Mohon tunggu...
Bang Pilot
Bang Pilot Mohon Tunggu... Konsultan - Petani, penangkar benih tanaman, konsultan pertanian.

Nama asli : Muhammad Isnaini. Tinggal di Batu Bara, Sumut. Hp/wa.0813 7000 8997. Petani dan penangkar bibit tanaman. Juga menjadi konsultan pertanian lahan gambut. Pemilik blog : http://bibitsawitkaret.blogspot.com/ . Menulis apa saja yang bisa bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

10 Hal yang Membuat Kompasianer Hengkang dari Kompasiana

23 September 2016   20:26 Diperbarui: 23 September 2016   20:37 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
I am a moslem and I am not a terorist. (foto dokpri)

Saya, Muhammad Isnaini alias Bang Pilot, sejatinya adalah seorang Kompasianer senior kelas wahid. Faktanya adalah : saya sudah menulis di Kompasiana sejak Juli 2010, dan sudah menghasilkan lebih dari satu juta hits.

Terserah Anda yang anti senioritas, mau ngomel panjang pendek, mau gelar demo besar-besaran, mau bikin operasi pasar sembako murah atau mau buat gerakan anti Bang Pilot di Change.org, terserah. Semua itu hanya akan membuat Bang Pilot makin terkenal saja. Makin ganteng lagi. Iku nek coyo.

Sebelum membully, saya ingatkan Anda, membully Bang Pilot adalah hal yang sangat diidam-idamkan. Karena Bang Pilot adalah salah satu anggota teras Planet Kenthir, yang punya motto antara lain : Makin Dibully Makin Bangga.

Baiklah, kini kita bergerak ke inti masalah.

Dulu, pada waktu masih masa kejayaan Kompasiana, antara tahun 2012 sampai dengan awal tahun 2014, Kompasiana ini ramai sekali.  Artikel muncul nyaris setiap dua menit. Derasnya aliran input tulisan-tulisan  hanya sedikit berkurang kalau sudah dini hari. Artikel yang rilis juga bagus-bagus. Memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai artikel. Tulisan tampil dengan narasi yang mendalam serta didukung dengan data-data yang cukup lagi valid. Tulisan-tulisan yang panjang namun tetap enak dibaca, mengalir runtut seperti aliran sungai Bengawan Solo. Bukan hanya sekedar tulisan gak mutu asal lewat, seperti yang sekarang banyak berseliweran di Kompasiana.  

Suasana dulu juga sangat mendukung. Sebuah suasana keramah- tamahan khas Indonesia. Penulis-penulis pendatang baru langsung mendapat welcome dan supportyang cukup dari penghuni lama. Tak ada gaduh yang terlalu berarti. Tak ada buzzers alias akun tuyul yang kerjanya cuma menyampah. Hubungan antar penulis juga sangat akrab, karena  fitur untuk itu memang ada. Akan ada pemberitahuan setiap ada komentar yang masuk ke tulisan kita, hingga asas connectingbenar-benar terjaga. Mulai dari sekedar salam sapa, menjadi teman bisnis hingga sampai ada sesama Kompasianer yang lalu menikah.  

 Sekarang keadaan sudah jauh berbeda. Suasana tak lagi kondusif. Perbedaan yang disebabkan oleh berbagai masalah. Perbedaan situasi yang menyebabkan banyak penulis utama memilih untuk hengkang menjauh. Sebagian besar kembali ke blog pribadi. Ada juga yang memilih menulis di blog keroyokan lain, semisal Indonesiana, Ketik Ketik, Viva Blog, atau lainnya yang semisal. Sebagian yang tersisa memilih untuk menulis di Facebook. Ada pula yang pensiun menulis selamanya.

Memang tidak semua penulis utama yang hengkang, ada sedikit  penulis utama yang masih bertahan, diantaranya adalah ekonom Faisal Basri dan para normal Bang Pilot. Mereka masih bertahan karena mereka adalah sejatinya penulis. Mereka adalah sosok yang sudah khatam akan makna dan kilas perilaku manusia.

 Perbedaan (baca: situasi yang tak lagi kondusif untuk menulis) itu pula yang menurut terawangan gaib saya akan menjadi pemicu sandyakala ning Kompasiana, luluh hilang kertaning bhumi. Kemeriahan Kompasiana akan menjadi tinggal kenangan; memasuki  masa suram yang kini gejalanya makin menguat.  Kompasiana tak akan berumur panjang. Mungkin akan segera menyusul nasib Yahoo Answer atau pun Friendster. Mati suri karena ditinggalkan pengunanya. Mengapa?

1.Kompasianer pendukung Prabowo banyak yang hengkang ketika super admin Pepih Nugraha dengan gamblang menyatakan diri mendukung Jokowi. Meski pun kemudian admin Isjet mencoba membuat semacam balancing dengan menyatakan mendukung Prabowo, tetapi taktik ini tak berhasil membuat Kompasianer pendukung Prabowo yang sudah terlanjur hijrah untuk kembali ke Kompasiana.

2.Kompasiana beralih ke format baru.

 Waktu itu sebenarnya format Kompasiana sudah bagus, jauh lebih bagus dari yang sekarang. Hanya saja masih ada kendala bagi penguna gadget layar kecil, dan kurangnya kapling untuk iklan. Pemilik Kompasiana memutuskan merombak total format Kompasiana. Tapi apa nyana, Kompasiana menjadi error berkepanjangan. Sampai muncul istilah : Bukan Kompasiana kalau gak error. Banyak Kompasianer yang hengkang karena kesal dengan penyakit Kompasiana Baru yang mengulah bertahun-tahun.

3.Adanya centang merah/tanda verifikasi merah bagi Kompasianer yang belum terverifikasi.

Jujur saja, saya sendiri termasuk sebagai orang yang marah besar karena diberi centang merah pada saat itu. Saya marah karena sudah berbulan-bulan mengirimkan scan/foto KTP sebagai syarat verifikasi, tapi tak juga terferivikasi. Lalu tiba-tiba saya dicentang merahkan. Peristiwa Centang Merah ini cukup banyak juga memakan korban dalam bentuk hengkangnya Kompasianer.

Di lain pihak, memang ada juga Kompasianer yang tetap memilih anon dengan berbagai alasan. Tidak terverifikasi  (tanpa centang) tidaklah masalah buat mereka, tetapi tercentang merah membuat mereka merasa seolah dibuang. Merasa dianak tirikan.

4.Matinya fitur connecting.    

Beberapa waktu setelah masuk ke format baru, Kompasiana membuat pemberitahuan aktifitas di artikel kita  atau artikel yang pernah kita komentari, lewat email. Tapi tak lama kemudian pemberitahuan itu lenyap, sementara di dashboard, fitur itu tak juga muncul lagi, sebagaimana ada pada format lama. Banyak Kompasianer yang protes, mempersoalkan motto Kompasiana yang waktu itu adalah SHARING AND CONNECTING. Tetapi suara mereka bagai hilang di padang halaban. 

5.Munculnya banyak buzzer alias akun tuyul yang kerjanya cuma menyampah. 

Akun tuyul ini biasanya dipakai untuk membela dan memuja sebagian tokoh politik.  Tambah buruk ketika akun tuyul ini sering memaki-maki Kompasianer yang berseberangan pandangan dengannya.  Ada juga akun bodong yang sengaja dibuat untuk menaikkan rating tulisan agar masuk kolom Terpopuler.  Hal ini membuat suasana menjadi makin tidak sehat. Banyak Kompasianer beradab tinggi yang gerah lalu memutuskan untuk hengkang.

6.Kasus Pakde Kartono = Gayus Tambunan?

Sebenarnya, masalah ini malas saya membahasnya, tetapi saya juga turut menyesalkan sikap admin yang tertutup dan abu-abu waktu itu.

7.Kasus Satpolsianer.

Waktu itu sedang pesta Kompasianival. Panitia menyewa sebuah gedung mewah di kawasan elite. Ketika sampai waktu makan siang, sebagian Kompasianer yang hadir duduk lesehan di lantai, karena kursi sudah penuh. Dulu, Kompasianival itu sangat ramai, tidak seperti sekarang yang makin tahun makin sepi.  Beberapa di antara mereka lalu membuka bontot lalu makan bareng di sono. Tapi apa lacur, satu peleton pasukan sekuriti  gedung langsung mengusir mereka dengan keras. Kompasianer pun berlarian menyelamatkan diri. Sebagian panganan yang terlanjur sudah digelar, seperti getuk lindri, nasi kucing, opak singkong, sego tiwul, sambel pete, rendang jengkol, dan kare ikan sepat pun berhamburan.  Akibatnya, banyak Kompasianer, sebagian besar ibu-ibu, yang kecewa mendalam. Mereka merasa bahwa Kompasianival adalah rumah buat Kompasianer, ajang berkumpul setahun sekali. Tetapi mereka malah diusir di rumahnya sendiri.

8.Isu koncoisme admin.

Waktu itu Kompasiana sangat ramai. Jumlah admin kurang. Lalu diangkatlah beberapa admin baru. Tapi sebagian besar admin baru tadi adalah anak ingusan yang belum tahu dunia tulis menulis. Banyak tulisan bermutu yang tak dikilaukan, dan tulisan asal jadi malah diangkat menjadi HL. Parahnya, tulisan yang sering HL itu adalah milik segelintir akun baru yang  jelas-jelas kemampuan menulisnya masih jauh di bawah standar.  Hingga sampai muncul sebuah pameo di kalangan Kompasianer lama : Dia lagi.... dia lagi....

Muncullah isu koncoisme admin. Isu ini marak diperbincangkan, namun sepertinya admin baru tak mau ambil pusing. Beberapa Kompasianer senior mengakalinya dengan tidak memposting tulisan sampai jam giliran admin lama mulai bertugas. Cara mengetahuinya adalah lewat komunikasi di pesbuk. Tapi sebagian yang lain memilih hengkang.   

9.Munculnya penulis-penulis gagap dengan gerombolannya.

Dulu, salah seorang Kompasianer Terbaik, Fandi  Sido, pernah mengangkat masalah ini. Fandi mengkritisi tulisan-tulisan Kompasianer baru yang tidak bermutu, asal jadi dan asal tayang. Tapi apa lacur, bukannya dijadikan cermin, gerombolan Kurawa malah kompak membully Fandi. Tak lama kemudian, Kompasianer Terbaik Fandi Sido menghilang menyusul Kompasianer Terbaik Iramawati Oemar.  

Sampai sekarang pun, tulisan-tulisan gak mutu makin bejibun di Kompasiana. Sebagian malah berasal dari akun yang mengklaim sebagai pemegang titel S2, bahkan S3. Umumnya mereka menulis dengan ciri gaya bahasa nginggris, alur bahasannya tunggang balik, tanpa didukung data yang valid, copas sana-sini, bahkan isinya cenderung menyesatkan. Yang paling lucu, ada tulisan yang bergaya mengajari orang bagaimana cara menulis yang baik dan benar, bagaimana berbahasa tulisan yang baik dan benar, tetapi isi tulisannya malah mengandung banyak kesalahan yang mendasar.   

Sebagian penulis serius merasa risih berdampingan dengan penulis-penulis gagap ini, lalu memilih cabut cantik.

Ada juga cerita lain. Dulu, jika saya memperkenalkan diri sebagai seorang penulis di Kompasiana, maka sebagian besar orang akan berdecak kagum. Tapi sekarang, mereka akan meremehkan sambil berkata “Ah, apa itu Kompasiana? Banyak kali yang tak betul di situ!”

10.Undangan makan di istana.

Suatu waktu, Presiden Joko Widodo batal hadir di acara Kompasianival. Sebagai permintaan maaf dari beliau, istana lalu mengundang, kalau saya tak salah ingat, 40 Kompasianer untuk makan di istana bersama Pak Jokowi. Admin senior Isjet lalu diminta untuk mengatur siapa saja yang dihadirkan. Tapi, tenggat waktunya cuma 2 hari.  Isjet pun kalang-kabut, sebab yang disyaratkan juga lumayan ketat. Tamu harus safe, bukan begaya mirip ‘teroris’ seperti foto saya di atas.  Tamu juga harus pasti kehadirannya, jangan sampai ada kursi kosong. Dan terakhir, tamu harus memakai pakaian yang pantas untuk masuk istana. Gembel jalanan seperti saya jelas bukanlah sebuah pilihan.

Namun acara makan di istana itu berbuntut panjang. Sebagian penulis kawakan yang tidak diundang merasa masygul. Mereka mempersoalkan kriteria pemilihan siapa saja yang diundang ke istana itu sebagai sesuatu yang tidak jelas. Masalah berlarut. Solusi dicarikan. Tapi tetap saja menyisakan kekecewaan. Sebagian penulis asli lalu ikut hengkang.

Demikianlah 10 sebab Kompasiana  kehilangan penulis-penulis terbaiknya. Mungkin masih ada sebab-sebab lain. Yang mengetahui boleh menambahkannya di kolom komentar.

Tetapi bukanlah berarti bahwa Kompasiana kini mutlak dihuni oleh para penulis abal-abal. Tidak juga. Masih tersisa segelintir Kers bagus di K. Tetapi dibandingkan bertahun lalu, komposisi penulis di Kompasiana kini harus diakui memang terbilang memprihatinkan.

Dulu saya membaca sekitar 20 persen artikel yang judulnya sudah saya lihat. Tetapi sekarang, terkadang dalam satu malam saya tidak membaca satu pun tulisan di Kompasiana. Tidak ada yang menarik untuik dibaca. Tidak ada yang unik. Tidak ada yang bermanfaat.

Ya udah, segitu aja. Yang mau bercermin, silahkan. Yang mau membully juga monggo. Aku ra po po. Ora keroso. Ora nelongso. Sak karepmu kono.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun