Kemarin sore, seorang gadis remaja berseragam putih abu-abu tergopoh-gopoh melangkah ke arah saya dengan langkah besar-besar. Sebuah tas berwarna biru langit menempel di punggungnya dan dari gesture tubuhnya, saya tahu tas itu tidak ringan.
Tidak sampai disitu saja, tangannya masih memeluk tas jinjing yang lain, yang juga penuh dengan buku-buku pelajaran sekolah.
Ah, kasihan sekali anak-anak sekolah jaman sekarang. Buku yang harus dibawanya banyak. Berat. Dan lagi, tidak cukup sampai disitu, beban kepalanya juga pasti tidak ringan.
Banyak hal yang harus mereka hapalkan, banyak hal yang harus mereka pahami. Tidak peduli apakah ilmu itu sesuai dengan hobi dan minat mereka atau tidak. Tidak peduli ilmu itu berguna untuk kehidupan mereka atau tidak. Mereka harus hapal dan mengerti semuanya.
Dengan napas tersengal ia berhenti tepat di depan saya yang sedang duduk membaca koran. Segelas kopi yang masih mengepul menemani. Mendapatinya sudah di hadapan, saya berhenti membaca koran. Menatap ke arahnya dengan tatapan bertanya, “Ada apa?”
Setelah napasnya sedikit stabil, ia berkata, “Mas, tau nggak?” tanyanya. Saya mengernyitkan dahi. Tentu saja saya tidak tahu. Lah wong dia belum cerita apa-apa.
“Nilai ulangan kimia ku udah keluar, Mas..” katanya sumringah. Suaranya juga menebarkan aroma kegembiraan yang dalam.
Saya ikut-ikutan sumringah sekarang. Bahagia. Walau saya tahu raut wajahnya mengatakan nilainya memuaskan, saya tetap bertanya, “Dapet berapa?”
“Sembilan, Mas. Cuma salah satu” katanya lagi dengan kegembiraan yang berlipat. Ia melompat-lompat, persis seperti anak-anak yang mendapatkan mainan baru.
Saya ingin mengajarkannya agar tidak cepat puas, maka saya kemudian berkata, “Kenapa nggak dapet seratus?” dengan intonasi agak kecewa.
Sekali lagi, saya hanya ingin mengajarkan bahwa sembilan bukan nilai maksimal, jangan cepat puas hingga kau mendapatkan nilai paling tinggi. Jangan pernah berhenti sebelum kau mengerahkan segala daya untuk sebuah pencapaian luar biasa. Juara dua tetap pecundang! Pemenangnya hanya yang juara 1!
Wajah sumringah itu berubah sedikit, awan kesedihan tiba-tiba datang, “Iya mas, aku ceroboh. Yang salah itu karena aku lupa mengalikan hasilnya dengan dua. Salahnya itu doang, Mas.” Ia menunduk. Tidak melompat-lompat girang lagi.
“Nah lain kali, kalau mengerjakan soal harus hati-hati. Mas yakin kamu pintar, kamu seharusnya bisa dapet seratus. Ulangan berikutnya, kamu harus seratus. Oke!”
Ia menautkan telunjuk dan ibu jarinya membentuk lingkaran, sambil mengedipkan matanya, memberikan isyarat, “Oke, Mas”
Gadis remaja itu adalah siswa yang sering datang untuk konsultasi ke saya tentang pelajaran kimianya. Sebelumnya, mungkin nilai kimianya tidak begitu bagus.
Alhamdulillah sekarang sudah membaik dan terlihat sekali ia ketagihan datang ke saya dan belajar kimia. Dia bahagia dan saya pun juga. Semoga saja hubungan mesra antara saya dan dia ini, hubungan baik seorang siswa dan gurunya ini bisa terjaga. Saya ingin sekali melihatnya berhasil. Semoga.
Ah, sungguh, kebahagiaan sejati seorang guru itu bukanlah terletak dari seberapa besar gaji yang ia dapatkan. Bahkan menyaksikan anak-anak didiknya mengerti dan paham saja sudah menjadi kebahagiaan berlipat yang tidak mau digantikan dengan apapun. Sungguh.
Disclaimer: saya posting juga di BLOG PRIBADI saya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H