Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Sarjana, Apoteker

Pendidikan terakhir, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Sarjana lulus November 1975, Apoteker lulus Maret 1977. Profesi Apoteker, dengan nama Apotek Sido Waras, sampai sekarang. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil tahun 2003, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lampung Timur. Dosen Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Januari 2005 sampai dengan Desember 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Awan Kelabu di Akhir Studiku (1)

8 Januari 2019   22:17 Diperbarui: 8 Januari 2019   22:36 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Metro, adalah sebuah kota kecil, sekitar 60 km di Utara Tanjungkarang, Bandar Lampung. Kota ini dulunya adalah ibukota Kabupaten Lampung Tengah. Seiring dengan tuntutan pemekaran daerah, maka kota ini berkembang menjadi sebuah Kota. Di kota inilah aku dilahirkan, tepatnya di Desa Iringmulyo atau Bedeng 15 A, Metro, Propinsi Lampung, sekitar 71 tahun yang lalu.

Aku terlahir dari keluarga biasa saja, tidak tergolong kaya, namun juga tidak tergolong miskin. Bapakku berasal dari Desa Cibelok, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang Jawa Tengah. Beliau adalah seorang perantau, yang menurut ceritanya tahun 1929 saja beliau telah sampai ke tanah Aceh. Sementara ibuku berasal dari Desa Sawo, Kecamatan Campur Darat, Kabupaten Tulungagung Jawa Timur, yang tiba di Lampung sekitar tahun 1932 karena mengikuti transmigrasi kedua orang tuanya.

Menurut cerita bapak, beliau mempunyai banyak profesi. Diantaranya, beliau mengaku sebagai mantan patih. Sambil bergurau, aku berkomentar,"oalah pak pak, sekolah saja tidak, kok bilang pernah jadi patih. Patih dimana pak?". "Lo, patih di dunia kethoprak, to le" jawabnya dengan tawa berderai. Beliaupun bercerita, berhenti menjadi pemain kethoprak, karena pakaian kethopraknya hilang dicuri orang. Tak kusangka ada darah seni yang mengalir dalam nadi bapakku. Darah seni itu sendiri kurasakan tidak mengalir dalam diriku, kecuali hanya sebatas kegemaranku dalam melihat dan menikmati seni tradisional.

Setelah lulus dari dunia kethoprak, beliau beralih profesi menjadi seorang pilot. Pesawatnya beroda 6, terdiri dari 4 buah roda depan dan 2 buah roda belakang. Ha ha.. yak.. itu bukan pesawat sungguhan tapi delman atau sado atau bendi. Karena begitu kentalnya darah seni beliau, tiap mengendarai delman, bapak tak pernah lupa melantunkan lagu-lagu tradisionalnya.  

Profesi terakhir bapakku adalah pedagang. Semula beliau adalah pedagang yang tidak menetap, artinya membeli barang dagangan dari Metro, kemudian dijualnya ke Palembang. Kadang -- kadang sampai satu bulan di Palembang, baru pulang ke Metro untuk membeli barang dagangan lagi. Satu sampai dua minggu di rumah dan setelah barang dagangan terkumpul, bapak berangkat lagi ke Palembang untuk menjualnya, demikian seterusnya.

Seiring bertambahnya usia, akhirnya beliau memutuskan menjadi pedagang menetap. Bapak lalu membeli sebuah toko di pasar kota Metro, dan menjual barang dagangannya disana. Orang menyebut jenis barang dagangan bapak sebagai barang grabatan. Jenis barang ini beliau pilih, karena barang ini tidak mungkin dapat busuk atau basi walau disimpan lama. Barang grabatan, terdiri dari berbagai macam alat keperluan dapur, antara lain: kuali, parut, gentong, tambang/tali, rotan, coek, anglo, bakul, kukusan, sapu lidi, sapu ijuk, doran pacul ( tangkai cangkul ) dan lain - lain.

Kedua orangtuaku buta huruf, karena beliau berdua tak pernah mengenyam pendidikan. Saat itu memang sedikit sekali orang yang beruntung bisa merasakan bangku sekolah. Meski demikian bapakku berusaha belajar membaca dan menulis secara otodidak. Karena kegigihan dan keinginannya untuk dapat membaca dan menulis, akhirnya beliaupun dapat membaca dan menulis meskipun hasil tulisannya hanya dapat dibaca oleh bapakku sendiri. Bapak menamai tulisannya "tulisan cowek", sambil berkelakar beliau berujar bahwa "tulisan cowek" artinya  tulisan yang hanya untuk diwoco dhewek (dibaca sendiri). 

Karena menyadari kekurangannya, maka kedua orangtuaku mempunyai tekad besar untuk menyekolahkan semua anak-anaknya . "Jaman wis bedo, kowe kabeh kudu kenal sekolahan, ben ora bodho koyok Bapak lan Ibu" ( Zaman sudah berubah, kalian harus sekolah agar tidak bodoh seperti bapak dan ibu ), itulah nasehat yang selalu beliau katakan kepada kami bertujuh. Kami memang keluarga besar, aku terlahir sebagai anak tertua. Adik -- adikku terdiri dari 1 orang laki -- laki dan 5 orang perempuan. Sayangnya, atas kehendak Allah, adik laki -- lakiku lebih dulu berpulang. Dia meninggal saat anak perempuannya berumur sekitar 7 bulan.

Aku mempunyai hobi olah raga dan mendapat dukungan penuh dari orang tua. Kebutuhan akan alat olah raga selalu dipenuhi orangtuaku dengan 2 syarat, yaitu: aku tidak boleh main di sungai dan tidak boleh memanjat pohon. Demi mendapatkan alat -- alat olahraga yang aku inginkan, tentu kedua syarat itu dengan senang hati aku patuhi. Sehingga sebelum masuk Sekolah Rakyat  ( sekarang Sekolah Dasar ), aku sudah memiliki bola kaki yang terbuat dari karet, raket badminton, dll. Sungguh sebuah kemewahan kecil di jamanku. Dukungan dan fasilitas itulah yang menjadi cikal bakal, minatku pada bidang olahraga hingga aku dewasa.

Sejak kecil aku bercita-cita ingin melanjutkan studi ke Yogyakarta, oleh karena itu setelah aku lulus dari SMA aku segera mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk berangkat ke Yogyakarta. Dengan berbekal uang sebesar Rp 7.500,- (sangat mepet saat itu), aku berangkat ke Yogyakarta tanpa diantar siapapun. Semula memang bapak mau mengantarkan, tetapi akhirnya tidak jadi. Bapak tidak usah mengantar ke Yogyakarta, karena bapak juga tidak tahu pojoknya Yogyakarta itu seperti apa, kataku kepada bapak. Insya-Allah aku akan sampai ke Yogyakarta, walau bapak tidak mengantarkan, tegasku.

Tepatnya tanggal 20 November 1968 sore, aku berangkat bersama tetangga yang kebetulan mau ke Jakarta. Sampai di Jakarta, aku melanjutkan perjalanann ke Yogyakarta sendiri dengan naik bus malam kilat Gaya Baru. Keesokan harinya, hari Sabtu tanggal 22 November 1968, sekitar pukul 9.00 wib, aku menginjakkan kaki pertama kali  di Yogyakarta, tepatnya di plataran Hotel Garuda Jl. Malioboro Yogyakarta.

Dari plataran Hotel Garuda, aku naik becak ke Skip mencari tempat kos teman yang sudah lebih dahulu kuliah di Fakultas Pertanian UGM. Dari tempat pemberhentian bus ini, aku sudah mengetahui kearah mana menuju ke Skip. Karena aku telah dibekali denah lokasi oleh guruku SMA, dan beliau juga menitipkan bingkisan buat orang tuanya yang beralamat di Wirobrajan gang VII / 142 Yogyakarta.

Alhamdulillah, Allah telah mengatur sebelumnya. Aku bersyukur karena begitu becak berbelok kearah jalan Kaliurang, teman juga tepat mau berbelok dari arah jalan Kaliurang ke jalan Jendral Soedirman. Betapa senang hatiku bak mendapat durian runtuh rasanya, ketika bertemu teman dalam perjalanan sehingga tidak susah -- susah aku mencarinya. Akhirnya teman balik kanan lalu pulang, dan aku bermalam ditempat kos -- kosannya. 

Aku menginap di kos - kosan teman ini selama 2 hari 2 malam, di Desa Blimbingsari Skip. Kemudian aku pindah ke Sendowo, karena kebetulan ada kamar kosong. Kamar ini kosong, karena penghuni sebelumnya baru saja lulus Sarjana Muda dan akan pulang ke Lampung. Telusur punya telusur, ternyata teman yang baru lulus ini adalah putra pedagang beras yang tokonya berdampingan dengan toko bapakku. Karena teman akan pulang ke Lampung, maka sepedanya digantikan kepadaku dengan harga Rp 4.500,-. Aku setuju, dengan syarat aku bayar dulu Rp 1.000,- dan sisanya akan dilunasi bapak di Lampung.

Dengan demikian aku sudah punya sepeda, walau belum mendapat tempat studi. Alhamdulillah pula aku ucapkan, karena segala apa yang telah, sedang dan akan terjadi memang sudah diatur Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa. Kok ya kebetulan pula, dibelakang rumah tempat aku indekos terdapat lapangan badminton. Jadi, kalau mau main badminton tinggal kebelakang rumah saja. Ketemu duniaku, pikirku.

Melalui teman yang akan pulang ke Lampung, aku menitipkan surat buat orang tua di Lampung. Isi suratnya antara lain, mengabarkan kalau aku sudah sampai di Yogyakarta dalam keadaan sehat. Bapak, aku harapkan agar melunasi kekurangan pembayaran sepeda, kepada yang membawa surat ini. Kecuali itu aku juga menyampaikan tekad, bahwa aku tidak akan pulang ke Lampung sebelum diterima di Perguruan Tinggi.

Hari hari selanjutnya dengan dipandu teman, aku mendaftarkan di 3 Fakultas, yang  kesemuanya di UGM. Hitung-punya hitung, uang tinggal sisa Rp 1.000,-. Dengan sejumlah uang inilah yang aku pergunakan untuk bertahan hidup, selama aku mengikuti testing dan menunggu pengumuman hasil tes.

Kos -- kosan aku, dekat dengan kos - kosan teman lain, yang juga berasal dari Lampung. Hari pertama, teman ini yang mengajari aku menanak nasi. Malamnya kami makan bersama, dengan lauk lotek, maklum aku indekos ditempat penjual lotek. Hari keduanya si teman pergi entah kemana, sedangkan nasi tidak ada. Mau tidak mau, aku yang menanak nasi. Aku mengambil beras 1 kaleng milk, dimasukkan kedalam periuk. Setelah dicuci, ditambah air seperlunya seperti yang diajarkan teman.

Lalu periuk aku tempatkan diatas kompor, kemudian kompor kunyalakan. Tiba saat makan, kami semua tertawa geli, karena nasinya tidak matang        ( Jawa = ngletis). Hal ini terjadi karena begitu periuk isi beras naik kompor, sejak kompor dinyalakan sampai dimatikan, isi periuk tidak pernah aku aduk. Maklum saja, karena memang selama di Lampung, aku tidak pernah melakukan pekerjaan seperti itu. Apa boleh buat karena memang perut sudah keroncongan, nasi setengah matang atau ngletispun habis pula dimakan.

Testing demi testing aku ikuti dengan baik, dan setelah menunggu selama lebih kurang 2 minggu aku menerima panggilan dari Fakultas Farmasi UGM di Karangmalang. Dalam surat panggilan dinyatakan, aku diterima di Fakultas Farmasi UGM dan harus mendaftar kembali bersama orang tua atau wali, pada tanggal 5 sampai 11 Januari 1969.

Perasaan aku saat itu sangatlah gembira dan bersyukur kehadirat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa, atas diterimanya aku di Fakultas Farmasi UGM. Disini aku diingatkan dengan masa laluku. Yang saat itu, setiap malam menjelang pertandingan sepak bola aku biasa meracik jamu sendiri, eehh ternyata kebiasaanku tadi merupakan petunjuk yang mengantarkan aku ke Fakultas Farmasi.

Disisi lain akupun agak galau dan bersedih karena jauh dari orang tua, dan harus mencari pinjaman uang sekedar untuk ongkos pulang ke Lampung menjemput orang tua. Belum lagi berpikir, mungkinkah dalam waktu singkat bapak - ibuku dapat menyiapkan sejumlah dana untuk pendaftaran ulang.

Setelah mendapat pinjaman uang, aku segera pulang ke Lampung, tepatnya pada tanggal 1 Januari 1969. Sampai di rumah, orang tuaku terkejut. Karena aku pulang, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Waktu itu, belum marak atau bahkan belum ada yang berkomunikasi melalui HP layaknya sekarang ini. Mau pakai surat kilat khusus sekalipun, bisa -- bisa surat baru sampai setelah aku sampai di rumah. Atau dengan kata lain kabar belum diterima orang tua, pengirim kabar ( aku ) sudah berkumpul dengan orang tua duluan. Akhirnya aku sampai di rumah hari Sabtu tanggal 3 Januari 1969, dan menyampaikan kabar kalau aku telah diterima di Fakultas Farmasi UGM.

Mendengar kabar tersebut bapak - ibu sangat gembira, yang tergambar pada raut wajah beliau. Selanjutnya memberitahukan pula, kalau aku harus segera mendaftar kembali secepatnya bersama orang tua. Kemudian bapak bertanya, kapan kita berangkat ke Yogyakarta le (nak)? Besuk senin Pak, jawab aku spontan. Karena pendaftaran ulang, dimulai tanggal 5 sampai tanggal 11 Januari 1969, lanjut aku. Benar juga, bapak sangat terkejut mendengar jawabanku. Beliau lalu berkata, bapak dapat uang dari mana untuk mendaftar ulang dan ongkos, kalau harus secepat itu kita berangkat ke Yogyakarta.  

Akupun merasa bimbang mendengar kata bapak, namun karena kedua orang tua aku memang sudah sejak awal bertekat, ingin menyekolahkan anaknya sampai tamat; Akhirnya  datanglah Dewa Penolong yang tidak lain adalah ibuku. Beliau mengiklaskan perhiasan berupa kalung emasnya dijual, untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dari hasil penjualan perhiasan ibu, diperoleh uang Rp 20.000,-. Terima kasih ibu, sungguh besar pengorbananmu buat aku.

Sebelum berangkat, bapak bertanya mengenai perkiraan kebutuhan biaya hidup perbulanku di Yogyakarta? Dengan jujur aku menjawab: beras 10 kg sebulan, beli lauk pauk Rp 20,- sehari, beli sabun mandi dan cuci, odol, minyak tanah total jendral sekitar Rp 1.500,- kurang sedikit. Lalu beliau berkata, untuk bulanannya nanti dikirim Rp 1.500,-. Mendengar itu aku lalu menjelaskan lagi, bahwa uang sekian itu belum termasuk untuk membeli buku, memperbaiki atau merawat sepeda, beli es kalau haus di jalan dan lain -- lain. Akhirnya bapak memutuskan akan mengirim uang Rp 2.000,- setiap bulannya.

Uang lauk pauk Rp 20,- perhari, karena aku hanya makan 2 kali sehari siang dan malam. Jadi untuk 1 kali makan Rp 10,-. Kalau aku ingin makan pakai lauk (tahu/tempe) Rp 10,- berarti tanpa sayur. Demikian pula bila aku ingin makan pakai sayur Rp 10,- berarti tanpa lauk (tahu /tempe).

Sesuai direncanakan, hari senin tanggal 5 Januari 1969 aku bersama bapak berangkat ke Yogyakarta dengan bekal Rp 20.000,-, dan tiba di Yogyakarta tanggal 7 Januari 1969. Kemudian tanggal 8 Januari 1969, aku bersama bapak mendaftar ulang ke Fakultas Farmasi UGM di Karangmalang. Waktu mendaftar ulang, bapak dipersilahkan masuk menghadap Dekan dan jajarannya. Selang beberapa saat, aku diminta masuk juga kedalam ruangan. Banyak penjelasan yang disampaikan kepada bapak dan aku, dan akhirnya bapak ditanya mau menyumbang berapa kepada Fakultas.

Bapak menceritakan kondisinya di Lampung, juga mengenai dagangan yang dijualnya. Kemudian bapak menyatakan akan menyumbang Rp 20.000,-, saat itu akan membayar Rp 10.000,- sedang  sisanya mohon perkenan untuk diangsur 2 kali.  Permohonan bapak dikabulkan dan bahkan disarankan, bila untuk ongkos pulang dirasa uangnya tidak mencukupi, bapak diperbolehkan membayar Rp 5.000,- dahulu. Tetapi bapak tetap menyatakan, kalau mau membayar Rp 10.000,-.

Dengan telah mendaftar ulang, berarti aku sudah resmi menjadi mahasiswa Fakultas Farmasi UGM. Saking gembiranya, sepulang mendaftar ulang, aku mengajak bapak untuk berjalan kaki dari Karangmalang ke Sendowo yang jaraknya sekitar 4 km. Bukannya bapak menolak, kecuali hanya mengiyakan apa yang aku mau. Dan antiknya lagi, saat mendaftar ulang bapak memakai sarung.

Bapak di Yogyakarta tidak lama, karena esok harinya bapak sudah ingin pulang ke Lampung. Karena tahu kalau bapak berasal dari Pemalang Jawa Tengah, beliau aku tanya apakah bapak tidak ingin mampir menengok saudara -- saudara di Pemalang? Beliau menjawab tidak, karena saudara -- saudara di Pemalang banyak, dan uangnya hanya tinggal Rp 4.000,-. Aku dapat memahami keadaan bapak, jadi tidak melanjutkan pembicaraan tentang saudara bapak di Pemalang.

Ketika bapak akan pulang ke Lampung, beliau banyak memberi nasehat dan berpesan kepadaku. Salah satu pesan beliau, jangan sekali -- kali berkirim surat mengabarkan kalau kamu sakit. Boleh kamu berkirim surat mengabarkan sakit, kalau sakitmu sudah parah dan akan mati. Nasehat tersebut aku terima dengan senang hati dan legowo, karena aku dapat memahami keadaan orang tua di Lampung. Kepada pembaca budiman dimohon bersabar,  menanti kelanjutan kisah nyata ini.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun