***
Entahlah. Macam mana aku nak cakap? Pastilah ada rasa senang yang menghangat di rongga dada. Cintaku yang dahulu tertahan, kini menemukan jalan lapang. Tapi ada pula rasa ngilu, iba, hampa, berbunga-bunga tapi semua bunganya patah. Ada rasa terlambung dan terhempas. Ada rasa marah yang tak marah.Â
Kenapalah dahulu kau tidakkan aku? Kalaulah kau iyakan, taklah akan begini jadinya. Mungkin kita sudah berumah tangga sekarang. Hidup sederhana, tapi bahagia. Bersama-sama kita urus masa depan adik-adikmu dan adik-adikku, masa depan kita. Kita hadapi payahnya kehidupan dengan kegembiraan macam masa kanak-kanak dulu.
Jauh di dalam ada yang mendesak-desakku segera membalas suratmu dan mengatakan, "ya, masih kucintai dirimu." Lebih dari itu, ada bagian hatiku yang merayu-rayu segera berangkat ke Kijang, melamarmu. Tapi, tak sesederhana itu. Atau aku yang tak hendak menjadikannya sederhana?
Elsa, cintakah kau kepadaku? Dulu, kautepis aku dikarenakan satu alasan yang aku pahami. Meski terluka, aku menerima. Aku kecewa, tapi tak sedikit pun marah, tak jua membenci. Aku hanya hendak sejauh-jauhnya berlalu, supaya boleh kulanjutkan hidupku. Maka, kutahan diriku untuk tak sering bertukar kabar denganmu.
Mungkin suatu hari akan kujumpai cinta sejati, seseorang yang Tuhan turunkan kepadaku buat mendampingi hingga akhir nanti. Tapi kurasa hari itu tiada akan pernah tiba apabila aku masih terjerat kepada apa yang telah lewat.
Lalu engkau datang lagi dengan hati luka, dengan pedih yang dapat kuraba. Kau tulis dalam suratmu bahwa kau menyesal. Kau mintakan maafku. Kaukatakan bahwa kaupun mencintaiku, tapi di kala itu hati dan pikiranmu rapuh sangat didera hidup yang penat.
Paham. Aku paham. Tapi mengapa baru kini kau datang, selepas percintaanmu dengan lelaki itu kandas? Kauharap aku menjadi jalan keluarmu? Â Kurasa patutlah aku mempertanyakanmu. Bolehlah aku merasa macam baterai cadangan saja.
"Pakcik Ramli yang menyuruhku mengirim surat ini. Â Ardi patut tahu soalan ini. Begitu ucap Pakcik. Sebenarnya, aku tak ingin kau tahu. Tak nak kuusik hidupmu. Aku tahu salahku. Malu aku, mengiba macam ini kepadamu. Tapi mengingat jasa Pakcik kepada kami..."
Pakcik Ramli. Tetangga sebelah rumahmu. Baik sangatlah hatinya. Kita sama tahu, susah hidupnya. Tapi sering ia menolong engkau dan adik-adikmu. Dia pula yang menyokong kedekatan kita dahulu. Sering dia menggodaku. "Ardi, apa lagi nak engkau tunggu?" Kurasa diapun kecewa kita akhirnya tak bersama.
Akhirnya? Belum berakhir, rupanya. Kini aku berhadapan dengan pertempuran batin yang sengit. Riuhnya menyesakkan. Mana yang hendak kumenangkan? Penat aku memikirkan. Kuputuskan untuk tidur sekejap. Biarlah ada waktu bagi semua pilihan untuk mengendap. Lepas itu semoga jelas apa hendak kubuat.