Umat Islam dalam satu hari satu malam ( 24 jam ), diwajibkan sembayang 5 waktu. Yaitu Isa, Subuh, Zuhur, Ashar dan Magrib. Salah satu makna yang terkandung didalamnya adalah merupakan suatu pembiasaan agar setiap ucapan atau perkataan seseorang, wajib diikuti dengan perbuatannya. Atau dengan kata lain, orang berlatih agar dapat berbuat satunya kata dengan perbuatan.Â
Sembayang diawali dengan mengucap Allahuakbar, diikuti dengan mengangkat kedua tangan sampai kesamping telinga. Sebagai pengakuan bahwa Allah Maha Besar, yang kekuasaan-Nya meliputi kerajaan langit. Kemudian pada saat rukuk, membungkukkan badan diikuti dengan mengucap Allah Maha Agung, sebagai pengakuan bahwa Allah Maha Agung yang kekuasaan-Nya meliputi kerajaan bumi. Dari kedua pengakuan tadi, sebagai penganut Islam hendaknya mempercayai dan mengakui bahwa Allah menguasai, kerajaan langit dan bumi beserta isi yang ada didalamnya, termasuk diri manusia. Selanjutnya pada saat bersujud, dengan gerakan badan hingga dahi menyentuh lantai / tanah diikuti dengan mengucap Allah Maha Tinggi sebagai pengakuan, sesungguhnya manusia itu tidak ada artinya apa -- apa bila dibandingkan dengan-Nya. Â
Itu semua merupakan pembiasaan, yang wajib dikerjakan atau dilaksanakan atau diamalkan oleh penganut Islam. Dengan harapan setiap penganut Islam, dapat berbuat satunya kata dengan perbuatan. Disamping itu, juga merupakan pengakuan dan persaksian bahwa manusia, hanyalah merupakan percikan-Nya saja, yang tidak mempunyai kemampuan untuk melampaui atau melebihi kekuasaan-Nya.
Mari ditanyakan kepada diri sendiri, dengan pembiasaan -- pembiasaan yang telah dilakukan selama ini, sudahkah penganut Islam dapat berbuat satunya kata dengan perbuatan? Mari diteliti dan dievaluasi sendiri, diri masing -- masing. Karena pada umumnya nyata-nyata orang mengucap Allah Maha Kuasa, tetapi memerintahkan seseorang untuk membunuh orang, atau melakukan perbuatan tercela kepada orang atau pihak lain dengan imbalan uang. Yang diperintah tetap melaksanakan, hanya karena iming -- iming uang tadi. Bukankah perbuatan tersebut mengindikasikan, bahwa uang masih dianggap lebihberkuasa dari pada Allah Tuhan Yang Maha Kuasa?
Kenyataan lain sering dapat ditemukan, orang saling mencaci satu sama lain. Orang gemar membuat berita bohong, dan menyebar luaskan lewat media sosial. Orang gemar menjelek -- jelekkan, orang lain. Orang gemar menghujat, orang lain. Orang gemar memfitnah, orang lain. Orang bangga dapat menyakiti, membunuh dan melakukan  perbuatan -- perbuatan buruk lainnya kepada orang atau pihak lain, hanya sekedar berebut pengaruh untuk mencari kekuasaan. Manusia seolah -- olah membuat tabir pembatas, hanya atas dasar perbedaan warna kulit dan bahasanya, perbedaan suku bangsa dan bangsanya, serta perbedaan status sosial ekonomi dan agamanya. Padahal sudah jelas perintah dan petunjuk Tuhan, manusia diciptakan agar salingkenal mengenal satu dengan yang lain, apapun bangsa dan suku bangsanya.
Surat Al Hujuraat ayat 13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesung-guhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dari pernyataan orang atau kelompok orang yang sering beredar di media sosial, mengindikasikan bahwa kebanyakan orang masih terlalu mudah berpaling dari Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang katanya diimani. Sehingga orang atau kelompok orang tadi dengan mudahnya mengingkari perintah dan petunjuk Allah, dan belum dapat melakukan perbuatan sesuai dengan kata, predikat dan atau atribut yang melekat padanya. Bukankah perbuatan tersebut mengindikasikan, bahwa orang tadi merasalebihkuasa dari pada Allah Tuhan Yang Maha Kuasa?
Sehubungan dengan hal tersebut, mumpung masih punya waktu dan kesempatan, mari bergegas mengaji atau mempelajari perintah dan petunjuk Allah baik yang tertulis ( Al Qur'an ) maupun yang tidak tertulis ( jagad raya seisinya) dengan benar dan tepat, demi keselamatan hidup di dunia ini maupun demi keselamatan hidup di hari kemudian kelak. Dalam mengaji atau mempelajari Al Qur'an dan atau ayat Allah  yang tidak tertulis, hendaknya tidak berhenti sampai dibibir atau dibaca belaka; Mengingat perintah dan petunjuk Allah baik yang tertulis ( Al Qur;an ) dan atau yang tidak tertulis ( jagad raya seisinya ) tersebut, sesungguhnya ditujukan kepada manusia, dan yang umumnya di sampaikan dalam bentuk perumpamaan.
Lalu bagaimana cara mengaji atau mempelajari ayat -- ayat Allah dengan benar dan tepat, agar dapat mengubah kebiasaan yang telah membudaya selama ini? Kunci utamanyapengakuan, bahwa diri seseorang adalah manusia. Oleh karena itu, manakala orang membaca Al Qur'an hendaklah memposisikan diri, layaknya sedang berhadapan dan berkomunikasilangsung dengan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa ( hablumminallah). Dengan demikian orang dimaksud akan memperoleh ganjaran atau pahala yang langsung dapat dinikmati, berupa meningkatnya kualitas diri pribadi karena terpelihara kesucian diri, kesucian jiwa dan kesucian hatinya.
Mari dengan jujur dirasakan melalui rasa yang merasakan ( Jawa=roso pangroso ). Bila mengaji Al Qur'an hanya dimaknai dengan membaca Al Qur'an, sedangkan Al Qur'an adalah perintah dan  petunjukan Allah kepada manusia. Andaikan  seseorang hanya membacanya an sich tanpa melaksanakan apa yang dibacanya, berarti seseorang tadi sama saja dengan memposisikan diri layaknya pemberi perintah dan petunjuk kepada manusia? Bukankah ini merupakan gambaran perbuatan seseorang yang menyetarakan dirinya dengan kuasa Allah? Surat Al Ikhlash ayat 4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.
Hati -- hati, ingat dan waspada akan tipu daya iblis, setan dan sebangsanya, yang selalu ingin menjerumuskan manusia kelembah sesat, agar terhindar dari perbuatan melampaui kuasa Allah. Padahal telah difirmankan Allah dalam surat Al Qiyaamah ayat 18. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Ayat ini memberi petunjuk sekaligus perintah kepada manusia, bila seseorang telah berkata atau berucap hendaklah diikuti dengan perbuatan dari apa yang dikatakan atau diucapkannya. Atau dengan kata lain, berbuat satunya kata dengan perbuatan.
Surat Yasiin ayat 69. Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya ( Muhammad ) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Dari penggalan kalimat Al Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran, sebagai penganut Islam sesungguhnya dituntut untuk mengaji atau mempelajari dengan arif dan bijaksana ayat-ayat Allah. Baik ayat Allah yang tertulis ( Al Qur'an) maupun ayat Allah yang tidak tertulis berupa jagad raya seisinya, termasuk diri manusia. Agar penganut Islam selalu mendapat penerangan dalam melakoni hidup dan kehidupan di atas dunia ini, karena sepak terjangnya selalu mempedomani Al Qur'an dan ayat-ayat Allah yang tidak tertulis.
Mengingat Allah tidak merobah keadaan suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri ( penggalan surat Ar Ra'd ayat 11), maka diri sendirilah yang harus berusaha keras untuk merubah kebiasaan yang telah membudaya dalam diri sendiri. Kalau benar ingin memperbaiki diri, mari diuji diri masing -- masing menggunakan pisau: merasa bisa-bisa merasa, jujur dan gengsi. Â
Merasa bisa. Rangkaian kata ini sering menjerumuskan orang kejurang kesesatan, mengapa? Karena rangkaian kata ini, memang merupakan alat yang paling ampuh dari iblis, setan dan sebangsanya untuk menjerumuskan manusia. Apapun pangkat dan derajadnya, serta apapun status sosial ekonomi dan agamanya. Lebih -- lebih bagi mereka yang mempunyai kekuasaan, baik  penguasa formal maupun non formal.
Kalau seseorang baru pada tingkatan merasa bisa, mengandung arti bahwa seseorang itu  belum tentu bisa atau belum tentu mempunyai kemampuan dibidang yang dikatakannya. Hanya karena seseorang tadi memegang kekuasaan, wah bak seorang professional dengan telunjuknya bicara begini dan begitu. Tanpa dipikir terlebih dahulu, apa dampak yang bakal timbul dengan kata - kata atau pernyataannya itu. Suatu ketika disangkal orang, untuk menyelamatkan diri dengan entengnya bilang, wah  saudara  sudah memelintir kata -- kata atau pernyataan saya. Saya nggak ngomong begitu kok, kilahnya. Orang  tipe demikian itu, sudah pasti merasa paling benar adanya dan tidak pernah merasa bersalah. Oleh karena itu, mari di kebelakangkan atau bahkan dibuang sifat merasa bisa tadi. Dan sebaliknya, mari mengedepankan sifat bisa merasa.
Bisa merasa. Makna "bisa merasa" ( Jawa = bisoo ngrumangsani ) sangat jauh berbeda, dengan makna "merasa bisa" tadi. Walau hanya sekedar, membalik tempat atau membalik susunan katanya saja. Kalau seseorang sudah sampai ketataran ini, orang tadi tidak akan sembarangan mengeluarkan kata - kata atau pernyataan. Karena setiap kata atau pernyataan yang akan dikeluarkannya, sudah diuji atau dipikirkan terlebih dahulu dampak positip dan negatipnya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Bila berdampak negatip bagi lawan bicara atau masyarakat, tidak akan dikatakannya atau tidak akan dinyatakannya. Tetapi sebaliknya bila berdampak positip bagi lawan bicara atau masyarakat, baru dikatakan atau dinyatakannya. Jauh berbeda maknanya bukan? Mudah -- mudahan dengan membiasakan diri, seseorang akan dapat menjadi orang yang pandai mengedepankan bisa merasa.
Jujur. Sifat jujur ini sangat penting, untuk menilai kondisi nyata yang ada dalam diri orang itu sendiri. Artinya, seseorang hendaklah jujur kepada diri sendiri. Apakah benar seseorang sudah bisa atau belum? Sudah mengerti atau belum? Sudah tepat atau belum? Dalam mengaji  perintah dan petunjuk Allah selama ini. Sudah dapatkah mengamalkan atau mewujud -- nyatakan perintah dan petunjuk Allah kedalam tingkah laku, perbuatan dan tutur katanya sehari -- hari atau belum. Kalau belum, ya tidak usah malu dan harus mau secara jujur, mengakui kesalahan atau kekhilafan diri sendiri. Kemudian mengaji atau mempelajari kembali, untuk memperbaiki kesalahan selama ini, mumpung masih mempunyai waktu dan kesempatan.
Gengsi. Manusia, apapun kedudukan dan status sosial ekonomi serta titel atau gelarnya, kalau sudah berkaitan dengan gengsi, wah sulit untuk mengakui kekurangan atau kesalahannya, lebih - lebih dimuka umum. Misal penguasa, dosen atau guru atau penceramah atau pendakwah atau ....... dan lain -- lain. Sudah jelas apa yang disampaikannya salah, tetapi umumnya beliau -- beliau tadi sulit untuk mengakui kesalahannya sendiri.
Mengapa? Yaitu tadi, gengsi. Kalau kondisi seperti ini terus berlanjut dan tidak dikoreksi, sudah dapat dipastikan bahwa kesalahan tersebut akan berlanjut sampai kepada anak cucu dan keturunannya. Sehingga untuk pembenaran pendapatnya, mereka selalu mendasarkan atas: kata orang. Atau menurut, penguasa. Atau menurut, dosen. Atau menurut, guru. Atau menurut, penceramah. Atau menurut, pendakwah. Atau biar lebih serem lagi, menurut nenek moyang yang sudah dilakukan secara turun temurun.
Kalau perintah dan petunjuk Allah, baik yang tertulis ( Al Qur'an ) maupun yang tidak tertulis ( jagad raya seisinya ) disampaikan hanya atas dasar menurut si suto, si noyo, si folan dan seterusnya; Sudah dapat dipastikan, keluaran yang dihasilkan hanya akan sebatas fanatisme terhadap figur tertentu. Pemahaman seperti inikah yang akan diwariskan kepada anak cucu, sebagai penerus bangsa?
Atas dasar tersebut penulis mengajak, mari dengan sadar dan mengedepankan bisa merasa, jujur dan menurunkan gengsi, dikaji kembali ayat - ayat Allah. Baik ayat Allah yang tertulis, maupun ayat Allah yang tidak tertulis dengan benar dan tepat. Agar hasil kajiannya tidak membuat bingung dan menyesatkan, bagi anak cucu. Justru mestinya hasil kajian dimaksud, dapat menjadi pedoman yang mudah untuk dilaksanakan ( aplikatif ) bagi mereka dalam melakoni hidup dan kehidupan diatas dunia ini. Demi keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia ini, maupun demi keselamatan dan kebahagiaan hidup dihari kemudian kelak.Â
Hendaklah seseorang selalu ingat (shalat) dan waspada akan tipu daya iblis setan dan sebangsanya, jangan sampai hasil kajiannya justru melampaui kekuasaan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena kebanyakan orang menafsirkan suatu ayat Allah, tetapi tidak menyadari kalau penafsirannya sudah melampaui kuasa dan kehendak Allah. Hal tersebut tentunya akan membuat rugi diri sendiri dan orang lain, serta menyesatkan. Padahal Al Qur'an adalah ayat -- ayat yang nyata, dan yang sudah tidak perlu diperdebatkan atau dipertentangkan lagi, kecuali oleh orang -- orang yang zalim. Surat Al 'Ankabuud ayat 49. Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.
Sebagai intermezo, berikut sebuah kisah nyata. Dulu sebelum tahun 1968, dilingkungan penulis Desa Iringmulyo 15A Metro Lampung,  banyak teman - teman  ( Tionghoa ) memelihara ternak babi. Menurut mereka berternak babi sangat menguntungkan, karena cepat berkembang dan banyak anaknya. Bagi penulis silahkan saja, mau memelihara ternak apapun silahkan. Namun oleh kelompok tertentu, peternak babi tadi seolah -- olah dikucilkan. Mengapa demikian? Karena menurut mereka, babi itu haram. Dan bahkan uang hasil penjualan babipun, dikatakan haram. Konsekuensinya si peternak babi dijauhi, karena menghasilkan dan memelihara barang haram. Tolong dipikir ulang, Allah yang menciptakan babi, kok manusia mengharamkannya. Apakah kelompok orang yang mengharamkan tadi, merasa bahwa dirinya lebih kuasa dari pada Allah Tuhan Yang Maha Kuasa? Â
Eh ternyata pemahaman seperti itu, terus berlanjut sampai sekarang. Kok bisa -- bisanya mengatakan babi haram, dan uang hasil penjualan babipun dikatakan haram. Lalu apa dasarnya? Kalau ada pertanyaan demikian, jawaban klasik pasti terlontar. Menurut banyak orang, babi itu hukumnya haram. Lagi -- lagi kata orang. Al Qur'an (kitab suci) hendaklah dikaji atau dipelajari dengan arif dan bijaksana, agar hasil kajian tidak membingungkan dan menyesatkan umat, yang akhirnya akan merugikan diri sendiri dan umat. Sebaiknya orang dan atau lebih -- lebih pemuka agama apapun sebutannya; penyampai risalah, ustadz, kiai, ulama, tidak selalu menyampaikan pendapat hanya atas dasar kata orang. Mengingat umat sudah terlanjur percaya, bahwa apa yang disampaikan pemuka agama adalah benar adanya.
Al Qur'an adalah kitab suci bagi penganut Islam, tentunya sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk mengaji atau mempelajarinya dengan benar dan tepat. Agar dapat memahami dan mengerti makna yang terkandung didalamnya, sebagai dasar bertindak dan menyampaikan pendapat, dan atau untuk menyelesaikan perbedaan pendapat, sehingga tidak membuat bingung umat.
Mari bersama dicermati Surat An Nahl ayat 115. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu  (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Â
Dalam ayat tersebut dinyatakan yang diharamkan adalah memakan daging babi, dan bukan babinya yang diharamkan. Itupun Allah masih memberi toleransi kepada seseorang, di bolehkanmemakan daging babi, apabila dalam keadaan terpaksa, dengan tidak menganiaya dan tidak melampaui batas. Misalnya ditengah hutan kehabisan bekal makanan yang dibawa, dan untuk memenuhi tuntutan perut apa yang harus dilakukan? Sudah barang tentu apapun yang ada disekitarnya akan dimakan, demi untuk menyambung hidupnya. Bila ketemu buah -- buahan, dimakanlah buah - buahan tersebut. Bila ketemu ular, dimakanlah ular tersebut. Tidak terkecuali bila ketemu babi ya dimakan, karena sudah tidak ditemukan binatang lainnya.
Meskipun sudah dijelaskan seperti itu, Â kelompok tertentu tadi tetap saja bersikukuh mengata kan, bahwa uang hasil penjualan babi haram, babi itu haram dan memakan daging babi itu dosa. Disinilah kelemahannya, kalau penjelasan atau pernyataan hanya mendasarkan atas kata orang. Padahal bila mau mengaji Al Qur'annya dengan baik, semua yang dipertentangkan sudah ada penjelasan didalamnya. Karena memang disitulah keunikan Al Qur'an itu, pernyataan satu ayat dalam surat tertentu, ada penjelasan dan atau solusinya dalam ayat yang terdapat dalam surat yang sama, dan atau dalam surat yang berbeda.
Juga hendaklah dihindari, jangan sampai baru menemukan satu pernyataan dalam suatu ayat langsung digunakan sebagai topik bahasan dan disampaikan kepada umat, tanpa check and recheck terlebih dahulu dengan ayat - ayat sejenis atau senada dengan surat lainnya dalam Al Qur'an. Hal dimaksud sangat perlu dilakukan, agar bahasan yang disampaikan tidak menjadi masalah, membingungkan dan menjerumuskan umat kelembah sesat. Sebagai contoh nyata. Saat akan menunaikan ibadah haji, calon jama'ah diwajibkan vaksinasi meningitis, menuai pro kontra karena bahan pembuat vaksin ada unsur babi. Demikian juga  pemberian vaksin MR untuk mencegah meluasnya virus Rubella, menuai pro kontra dalam pelaksanaannya dimasyarakat. Akan dijelaskan dalam artikel selanjutnya.
Oleh karena itu orang atau lebih -- lebih sebagai pemuka agama apapun sebutannya, dan yang sudah terlanjur dipercaya bahwa setiap apa yang dikatakan adalah benar adanya, hendaklah dapat berlaku bijak dalam menyampaikan suatu kebenaran dan tidak lekas berputus asa. Dengan  niat memperbaiki agar umat tidak terbelenggu dengan pemahaman yang keliru, karena bertolak belakang dengan perintah dan petunjuk Allah. Mengingat kebiasaan tersebut sudah terjadi sejak lama, dan telah membudaya di masyarakat.
Memang tidak mudah, untuk mengubah kebiasaan yang sudah lama berkembang di masyarakat. Memerlukan waktu yang tidak sebentar, membutuhkan kesabaran dan berulang. Layaknya Nabi Muhammad SAW, dalam mensyi'arkan agama Islam pada mulanya, juga mengalami hambatan dan rintangan yang tidak ringan, dan bahkan bertaruh nyawa. Karena kebenaran yang beliau sampaikan, dianggapnya sebagai penghalang atas kebiasaan buruk yang telah lama berkembang dan membudaya di masyarakat saat itu. Alangkah nistanya sebagai penganut Islam, bila perintah dan petunjuk Tuhan yang disi'arkan Nabi dengan bertaruh nyawa, pelaksanaannya hanya berhenti sampai dibaca saja ( an sich ), itupun masih mengharap pahala dan surga sebagai imbalannya.Â
Surat Al Baqarah ayat 173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ( ketika disembelih ) disebut ( nama ) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa ( memakannya ) sedang ia tidak mengingin kannya dan tidak ( pula ) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Â
Mari dirasakan melalui rasa yang merasakan ( Jawa =  pangroso roso ), apa yang dinyatakan dalam ayat tersebut. Apakah pemahaman kelompok yang bersikukuh mengatakan memakan daging babi  dosa, mengandung kebenaran atau tidak? Allah saja menyatakan, tidak ada dosa bila terpaksa harus memakannya. Kok manusia yang nota bene hanya merupakan makhluk ciptaan-Nya, menyatakan hal yang bertolak belakang dengan kehendak Allah Tuhan Yang Maha Pencipta. Bukankah kebiasaan seperti itu mengindikasikan, bahwa orang tersebut menganggap dirinya lebihkuasa dari pada Allah Tuhan Yang Maha Kuasa?
Itu merupakan gambaran nyata, bahwa banyak orang yang belum dapat berbuat sesuai dengan perintah dan petunjuk-Nya? Sehingga pendapat yang didengung-dengungkan justru, bertentangan dengan firman Allah. Disatu sisi orang mengharamkan babi, disisi lain Allah menyatakan tidak ada dosa bila seseorang terpaksa harus memakan daging babi. Padahal setiap hari ( 24 jam ) umat Islam diwajibkan sembayang 5 waktu, untuk melatih dirinya. Dan sudah terbiasa menyatakan Allah Maha Besar, Allah Maha Agung, Allah Maha Tinggi, ...... Allah Maha Kuasa. Tetapi dalam prakteknya, manusia masih merasalebihkuasa dari Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Akankah diteruskan, pemahaman yang mendasarkan atas kata orang? Atau umat Islam akan hijrah  mengikuti perintah dan petunjuk Allah Tuhan Yang Maha Kuasa? Mudah - mudahan dari penjelasan ini, dapat menggugah semangat umat Islam untuk mempelajari atau mengaji dan menggali lebih dalam lagi, makna yang terkandung dalam ayat - ayat Allah, sekaligus meluruskan hal -- hal yang belum tepat. Sehingga setiap perbuatannya benar--benar atas dasar perintah dan petunjuk Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, dan bukan atas dasar kata orang saja apapun predikat orang dimaksud.
Untuk itu mari dikaji bersama surat berikut, dengan jujur dan menurunkan atau mengesampingkan gengsi dan perasaan, merasa paling benar. Surat Al An'aam ayat 145. Katakanlah : Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang di wahyukan kepadaku, sesuatu yang diharam kan bagi orang yang memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak  (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Â
Bila dicermati bunyi ayat ini, senada dengan ayat -- ayat sebelumnya. Tetapi dari ayat ini sudah ada penjelasan lanjut tentang darah, dan sudah ada pemilahan yang lebih rinci. Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa bahan makanan dari daging hewan yang diharamkan untuk dimakan, ada 2 katagori. Pertama bahan makanan dari daging yang dikatagorikan kotor, dan katagori kedua bahan makanan dari daging yang disembelih atas nama selain Allah.
Katagori Pertama. Bahan makanan dari daging yang dikatagorikan kotor, yaitu: bangkai, darah yang mengalir dan daging babi. Mengapa jenis bahan makanan dari daging katagori ini diharamkan? Penulis mohon kesabaran sobat pembaca budiman, untuk menunggu uraian selanjutnya tentang benarkah babi haram? Dalam artikel selanjutnya, dengan judul Menghindari Berpikir Melampaui Kuasa Allah (2).  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H