Wajah sumringah itu berubah sedikit, awan kesedihan tiba-tiba datang, “Iya mas, aku ceroboh. Yang salah itu karena aku lupa mengalikan hasilnya dengan dua. Salahnya itu doang, Mas.” Ia menunduk. Tidak melompat-lompat girang lagi.
“Nah lain kali, kalau mengerjakan soal harus hati-hati. Mas yakin kamu pintar, kamu seharusnya bisa dapet seratus. Ulangan berikutnya, kamu harus seratus. Oke!”
Ia menautkan telunjuk dan ibu jarinya membentuk lingkaran, sambil mengedipkan matanya, memberikan isyarat, “Oke, Mas”
Gadis remaja itu adalah siswa yang sering datang untuk konsultasi ke saya tentang pelajaran kimianya. Sebelumnya, mungkin nilai kimianya tidak begitu bagus.
Alhamdulillah sekarang sudah membaik dan terlihat sekali ia ketagihan datang ke saya dan belajar kimia. Dia bahagia dan saya pun juga. Semoga saja hubungan mesra antara saya dan dia ini, hubungan baik seorang siswa dan gurunya ini bisa terjaga. Saya ingin sekali melihatnya berhasil. Semoga.
Ah, sungguh, kebahagiaan sejati seorang guru itu bukanlah terletak dari seberapa besar gaji yang ia dapatkan. Bahkan menyaksikan anak-anak didiknya mengerti dan paham saja sudah menjadi kebahagiaan berlipat yang tidak mau digantikan dengan apapun. Sungguh.
Disclaimer: saya posting juga di BLOG PRIBADI saya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H