Mari kita budayakan sekiranya akan mengeluarkan perkataan, dirasakan melalui rasa yang merasakan terlebih dahulu. Sekiranya perkataan yang dilontarkan akan dapat menyakiti hati orang lain, ya tidak usah dikatakan.
Bekal kedua, mari dibiasakan atau dibudayakan mengedepankan sifat pemaaf. Tidak beranggapan, saling memaafkan hanya dapat dilakukan pada hari raya saja, sama sekali tidak. Pemberian atau permintaan maaf, dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun. Dilandasi rasa iklas lahir dan batin, bukan hanya sekedar basa basi dibibir belaka.
Dengan pembiasaan atau pembudayaan kedua hal tersebut, sama halnya dengan mendirikan shalat. Artinya kita selalu sadar dan ingat kepada Tuhan, secara terus menerus tanpa terputus. Ditandai dengan mewujud – nyatakan atau mengaktualisasikan sifat – sifat Yang Maha Suci dalam keseharian kita.
Kedua bekal tersebut merupakan kekayaan batiniyah, jadi bila dinilai dari sisi materi atau nilai kebendaan tidak ada nilainya. Tetapi sebaliknya bila ditilik dari hasil perbuatannya, sangat besar nilainya dan tidak dapat dinilai dengan nilai kebendaan. Karena pembiasaan atau pembudayaan ini akan menghasilkan kesucian diri, kesucian jiwa dan kesucian hati kita.
Berbeda dengan pemberian sesuatu, yang bernilai kebendaan. Manakala saat memberikan kepada seseorang, sedikit saja melukai hati si penerima, akan merugi 2 kali. Pertama, rugi karena benda atau sesuatu yang diberikan tidak kembali. Kedua, rugi karena atas apa yang kita perbuat tidak mendapatkan manfaat apa – apa.
Kita harus punya rasa bangga dan bahagia, manakala dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Kapan saja dan dimana saja, tidak ditentukan waktu dan tempat khusus untuk berbuat. Tidak usah menunggu bulan ramadhan, alias setahun sekali baru berbuat. Bila dapat berbuat demikian, mudah – mudahan perbuatan ini merupakan bekal ketiga yang dapat menyertai kembalinya Sang Suci kesisi Yang Maha Suci.
Kita sudah tidak asing lagi dengan ungkapan “innalillahi wa ina illaihi rojiun”, yang artinya bahwa seseorang yang meninggal dunia akan kembali ke asalnya. Disinipun kita harus sadar dan ingat, manusia terdiri atas 2 unsur besar. Oleh karena itu Sang Suci kembali kesisi Yang Maha Suci, disertai hasil perbuatannya, antara lain seperti tiga bekal tadi ( tidak berarti hanya itu saja ).
Sedangkan sang wadag karena berasal dari saripatinya tanah, kembali ketanah disertai selembar kain kafan. Dipinjamkan mobil jenazah atau dipikul, dibawa ke makam atau pekuburan, untuk dimakamkan atau dikuburkan. Kembali keunsurnya, berupa tanah, air, api dan udara / angin.
Kita harusnya meyakini, Tuhan telah menempatkan microchips (Siapa aku) sejak bertemunya sperma dengan sel telur, yang menentukan jodoh, mati dan rejekinya. Sekaligus alat perekam, untuk mendeteksi dan merekam perbuatan manusia dalam melakoni hidup diatas dunia. Mari disimak kembali http://www.kompasiana.com/bangsayekti/siapa-aku-1_576796d4a423bd950f50934c
Benarkah? Mari kita ikuti ilustrasi ini. Karena terdakwa selalu berbohong dan berbelit – belit saat menjawab setiap pertanyaan hakim, maka diputuskan untuk memutar rekam jejak terdakwa selama hidup diatas dunia.
Hakim Maha Agung meminta kali pertama kepada petugas, untuk memutar rekam jejak terdakwa dengan kode F 21, sesaat kemudian terdengar suara. Dan mereka berkata kepada kulit mereka : ”Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami ?” Kulit mereka menjawab : “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai ( pula ) berkata, dan Dialah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan” (F1=Surat Fushshilat ayat 21 ).