Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Fokus Berubah

20 Januari 2021   21:48 Diperbarui: 20 Januari 2021   22:02 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Si bungsu tidak berkata tetapi tangannya di arahkan ke dadanya sendiri, lalu berucap disini pah. Tepat, 100 buat adik. Disitulah keberadaan (Jawa = dununge) Cahaya Allah atau Nur Illahi, dan yang oleh nenek moyang kita disamarkan atau dikiaskan dengan sebutan Satriyo Piningit. Baik pah terima kasih, sudah paham sekarang, tegas si bungsu.                                        

Dan  ungkapan  seperti  sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar tidak lain adalah wadag manusia. Karena bila wadag manusia itu dianalisis, tentunya juga merupakan rangkaian lubang ( pori -- pori ) yang melingkupi atau membungkus sekujur tubuh manusia, tetapi tidak tembus.

Mari diandaikan lubang itu tembus, layaknya pipa. Sudah barang tentu, bila manusia dilihat dari belakang tembus kedepan, bila dilihat dari depan tembus kebelakang. Bila manusia dilihat dari samping kiri, dapat tembus kesamping kanan. Dan sebaliknya bila dilihat dari samping kanan, dapat tembus kesamping kiri. Kalau demikian kondisinya bukan wadag manusia namanya, melainkan ya pipa itu tadi.

Sebagai kenyataan telinga kanan, dan kiri manusia berlubang dengan posisi segaris antara kanan dan kirinya. Tetapi bila dilihat dari sisi kanan, tidak dapat tembus kesisi kiri. Sebaliknya bila dilihat dari sisi kiri, tidak dapat tembus kesisi kanan. Kalau demikian halnya bukan pipa namanya, tetapi wadag manusia.

Jadi  Satriyo Piningit itu keberadaannya (Jawa = dununge), didalam wadag manusia. Apapun bangsa, dan suku bangsanya. Apapun warna kulit, dan bahasanya. Apapun agama, dan keyakinan, serta budayanya. Dengan kadar yang sama, karena berasal dari Dzat yang sama, dan kembalinyapun ke Dzat yang sama, yaitu ke sisi Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci.                                         

Sehubungan dengan hal tersebut, mari mulai saat ini dibudayakan atau dibiasakan, manakala memandang orang lain, tak ubahnya memandang diri sendiri. Manakala bertegur sapa dengan orang lain, tak ubahnya bertegur sapa dengan diri sendiri. Manakala memperlakukan orang lain, tak ubahnya memperlakukan diri kita sendiri. Dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya, yang kesemua itu hendaklah diukurkan atau ditujukan terhadap diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum dikeluarkan ke pihak lain. Agar kita tidak terperangkap oleh bujuk rayu, dan atau tipu - daya iblis, setan, dan sebangsanya melalui nafsu yang ada dalam diri kita sendiri.                                            

Jangan mentang -- mentang ( Jawa = ojo dumeh ) menjadi seorang pejabat apapun jabatannya, lalu berbuat semena -- mena kepada karyawan atau pembantunya. Jangan mentang -- mentang menjadi majikan atau orang yang menggaji, lalu berbuat semena -- mena terhadap buruh atau pembantunya. Jangan mentang -- mentang menganut satu agama, lalu penganut agama lain dikatakan kafir. Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya, silahkan dikembangkan sendiri.

Hendaklah kita menyadari, dan mengingat (Jawa = eling) secara terus menerus tanpa terputus (mendirikan shalat) bahwa Satriyo Piningit yang ada didalam: wadag si pejabat, si majikan, si pembantu, si pengemis, si penganut agama yang berbeda, dan si jembel sekalipun adalah sama, yaitu sama -- sama Satriyo Piningit yang berasal langsung dari Allah Swt. Tuhan Yang Maha Ghaib atau Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci.

Setelah kita mengetahui sebutannya adalah Cahaya Allah atau Nur Illahi, dan yang oleh sesepuh tanah Jawa disamarkan dengan sebutan Satriyo Piningit, serta setelah kita mengetahui tempatnya ( Jawa = dununge ), mestinya kita lalu bertanya siapa sejatinya yang dimaksud dengan sebutan Cahaya Allah, atau Nur Illahi, atau Satriyo Piningit itu?                                       

Cahaya Allah, atau Nur Illahi, atau Satriyo Piningit tersebut tidak lain adalah Ruh yang ditiupkan langsung oleh Yang Maha Suci, atau Yang Maha Ghaib kedalam wadag manusia apapun warna kulit dan bahasanya; Apapun suku bangsa dan bangsanya; Serta apapun agama, dan status sosial ekonominya.

Dan Ruh yang langsung berasal dari Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci tersebut pada hakekatnya adalah sebagian, dan bagian yang tidak terpisahkan dengan Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci. Oleh karena itu, sesungguhnya manusia memiliki sifat -- sifat kesucian layaknya sifat -- sifat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci. Atau dengan kata lain manusia itu memiliki sifat -- sifat keIllahian, layaknya sifat -- sifat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci. Dan yang keberadaan-Nya bersama kita, dimanapun kita berada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun