Setelah mendapat pinjaman uang, aku segera pulang ke Lampung, tepatnya pada tanggal 1 Januari 1969. Sampai di rumah, orang tuaku terkejut. Karena aku pulang, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Waktu itu, belum marak atau bahkan belum ada yang berkomunikasi melalui HP layaknya sekarang ini. Mau pakai surat kilat khusus sekalipun, bisa -- bisa surat baru sampai setelah aku sampai di rumah. Atau dengan kata lain kabar belum diterima orang tua, pengirim kabar ( aku ) sudah berkumpul dengan orang tua duluan. Akhirnya aku sampai di rumah hari Sabtu tanggal 3 Januari 1969, dan menyampaikan kabar kalau aku telah diterima di Fakultas Farmasi UGM.
Mendengar kabar tersebut bapak - ibu sangat gembira, yang tergambar pada raut wajah beliau. Selanjutnya memberitahukan pula, kalau aku harus segera mendaftar kembali secepatnya bersama orang tua. Kemudian bapak bertanya, kapan kita berangkat ke Yogyakarta le (nak)? Besuk senin Pak, jawab aku spontan. Karena pendaftaran ulang, dimulai tanggal 5 sampai tanggal 11 Januari 1969, lanjut aku. Benar juga, bapak sangat terkejut mendengar jawabanku. Beliau lalu berkata, bapak dapat uang dari mana untuk mendaftar ulang dan ongkos, kalau harus secepat itu kita berangkat ke Yogyakarta. Â
Akupun merasa bimbang mendengar kata bapak, namun karena kedua orang tua aku memang sudah sejak awal bertekat, ingin menyekolahkan anaknya sampai tamat; Akhirnya  datanglah Dewa Penolong yang tidak lain adalah ibuku. Beliau mengiklaskan perhiasan berupa kalung emasnya dijual, untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dari hasil penjualan perhiasan ibu, diperoleh uang Rp 20.000,-. Terima kasih ibu, sungguh besar pengorbananmu buat aku.
Sebelum berangkat, bapak bertanya mengenai perkiraan kebutuhan biaya hidup perbulanku di Yogyakarta? Dengan jujur aku menjawab: beras 10 kg sebulan, beli lauk pauk Rp 20,- sehari, beli sabun mandi dan cuci, odol, minyak tanah total jendral sekitar Rp 1.500,- kurang sedikit. Lalu beliau berkata, untuk bulanannya nanti dikirim Rp 1.500,-. Mendengar itu aku lalu menjelaskan lagi, bahwa uang sekian itu belum termasuk untuk membeli buku, memperbaiki atau merawat sepeda, beli es kalau haus di jalan dan lain -- lain. Akhirnya bapak memutuskan akan mengirim uang Rp 2.000,- setiap bulannya.
Uang lauk pauk Rp 20,- perhari, karena aku hanya makan 2 kali sehari siang dan malam. Jadi untuk 1 kali makan Rp 10,-. Kalau aku ingin makan pakai lauk (tahu/tempe) Rp 10,- berarti tanpa sayur. Demikian pula bila aku ingin makan pakai sayur Rp 10,- berarti tanpa lauk (tahu /tempe).
Sesuai direncanakan, hari senin tanggal 5 Januari 1969 aku bersama bapak berangkat ke Yogyakarta dengan bekal Rp 20.000,-, dan tiba di Yogyakarta tanggal 7 Januari 1969. Kemudian tanggal 8 Januari 1969, aku bersama bapak mendaftar ulang ke Fakultas Farmasi UGM di Karangmalang. Waktu mendaftar ulang, bapak dipersilahkan masuk menghadap Dekan dan jajarannya. Selang beberapa saat, aku diminta masuk juga kedalam ruangan. Banyak penjelasan yang disampaikan kepada bapak dan aku, dan akhirnya bapak ditanya mau menyumbang berapa kepada Fakultas.
Bapak menceritakan kondisinya di Lampung, juga mengenai dagangan yang dijualnya. Kemudian bapak menyatakan akan menyumbang Rp 20.000,-, saat itu akan membayar Rp 10.000,- sedang  sisanya mohon perkenan untuk diangsur 2 kali.  Permohonan bapak dikabulkan dan bahkan disarankan, bila untuk ongkos pulang dirasa uangnya tidak mencukupi, bapak diperbolehkan membayar Rp 5.000,- dahulu. Tetapi bapak tetap menyatakan, kalau mau membayar Rp 10.000,-.
Dengan telah mendaftar ulang, berarti aku sudah resmi menjadi mahasiswa Fakultas Farmasi UGM. Saking gembiranya, sepulang mendaftar ulang, aku mengajak bapak untuk berjalan kaki dari Karangmalang ke Sendowo yang jaraknya sekitar 4 km. Bukannya bapak menolak, kecuali hanya mengiyakan apa yang aku mau. Dan antiknya lagi, saat mendaftar ulang bapak memakai sarung.
Bapak di Yogyakarta tidak lama, karena esok harinya bapak sudah ingin pulang ke Lampung. Karena tahu kalau bapak berasal dari Pemalang Jawa Tengah, beliau aku tanya apakah bapak tidak ingin mampir menengok saudara -- saudara di Pemalang? Beliau menjawab tidak, karena saudara -- saudara di Pemalang banyak, dan uangnya hanya tinggal Rp 4.000,-. Aku dapat memahami keadaan bapak, jadi tidak melanjutkan pembicaraan tentang saudara bapak di Pemalang.
Ketika bapak akan pulang ke Lampung, beliau banyak memberi nasehat dan berpesan kepadaku. Salah satu pesan beliau, jangan sekali -- kali berkirim surat mengabarkan kalau kamu sakit. Boleh kamu berkirim surat mengabarkan sakit, kalau sakitmu sudah parah dan akan mati. Nasehat tersebut aku terima dengan senang hati dan legowo, karena aku dapat memahami keadaan orang tua di Lampung. Kepada pembaca budiman dimohon bersabar,  menanti kelanjutan kisah nyata ini. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H