Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harta yang Membanggakan

11 Januari 2021   12:53 Diperbarui: 11 Januari 2021   13:05 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat penengah masih kuliah, sering menyampaikan keluhan kepada mamanya. Mengeluh bukan karena fasilitas dipondokannya tidak seperti teman -- temannya, tidak! Mengeluh karena temannya ke kampus naik sepeda motor, sedangkan dia tidak, juga tidak. Keluhan penengah, oleh mamanya lalu disampaikan kepada penulis. Penengah mengeluh, mengapa dia yang mendapat bea siswa, kata istri. Padahal masih ada temannya yang lebih membutuhkan bea siswa tersebut dari pada dirinya, lanjut istri menirukan keluhan penengah.

Mengapa penengah mendapat bea siswa malah susah, dan bukan sebaliknya? Karena bea siswa yang diterimanya, pasti tidak mungkin dapat diambilnya. Pasalnya, dalam pengambilan bea siswa tersebut disyaratkan untuk melampirkan Surat Pernyataan Penghasilan orang tua kurang dari Rp 500.000,- perbulan, dan diketahui oleh Lurah, serta Camat setempat. 

Sedangkan si penengah mengetahui persis, kalau papanya ya penulis tidak mungkin mau membuat pernyataan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Bea siswa yang diterima penengah tidak dapat dialihkan kepada orang lain, dan akhirnya hangus. Kejadian inilah yang membuat penengah mengeluh.

Lain lagi kisah si bungsu. Suatu saat istri memberitahu penulis. Si bungsu menemukan bungkusan disalah satu counter ATM BCA di Yogyakarta, kata istri. Untuk lebih memperjelas apa yang telah disampaikan istri, penulis lalu menghubungi si bungsu melalui telepon. Si bungsu menceritakan bahwa saat mau mengambil uang disalah satu counter ATM BCA, menemukan sebuah bungkusan. Karena memang tidak ada orang, bungkusan lalu dibawa pulang ke tempat kos - kosannya.

Sampai di rumah kos - kosan, teman -- teman saya kumpulkan, kemudian saya buka bungkusan tersebut, jelas si bungsu. Ternyata bungkusan tadi berisi uang, dan dengan spontan teman -- teman berteriak, rejeki nomplok Bay panggilan akrab buat si bungsu. Setelah dihitung ternyata, uang tersebut jumlahnya Rp 1.000.000,- ( satu juta rupiah ) ini terjadi tahun 1999. Uang saya bungkus kembali seperti semula, dengan maksud besuk pagi uang tersebut akan saya titipkan kepada pimpinan BCA dimana bungkusan tadi saya temukan, jelas si bungsu.

Singkat ceritanya saya bertemu dengan pemimpin BCA, dan saya utarakan maksud kedatangan saya, kata si bungsu. Bungkusan ini saya temukan tadi malam dalam counter ATM BCA sini, dan setelah saya buka ternyata berisi uang sebanyak Rp 1.000.000,-. Saya kemari untuk menitipkan bungkusan ini kepada bapak, dan saya mengharap kiranya bapak berkenan menyampaikan bungkusan ini seandainya ada orang yang melapor bungkusannya tertinggal di dalam counter. Akhirnya saya diberi tanda terima penitipan uang sebesar Rp 1.000.000,- oleh pemimpin BCA tersebut, lanjut si bungsu.

Mendengar cerita si bungsu, penulis lalu bertanya. Saat ini adik punya uang berapa? Tanya penulis. Di ATM tinggal Rp 20.000,- pa. Mendengar jawaban si bungsu, penulis berkata, papa bangga punya anak kamu dik, meski adik tidak memegang uang cukup tetapi masih bisa merasakan betapa susahnya orang yang uangnya tertinggal di counter. 

Alhamdulillah, pembiasaan sejak kecil membuahkan hasil, sehingga  semua anak - anak bisa merasakan kesusahan orang lain diatas kepentingan pribadinya. Dan ini merupakan harta yang paling membanggakan bagi penulis, karena anak -- anak tidak mau menerima atau mengambil, apa yang bukan menjadi haknya.

Cerita tentang harta yang membanggakan tersebut, tidak lain adalah kiprah nyata yang dialami ketiga anak -- anak penulis saat menempuh studi, nun jauh di seberang lautan dan jauh dari orang tua, tepatnya di Semarang bagi si sulung, dan di Yogyakarta bagi si penengah dan si bungsu. Dan kiprah nyata anak -- anak tersebut, paling tidak merupakan  pahala dan  surga bagi penulis selama melakoni hidup dan kehidupan diatas dunia ini, atas perbuatan dari anak -- anak yang mengedepankan perbuatan baik bagi sesama.

Alhamdulillah, harta yang membanggakan tersebut tidak hanya berhenti sampai di anak -- anak saja, tetapi berlanjut sampai ke anak -- anak mereka yang tidak lain adalah cucu -- cucu penulis. Hal yang membanggakan dan membahagiakan penulis selaku eyangnya adalah, ketika semua anak -- anak menginforfasikan tentang keberhasilan anak -- anaknya dibidang studi masing -- masing. Betapa bangga dan bahagianya penulis mendapat pahala ibaratnya, atas informasi keberhasilan cucu -- cucu dibidang studinya masing -- masing.

Bahkan ada satu informasi yang benar -- benar membuat penulis tidak hanya merasa bangga dan bahagia, namun sekaligus membuat penulis trenyuh atau terharu, sampai - sampai penulis menitikkan air mata bahagia. Apakah informasi atau kalau boleh penulis sebut sebagai pahala atau hadiah atau gift, sampai -- sampai menitikkan air mata bahagia tersebut?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun