) kedalam perutnya melainkan api, dan Allah  tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.Â
Saudara -- saudara sungguh berat bukan sangsinya, kepada orang -- orang yang mendustakan ayat Allah itu. Â Hendaklah kita selalu ingat dan sadar akan bujuk rayu iblis, setan dan sebangsanya, yang selalu berupaya menjerumuskan manusia kejurang kenistaan, atau menjerumuskan manusia ke jurang kesengsaraan. Â
Lalu apa makna sesungguhnya dari surat An Nuur ayat 35 tadi? Sesungguhnya makna yang terkandung dalam surat An Nuur ayat 35 ini, sudah sering kita dengar. Namun karena nenek moyang kita ( Jawa ) menyampaikannya juga dalam bentuk perumpamaan, maka tidak atau belum semua orang dapat memahaminya yaitu "SATRIYO PININGIT".
Mengapa harus dalam bentuk perumpamaan? Begitulah, nenek moyang kita memberi contoh. Beliau disiplin, dan taat dalam melaksanakan perintah dan petunjuk Allah. Karena dalam Al Qur'an disebutkan perintah, dan petunjuk Allah disampaikan dalam bentuk perumpamaan, dimaksudkan agar manusia mau berpikir. Sayangnya para penganut Islam, hanya sedikit yang mau berpikir ke arah itu. Dan maunya, yang hanya tinggal menelan apa yang tersurat saja. Akibatnya pelaksanaan atau pengamalannya, jauh dari yang seharusnya.
Kalau ingin mengetahui lebih dalam makna yang terkandung dalam surat An Nuur ayat 35, dapat dibaca dalam tulisan penulis dengan Judul  "Sang Suci" atau "Satriyo Piningit", dan secara singkat dapat penulis sampaikan sebagai berikut. Penulis memang suku Jawa. Tetapi karena lahir, dan dibesarkan di tanah Lampung sudah barang tentu bahasa Jawa, lebih--lebih bahasa Jawa kromo atau halusnya tentu kurang menguasai dengan baik. Oleh karena itu seandainya penulis dalam menjelaskan arti harfiah kata satriyo piningit kurang tepat, mohon kiranya dapat dimaklumi.                Â
Secara harfiah, satriyo dapat disama-artikan dengan kesatria. Piningit, menurut hemat penulis dapat disama - artikan dengan: disembunyikan atau tersembunyi atau tidak dapat dilihat secara umum atau dikarantina atau tan kasat mata atau misterius. Dalam hal ini penulis cenderung menyama-artikan kata piningit dengan tan kasat mata. Jadi Satriyo Piningit, disama-artikan dengan Kesatria Tan Kasat Mata.
Dengan demikian Satriyo Piningit benar tan kasat mata, dan betapa misterius keberadaannya dalam wadag manusia. Namun demikian sesungguhnya Allah telah menunjukkan perihal mengenai Satriyo Piningit ini. Tetapi karena firman Allah disampaikan dalam bentuk perumpamaan, sudah barang tentu tidak mudah dipahami oleh manusia pada umumnya.
Penjelasan tentang Satriyo Piningit ini, dapat dikaji dalam surat An Nuur ayat 35. Allah ( pemberi ) Cahaya  ( kepada ) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah  seperti  sebuah lubang yang tak tembus yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu didalam kaca ( dan ) kaca itu  seakan--akan bintang ( yang bercahaya ) seperti mutiara, yang dinyala kan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur ( sesuatu ) dan tidak pula disebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya diatas cahaya ( berlapis-lapis ), Allah  membimbing  kepada  cahaya-Nya  siapa  yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan -- perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.            Â
Ketika anak bungsu penulis, yang saat itu masih kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Kimia Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pulang ke Lampung bertanya, pah siapa sesungguhnya Satriyo Piningit itu? Mengapa hal ini ditanyakan? Karena waktu itu sedang ramai-ramainya masyarakat membicarakan seseorang yang mengaku sebagai Satriyo Piningit, akan mendaftarkan diri menjadi calon Presiden.
Penulis menjawab kalau ingin tahu tentang siapa sesungguhnya Satriyo Piningit, coba diambil kitab Al Qur'an dan Terjemahnya itu, dan tolong dikaji dengan seksama surat An Nuur  ayat 35. Selang beberapa saat, pah sudah saya baca surat An Nuur ayat 35, tetapi tidak memahami makna batiniyahnya, bagaimana pah?
Adik ingin mengetahui keberadaan Satriyo Piningit? Benar, pah! Baik, tolong dibawa kitab Al Qur'an dan Terjemahnya. Lalu silahkan mengambil posisi tegak berdiri menghadap kearah Utara, dengan melangkahi ( Jawa=mengangkangi ) garis yang membujur dari Utara ke Selatan ini. Dengan demikian kaki kiri menapak disebelah Barat garis, sedangkan kaki kanan menapak di sebelah Timur garis.
Kepada sahabat - sahabat yang ingin mengetahui keberadaan Satriyo Piningit itu dimana, silahkan memposisikan  diri  dan  mengikuti arahan layaknya peragaan ini.                    Â
Siap? kata penulis, siap sahut si bungsu. Silahkan dibaca surat An Nuur ayat 35 tadi dengan tenang, dan dirasakan melalui roso pangroso. Si bungsu mulai membacanya. Allah (pemberi) Cahaya (kepada) langit  dan  bumi.  Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu didalam kaca ( dan ) kaca itu  seakan-akan bintang  ( yang bercahaya ) seperti mutiara, yang dinyala-kan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur (sesuatu ), .....................................................Â
Stop kata penulis. Tolong direntangkan tangan kanan adik ke arah timur, yang mengisyaratkan pohon zaitun tidak tumbuh disebelah timur ( sesuatu ). Setelah  dilaksanakan, tolong  dibaca selanjutnya kata penulis, ...................... dan tidak pula disebelah barat(nya), ............................... Stop kata penulis lagi. Tolong direntangkan tangan kiri adik ke arah barat ( tangan kanan sudah boleh istirahat untuk membawa kitab Al Qur'annya ), yang mengisyaratkan pohon yang banyak berkahnya (pohon zaitun) tidak tumbuh di sebelah barat (sesuatu). Selanjutnya penulis berkata silahkan dari peragaan tadi adik simpulkan sendiri, dimana kira -- kira tumbuhnya pohon zaitun atau pohon yang banyak berkahnya tersebut.
Si bungsu tidak berkata tetapi tangannya di arahkan ke dadanya sendiri, lalu berucap disini pah. Tepat, 100 buat adik. Disitulah keberadaan (Jawa = dununge) Cahaya Allah atau Nur Illahi, dan yang oleh nenek moyang kita disamarkan atau dikiaskan dengan sebutan Satriyo Piningit. Baik pah terima kasih, sudah paham sekarang, tegas si bungsu. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Dan  ungkapan  seperti  sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar tidak lain adalah wadag manusia. Karena bila wadag manusia itu dianalisis, tentunya juga merupakan rangkaian lubang ( pori -- pori ) yang melingkupi atau membungkus sekujur tubuh manusia, tetapi tidak tembus.
Mari diandaikan lubang itu tembus, layaknya pipa. Sudah barang tentu, bila manusia dilihat dari belakang tembus kedepan, bila dilihat dari depan tembus kebelakang. Bila manusia dilihat dari samping kiri, dapat tembus kesamping kanan. Dan sebaliknya bila dilihat dari samping kanan, dapat tembus kesamping kiri. Kalau demikian kondisinya bukan wadag manusia namanya, melainkan ya pipa itu tadi.
Sebagai kenyataan telinga kanan, dan kiri manusia berlubang dengan posisi segaris antara kanan dan kirinya. Tetapi bila dilihat dari sisi kanan, tidak dapat tembus kesisi kiri. Sebaliknya bila dilihat dari sisi kiri, tidak dapat tembus kesisi kanan. Kalau demikian halnya bukan pipa namanya, tetapi wadag manusia.
Jadi  Satriyo Piningit itu keberadaannya (Jawa = dununge), didalam wadag manusia. Apapun bangsa, dan suku bangsanya. Apapun warna kulit, dan bahasanya. Apapun agama, dan keyakinan, serta budayanya. Dengan kadar yang sama, karena berasal dari Dzat yang sama, dan kembalinyapun ke Dzat yang sama, yaitu ke sisi Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci.                     Â
Sehubungan dengan hal tersebut, mari mulai saat ini dibudayakan atau dibiasakan, manakala memandang orang lain, tak ubahnya memandang diri sendiri. Manakala bertegur sapa dengan orang lain, tak ubahnya bertegur sapa dengan diri sendiri. Manakala memperlakukan orang lain, tak ubahnya memperlakukan diri kita sendiri. Dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya, yang kesemua itu hendaklah diukurkan atau ditujukan terhadap diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum dikeluarkan ke pihak lain. Agar kita tidak terperangkap oleh bujuk rayu, dan atau tipu - daya iblis, setan, dan sebangsanya melalui nafsu yang ada dalam diri kita sendiri. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Jangan mentang -- mentang ( Jawa = ojo dumeh ) menjadi seorang pejabat apapun jabatannya, lalu berbuat semena -- mena kepada karyawan atau pembantunya. Jangan mentang -- mentang menjadi majikan atau orang yang menggaji, lalu berbuat semena -- mena terhadap buruh atau pembantunya. Jangan mentang -- mentang menganut satu agama, lalu penganut agama lain dikatakan kafir. Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya, silahkan dikembangkan sendiri.
Hendaklah kita menyadari, dan mengingat (Jawa = eling) secara terus menerus tanpa terputus (mendirikan shalat) bahwa Satriyo Piningit yang ada didalam: wadag si pejabat, si majikan, si pembantu, si pengemis, si penganut agama yang berbeda, dan si jembel sekalipun adalah sama, yaitu sama -- sama Satriyo Piningit yang berasal langsung dari Allah Swt. Tuhan Yang Maha Ghaib atau Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci.
Setelah kita mengetahui sebutannya adalah Cahaya Allah atau Nur Illahi, dan yang oleh sesepuh tanah Jawa disamarkan dengan sebutan Satriyo Piningit, serta setelah kita mengetahui tempatnya ( Jawa = dununge ), mestinya kita lalu bertanya siapa sejatinya yang dimaksud dengan sebutan Cahaya Allah, atau Nur Illahi, atau Satriyo Piningit itu? Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Cahaya Allah, atau Nur Illahi, atau Satriyo Piningit tersebut tidak lain adalah Ruh yang ditiupkan langsung oleh Yang Maha Suci, atau Yang Maha Ghaib kedalam wadag manusia apapun warna kulit dan bahasanya; Apapun suku bangsa dan bangsanya; Serta apapun agama, dan status sosial ekonominya.
Dan Ruh yang langsung berasal dari Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci tersebut pada hakekatnya adalah sebagian, dan bagian yang tidak terpisahkan dengan Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci. Oleh karena itu, sesungguhnya manusia memiliki sifat -- sifat kesucian layaknya sifat -- sifat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci. Atau dengan kata lain manusia itu memiliki sifat -- sifat keIllahian, layaknya sifat -- sifat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci. Dan yang keberadaan-Nya bersama kita, dimanapun kita berada.
Surat Al Hijr ayat 29. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Surat Shaad ayat 72. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI