Mohon tunggu...
Bang Pilot
Bang Pilot Mohon Tunggu... Konsultan - Petani, penangkar benih tanaman, konsultan pertanian.

Nama asli : Muhammad Isnaini. Tinggal di Batu Bara, Sumut. Hp/wa.0813 7000 8997. Petani dan penangkar bibit tanaman. Juga menjadi konsultan pertanian lahan gambut. Pemilik blog : http://bibitsawitkaret.blogspot.com/ . Menulis apa saja yang bisa bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

10 Hal yang Membuat Kompasianer Hengkang dari Kompasiana

23 September 2016   20:26 Diperbarui: 23 September 2016   20:37 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Waktu itu sebenarnya format Kompasiana sudah bagus, jauh lebih bagus dari yang sekarang. Hanya saja masih ada kendala bagi penguna gadget layar kecil, dan kurangnya kapling untuk iklan. Pemilik Kompasiana memutuskan merombak total format Kompasiana. Tapi apa nyana, Kompasiana menjadi error berkepanjangan. Sampai muncul istilah : Bukan Kompasiana kalau gak error. Banyak Kompasianer yang hengkang karena kesal dengan penyakit Kompasiana Baru yang mengulah bertahun-tahun.

3.Adanya centang merah/tanda verifikasi merah bagi Kompasianer yang belum terverifikasi.

Jujur saja, saya sendiri termasuk sebagai orang yang marah besar karena diberi centang merah pada saat itu. Saya marah karena sudah berbulan-bulan mengirimkan scan/foto KTP sebagai syarat verifikasi, tapi tak juga terferivikasi. Lalu tiba-tiba saya dicentang merahkan. Peristiwa Centang Merah ini cukup banyak juga memakan korban dalam bentuk hengkangnya Kompasianer.

Di lain pihak, memang ada juga Kompasianer yang tetap memilih anon dengan berbagai alasan. Tidak terverifikasi  (tanpa centang) tidaklah masalah buat mereka, tetapi tercentang merah membuat mereka merasa seolah dibuang. Merasa dianak tirikan.

4.Matinya fitur connecting.    

Beberapa waktu setelah masuk ke format baru, Kompasiana membuat pemberitahuan aktifitas di artikel kita  atau artikel yang pernah kita komentari, lewat email. Tapi tak lama kemudian pemberitahuan itu lenyap, sementara di dashboard, fitur itu tak juga muncul lagi, sebagaimana ada pada format lama. Banyak Kompasianer yang protes, mempersoalkan motto Kompasiana yang waktu itu adalah SHARING AND CONNECTING. Tetapi suara mereka bagai hilang di padang halaban. 

5.Munculnya banyak buzzer alias akun tuyul yang kerjanya cuma menyampah. 

Akun tuyul ini biasanya dipakai untuk membela dan memuja sebagian tokoh politik.  Tambah buruk ketika akun tuyul ini sering memaki-maki Kompasianer yang berseberangan pandangan dengannya.  Ada juga akun bodong yang sengaja dibuat untuk menaikkan rating tulisan agar masuk kolom Terpopuler.  Hal ini membuat suasana menjadi makin tidak sehat. Banyak Kompasianer beradab tinggi yang gerah lalu memutuskan untuk hengkang.

6.Kasus Pakde Kartono = Gayus Tambunan?

Sebenarnya, masalah ini malas saya membahasnya, tetapi saya juga turut menyesalkan sikap admin yang tertutup dan abu-abu waktu itu.

7.Kasus Satpolsianer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun