Mohon tunggu...
Budi Satria Dewantoro
Budi Satria Dewantoro Mohon Tunggu... Pengacara - Praktisi Hukum

Dekat dengan isu hukum-HAM, human security, kepolisian, penggemar sepak bola, peminat budaya, dan penikmat kuliner Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menimbang Jalan Pemulihan dalam Kasus Korupsi: Antara Hukuman dan Keadilan Restoratif

21 Desember 2024   10:21 Diperbarui: 21 Desember 2024   11:32 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menarik Pelajaran dari  Deputi Pencegahan & Monitoring KPK: Pencegahan Korupsi dan Dampaknya pada Keuangan Negara. (Dok.Budi Satria)

Mengukur Keberanian Bangsa: Pengampunan Sebagai Langkah Pemulihan

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai pengampunan bagi koruptor yang bersedia mengembalikan hasil korupsi kepada negara memunculkan diskusi yang mendalam tentang kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam beberapa bulan menjabat sebagai presiden, Prabowo mencatatkan langkah-langkah nyata dalam penindakan terhadap koruptor. Namun, ia juga memberi ruang untuk suatu kesempatan kedua, dengan syarat pengembalian uang yang telah dikorupsi. Pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan publik dan aparat penegak hukum, serta menjadi topik pembahasan serius dalam konteks strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara.

Menurut Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, pernyataan Presiden ini sejalan dengan prinsip dasar yang terkandung dalam Konvensi PBB tentang Antikorupsi (UNCAC), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No 7 Tahun 2006. Salah satu fokus utama UNCAC adalah pemulihan aset yang dicuri, atau yang lebih dikenal dengan istilah asset recovery. Dalam konteks ini, pengampunan bagi pelaku korupsi, dengan syarat pengembalian aset negara, dapat dilihat sebagai upaya untuk menyeimbangkan proses hukum dengan keberlanjutan pembangunan negara.

Bila menoleh ke belakang, gagasan pengampunan ini juga telah muncul sebelumnya, seperti yang diusulkan oleh Jaksa Agung pada Januari 2022. Usulan tersebut menekankan bahwa korupsi dengan nilai kerugian kecil, di bawah Rp50 juta, bisa cukup dengan pengembalian uang tanpa melalui proses pidana. Meski demikian, kala itu ide tersebut mendapat tantangan, terutama dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang mengingat pentingnya efek jera bagi pelaku korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, aspek pemulihan kerugian negara harus diimbangi dengan upaya pemberian sanksi yang sebanding dengan perbuatan yang dilakukan.

Sebagai negara hukum, Indonesia harus menemukan jalan tengah antara upaya pemulihan kerugian negara dan penegakan hukum yang berkeadilan. Melalui kebijakan pengampunan ini, kita dihadapkan pada pertanyaan mendalam: Apakah pengampunan benar-benar bisa menjadi solusi dalam membangun Indonesia yang lebih bersih dari korupsi, atau justru membuka celah bagi praktik korupsi yang lebih besar?

Meneguhkan Keadilan dalam Ruang Pengampunan

Di tengah hiruk-pikuk pertarungan antara harapan dan kenyataan, kita sering mendengar bahwa keadilan harus ditegakkan, bahwa kejahatan harus dihukum dengan tegas, dan bahwa pelaku harus diberi pelajaran yang membuatnya jera. Namun, dalam dunia yang begitu kompleks, terutama dalam permasalahan korupsi yang mencengkeram tubuh negara, kita perlu merenung: apakah benar bahwa hukuman semata-mata, dalam bentuk penjara atau pidana, akan menghentikan rantai kejahatan yang sudah terjalin rapat?

Teori deterrence atau pencegahan melalui hukuman yang keras sering kali dianggap sebagai senjata utama dalam memerangi kejahatan. Namun, dalam realitasnya, hukuman yang diberikan sering kali tampak seperti bayangan yang memudar. Seperti air yang mengalir melalui sela-sela tangan, efek jera yang diinginkan oleh penghukuman tampak tidak terjangkau. Bahkan, dalam banyak kasus korupsi, hukuman penjara bukanlah penawar yang dapat menyembuhkan luka yang ditimbulkan. Di balik jeruji, beberapa pelaku masih beranggapan bahwa mereka akan dapat mengulanginya lagi, karena sistem peradilan kita pun tak jarang memelihara celah-celah yang memungkinkan penghindaran tanggung jawab penuh.

Korupsi bukanlah sebuah tindakan yang terjadi di ruang hampa. Ia adalah bagian dari sistem yang lebih besar, sebuah permainan dalam dunia yang tidak selalu mengikuti aturan moralitas. Penghukuman penjara pun tak jarang tidak mampu meruntuhkan struktur ini. Para pelaku seringkali tidak jera, sebab mereka bukan sekadar berhadapan dengan hukum, tetapi dengan kekuatan dan kepentingan yang jauh lebih besar dari sekadar sanksi pidana.

Lalu, apakah ada jalan lain yang lebih bijaksana? Di sini, kita berkenalan dengan model Keadilan Restoratif (restorative justice). Sebuah konsep yang menawarkan jalan pemulihan daripada penghukuman. Bukan berarti tanpa tanggung jawab, tetapi sebuah jalan yang memberi kesempatan bagi pelaku untuk mengakui kesalahan dan mengembalikan apa yang telah dirampas dari korban. Konsep ini mengingatkan kita bahwa keadilan tidak hanya tentang menumbuhkan rasa takut, tetapi juga tentang memulihkan keseimbangan yang telah rusak.

Keberlakuan Keadilan Restoratif dalam Konteks Korupsi

Keadilan Restoratif tidak meminta pelaku untuk sekadar menjalani hukuman. Ia menuntut agar mereka mengambil langkah konkret untuk memperbaiki keadaan, untuk mengembalikan apa yang hilang. Dalam konteks korupsi, ini berarti pengembalian aset yang telah dicuri, memulihkan kerugian yang telah ditimbulkan, dan berkomitmen untuk memperbaiki diri. Dengan demikian, keadilan tidak hanya diberikan kepada korban, tetapi juga membuka ruang bagi pelaku untuk berubah, untuk menanggung tanggung jawab secara nyata.

Namun, tentu saja, penerapan Keadilan Restoratif pada kasus korupsi bukan tanpa tantangan. Sebagaimana hukum yang adil harus didukung oleh aturan yang jelas, demikian pula pendekatan ini memerlukan pengawasan yang ketat. Tanpa pengawasan, tanpa kejelasan aturan, sistem ini bisa jadi hanya akan menjadi ladang baru bagi mereka yang ingin menghindar dari tanggung jawab melalui jalan pintas. Oleh karena itu, integritas dan transparansi dalam implementasinya adalah syarat mutlak.

Keindahan dari Keadilan Restoratif adalah bahwa ia bukan sekadar mencari keadilan melalui sanksi, tetapi mencari kedamaian yang lebih dalam, sebuah pemulihan yang berujung pada kesadaran dan perubahan. Seperti aliran sungai yang tidak hanya membersihkan tanah yang dilaluinya, tetapi juga memberi kehidupan kepada setiap makhluk yang menyentuhnya.

Penerapan Keadilan Restoratif ini juga memungkinkan kita untuk lebih berpikir dalam kerangka pencegahan kejahatan yang berkelanjutan. Dengan memberi kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki keadaan, kita memberi mereka kesempatan untuk belajar dan bertumbuh. Ini adalah bentuk pencegahan yang jauh lebih efektif, lebih mendalam, dan lebih manusiawi, dibandingkan dengan hanya menunggu pelaku merasakan dinginnya penjara. Sebab, seperti kata filosofi kuno, "Keadilan bukanlah balasan, tetapi pemulihan."

Sejalan dengan hal tersebut, dalam konteks Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Keadilan Restoratif dalam proses peradilan pidana menjadi pijakan penting untuk menjembatani antara konsep keadilan dan pemulihan dalam sistem hukum kita. Perma ini menekankan pentingnya penyelesaian perkara yang tidak hanya berfokus pada hukuman, tetapi juga pada pemulihan hubungan antara pelaku dan korban, serta masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks korupsi, hal ini sangat relevan karena korupsi bukan hanya merugikan individu, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap negara dan sistemnya.

Keadilan Restoratif, sebagaimana diatur dalam Perma tersebut, memungkinkan tercapainya kesepakatan yang menguntungkan semua pihak, termasuk pelaku yang berjanji untuk mengembalikan kerugian yang ditimbulkan. Meskipun demikian, pendekatan ini harus tetap dijalankan dengan pengawasan yang ketat agar tidak menjadi jalan pintas bagi mereka yang ingin menghindari hukuman. Perma memberi ruang bagi sistem peradilan untuk lebih fleksibel dan bijak dalam melihat setiap perkara, serta memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki diri dan bertanggung jawab atas perbuatannya, sambil tetap menjaga hak korban.

Namun, di sisi lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) Perma, penerapan Keadilan Restoratif hanya diperbolehkan untuk tindak pidana ringan, dengan kerugian korban yang tidak melebihi Rp2.500.000 atau setara dengan upah minimum provinsi setempat. Batasan ini, meskipun memberikan landasan hukum yang jelas, menjadi kendala dalam penerapan konsep ini pada kasus korupsi, yang sering kali melibatkan kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar. Oleh karena itu, meskipun prinsip Keadilan Restoratif menawarkan potensi positif dalam menyelesaikan perkara, penerapannya harus diimbangi dengan pemahaman mendalam mengenai jenis dan dampak kejahatan yang terjadi.

Menunjukkan Tampang Gagah Negara: Terobosan Hukum dalam Penanganan Korupsi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif

Seiring dengan dinamika pemikiran Presiden Prabowo mengenai kebijakan pemulihan kerugian negara melalui pengampunan bagi koruptor, langkah konkret yang perlu diambil adalah mendorong kolaborasi intensif dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera merevisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Demi memajukan Indonesia menuju sistem peradilan yang lebih progresif, kita perlu merumuskan kembali kerangka hukum yang tidak semata-mata berfokus pada pembalasan melalui hukuman, tetapi juga mengedepankan aspek rehabilitasi serta pencegahan kejahatan, dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip Keadilan Restoratif dalam setiap lapisan hukum yang ada.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk segera menyusun dan menerbitkan peraturan yang komprehensif guna memastikan implementasi Keadilan Restoratif dalam kasus korupsi. Dalam hal ini, langkah pertama yang perlu diambil adalah merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menyelaraskan dengan prinsip-prinsip keadilan restoratif yang berfokus pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Tidak hanya itu, sinkronisasi dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pun harus dilakukan agar setiap tindak pidana, termasuk korupsi, dapat dipandang sebagai kejahatan yang bukan hanya merugikan negara, tetapi juga merusak hubungan sosial yang perlu diperbaiki.

Sebagai langkah tegas dan penuh keberanian, dapat dipertimbangkan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) khusus yang mengatur secara rinci tentang penerapan Keadilan Restoratif pada Tindak Pidana Korupsi. Peraturan ini akan menjadi landasan hukum yang jelas dan kuat, mengingat bahwa peraturan internal yang tersebar di Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian Republik Indonesia hingga saat ini belum mampu memberikan payung hukum yang memadai. Langkah ini, selain memperlihatkan kemajuan nyata dalam penyelenggaraan negara yang berkeadilan, juga akan membawa dampak positif dalam memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia yang selama ini cenderung kaku dan berorientasi pada penghukuman semata.

Dengan demikian, perubahan struktural dalam sistem peradilan kita harus segera diwujudkan, agar Keadilan Restoratif tidak hanya menjadi wacana, melainkan implementasi nyata yang mengedepankan pemulihan dan pencegahan, demi Indonesia yang lebih maju, berkeadilan, dan sejahtera.


Pranala bacaan:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun