Dengan niat ingin berlatih, saya kemudian memberanikan diri mengikutinya. Masih ada waktu dua bulan lagi hingga deadline yang ditetapkan. Maka kemudian, saya sering merenung, mencari ide cerita dan menentukan tokoh serta konflik yang akan dibangun.
Baru sekitar satu bulan, cerita yang akan saya tuangkan utuh. Siapa tokoh-tokohnya, alurnya bagaimana, konfliknya seperti apa, hingga pesan kebaikan apa yang ingin saya sampaikan.
Satu bulan berikutnya lagi, saya gunakan untuk menulis. Saya membuat jadwal yang harus saya tepati sendiri. Pagi menulis hingga jam 10. Dilanjutkan membaca novel hingga Dhuhur. Setelah Ashar, saya melanjutkan menulis kembali. Malamnya, saya menikmati novel lagi.
Bagi saya, jika kita sedang menulis novel, maka kitapun harus membaca novel. mengambil pelajaran dari novel-novel yang ada, memperkaya diksi, dan secara tak langsung akan membuat tulisan kita menjadi lebih baik dengan sendirinya.
Tiga minggu saja, novel saya selesai. Saya beri judul Sepotong Diam. Seminggu berikutnya, saya gunakan untuk membaca ulang, mengedit-ngedit, dan mencetaknya untuk dikirim ke panitia lomba.
Hari-hari menjelang pengumuman menjadi hari paling lama dan mendebarkan. Hampir setiap hari saya membuka website panitia dan menduga-duga. Sebuah hal bodoh seharusnya. Karena tanggal pengumuman memang masih lama. Dan seandainya menang, bukankah seharusnya saya dihubungi oleh panitia?
Tapi begitulah, saya harap-harap cemas.
Hingga suatu hari, teman saya yang memberitahu tentang lomba ini, mengirimi saya pesan singkat lagi. Ia bilang:
“Bang Syaiha, barokallah ya. Novel Sepotong Diamnya juara 2. Itu berarti akan diterbitkan dan mendapatkan penghargaan. Salut. Saya pesan satu yaa..”
Ya Allah, itu adalah sebuah pesan singkat yang membuat hari saya dari pagi dan malam menjadi indah sekali. kerja keras saya selama dua bulan penuh terbayar lunas beserta bonus-bonusnya.
Benarlah bahwa, jika kita bersungguh-sungguh, maka kita akan mendapatkannya.