Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Sarjana, Apoteker

Pendidikan terakhir, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Sarjana lulus November 1975, Apoteker lulus Maret 1977. Profesi Apoteker, dengan nama Apotek Sido Waras, sampai sekarang. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil tahun 2003, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lampung Timur. Dosen Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Januari 2005 sampai dengan Desember 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghindari Berpikir Melampaui Kuasa Allah (1)

20 Oktober 2018   07:42 Diperbarui: 20 Oktober 2018   07:41 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Surat Yasiin ayat 69. Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya ( Muhammad ) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Dari penggalan kalimat Al Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran, sebagai penganut Islam sesungguhnya dituntut untuk mengaji atau mempelajari dengan arif dan bijaksana ayat-ayat Allah. Baik ayat Allah yang tertulis ( Al Qur'an) maupun ayat Allah yang tidak tertulis berupa jagad raya seisinya, termasuk diri manusia. Agar penganut Islam selalu mendapat penerangan dalam melakoni hidup dan kehidupan di atas dunia ini, karena sepak terjangnya selalu mempedomani Al Qur'an dan ayat-ayat Allah yang tidak tertulis.

Mengingat Allah tidak merobah keadaan suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri ( penggalan surat Ar Ra'd ayat 11), maka diri sendirilah yang harus berusaha keras untuk merubah kebiasaan yang telah membudaya dalam diri sendiri. Kalau benar ingin memperbaiki diri, mari diuji diri masing -- masing menggunakan pisau: merasa bisa-bisa merasa, jujur dan gengsi.   

Merasa bisa. Rangkaian kata ini sering menjerumuskan orang kejurang kesesatan, mengapa? Karena rangkaian kata ini, memang merupakan alat yang paling ampuh dari iblis, setan dan sebangsanya untuk menjerumuskan manusia. Apapun pangkat dan derajadnya, serta apapun status sosial ekonomi dan agamanya. Lebih -- lebih bagi mereka yang mempunyai kekuasaan, baik  penguasa formal maupun non formal.

Kalau seseorang baru pada tingkatan merasa bisa, mengandung arti bahwa seseorang itu  belum tentu bisa atau belum tentu mempunyai kemampuan dibidang yang dikatakannya. Hanya karena seseorang tadi memegang kekuasaan, wah bak seorang professional dengan telunjuknya bicara begini dan begitu. Tanpa dipikir terlebih dahulu, apa dampak yang bakal timbul dengan kata - kata atau pernyataannya itu. Suatu ketika disangkal orang, untuk menyelamatkan diri dengan entengnya bilang, wah  saudara  sudah memelintir kata -- kata atau pernyataan saya. Saya nggak ngomong begitu kok, kilahnya. Orang  tipe demikian itu, sudah pasti merasa paling benar adanya dan tidak pernah merasa bersalah. Oleh karena itu, mari di kebelakangkan atau bahkan dibuang sifat merasa bisa tadi. Dan sebaliknya, mari mengedepankan sifat bisa merasa.

Bisa merasa. Makna "bisa merasa" ( Jawa = bisoo ngrumangsani ) sangat jauh berbeda, dengan makna "merasa bisa" tadi. Walau hanya sekedar, membalik tempat atau membalik susunan katanya saja. Kalau seseorang sudah sampai ketataran ini, orang tadi tidak akan sembarangan mengeluarkan kata - kata atau pernyataan. Karena setiap kata atau pernyataan yang akan dikeluarkannya, sudah diuji atau dipikirkan terlebih dahulu dampak positip dan negatipnya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Bila berdampak negatip bagi lawan bicara atau masyarakat, tidak akan dikatakannya atau tidak akan dinyatakannya. Tetapi sebaliknya bila berdampak positip bagi lawan bicara atau masyarakat, baru dikatakan atau dinyatakannya. Jauh berbeda maknanya bukan? Mudah -- mudahan dengan membiasakan diri, seseorang akan dapat menjadi orang yang pandai mengedepankan bisa merasa.

Jujur. Sifat jujur ini sangat penting, untuk menilai kondisi nyata yang ada dalam diri orang itu sendiri. Artinya, seseorang hendaklah jujur kepada diri sendiri. Apakah benar seseorang sudah bisa atau belum? Sudah mengerti atau belum? Sudah tepat atau belum? Dalam mengaji  perintah dan petunjuk Allah selama ini. Sudah dapatkah mengamalkan atau mewujud -- nyatakan perintah dan petunjuk Allah kedalam tingkah laku, perbuatan dan tutur katanya sehari -- hari atau belum. Kalau belum, ya tidak usah malu dan harus mau secara jujur, mengakui kesalahan atau kekhilafan diri sendiri. Kemudian mengaji atau mempelajari kembali, untuk memperbaiki kesalahan selama ini, mumpung masih mempunyai waktu dan kesempatan.

Gengsi. Manusia, apapun kedudukan dan status sosial ekonomi serta titel atau gelarnya, kalau sudah berkaitan dengan gengsi, wah sulit untuk mengakui kekurangan atau kesalahannya, lebih - lebih dimuka umum. Misal penguasa, dosen atau guru atau penceramah atau pendakwah atau ....... dan lain -- lain. Sudah jelas apa yang disampaikannya salah, tetapi umumnya beliau -- beliau tadi sulit untuk mengakui kesalahannya sendiri.

Mengapa? Yaitu tadi, gengsi. Kalau kondisi seperti ini terus berlanjut dan tidak dikoreksi, sudah dapat dipastikan bahwa kesalahan tersebut akan berlanjut sampai kepada anak cucu dan keturunannya. Sehingga untuk pembenaran pendapatnya, mereka selalu mendasarkan atas: kata orang. Atau menurut, penguasa. Atau menurut, dosen. Atau menurut, guru. Atau menurut, penceramah. Atau menurut, pendakwah. Atau biar lebih serem lagi, menurut nenek moyang yang sudah dilakukan secara turun temurun.

Kalau perintah dan petunjuk Allah, baik yang tertulis ( Al Qur'an ) maupun yang tidak tertulis ( jagad raya seisinya ) disampaikan hanya atas dasar menurut si suto, si noyo, si folan dan seterusnya; Sudah dapat dipastikan, keluaran yang dihasilkan hanya akan sebatas fanatisme terhadap figur tertentu. Pemahaman seperti inikah yang akan diwariskan kepada anak cucu, sebagai penerus bangsa?

Atas dasar tersebut penulis mengajak, mari dengan sadar dan mengedepankan bisa merasa, jujur dan menurunkan gengsi, dikaji kembali ayat - ayat Allah. Baik ayat Allah yang tertulis, maupun ayat Allah yang tidak tertulis dengan benar dan tepat. Agar hasil kajiannya tidak membuat bingung dan menyesatkan, bagi anak cucu. Justru mestinya hasil kajian dimaksud, dapat menjadi pedoman yang mudah untuk dilaksanakan ( aplikatif ) bagi mereka dalam melakoni hidup dan kehidupan diatas dunia ini. Demi keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia ini, maupun demi keselamatan dan kebahagiaan hidup dihari kemudian kelak. 

Hendaklah seseorang selalu ingat (shalat) dan waspada akan tipu daya iblis setan dan sebangsanya, jangan sampai hasil kajiannya justru melampaui kekuasaan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena kebanyakan orang menafsirkan suatu ayat Allah, tetapi tidak menyadari kalau penafsirannya sudah melampaui kuasa dan kehendak Allah. Hal tersebut tentunya akan membuat rugi diri sendiri dan orang lain, serta menyesatkan. Padahal Al Qur'an adalah ayat -- ayat yang nyata, dan yang sudah tidak perlu diperdebatkan atau dipertentangkan lagi, kecuali oleh orang -- orang yang zalim. Surat Al 'Ankabuud ayat 49. Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun