"Menikahlah denganku!" Begitu rayu seorang perempuan teramat cantik kepada setiap lelaki yang melewati jalan itu. Rayuan yang boleh dikata mustahil diabaikan. Banyak sudah lelaki yang terpikat rayuan itu. Semuanya bernasib merana.
Setiap kali seorang lelaki menyambut rayuan itu, sang perempuan akan mengajak si lelaki ke rumah penghulu untuk melangsungkan pernikahan. Akan tetapi, di tengah perjalanan selalu saja terjadi hal buruk pada si lelaki. Ada yang tiba-tiba berteriak ketakutan seperti habis melihat hantu atau monster. Ada yang menjerit-jerit atau menangis pilu. Ada yang mengamuk, mencakar-cakar atau menumbuk-numbuk jalan. Kemudian semua lelaki itu berlari tunggang langgang dan sesudahnya terlihat seperti orang yang tak waras.
Perempuan perayu yang sangat cantik itu bukanlah orang asing di kampung itu, meski mungkin tak banyak yang mengenalnya. Namanya Cempaka. Anak perempuan allahuyarhamah Rugayah, seorang gadis asli kampung itu yang jelita parasnya tapi malang sungguh nasibnya.
Suatu hari petaka menimpanya. Ia ditemukan tak sadarkan diri dengan pakaian yang tak karuan di semak-semak tak jauh dari jalan depan rumahnya. Â Entah siapa yang telah berbuat laknat kepada gadis kampung itu. Ada orang bilang ia diperkosa seorang pengelana yang kebetulan melintas. Ada yang percaya orang kampung itu sendiri pelakunya. Tetapi yang paling dipercaya oleh banyak orang kampung, walau tak ada buktinya, adalah Rugayah telah dicelakai oleh seseorang dari istana. Ada bisik-bisik beredar bahwa beberapa hari sebelum ditemukan di semak-semak, Rugayah diculik oleh dua orang bersenjata. Abah dan emaknya tak pernah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Setiap kali ada yang berani atau sampai hati menyinggung masalah ini keduanya hanya murung dan diam.
Sembilan bulan kemudian Rugayah melahirkan, tapi ia sendiri tak sanggup bertahan. Selepas persalinan, ia meninggal dunia. Bayi perempuan yang kemudian diberi nama Cempaka itu, dibesarkan oleh atok dan neneknya. Pada usia sepuluh tahun Cempaka dikirim oleh atok dan neneknya entah ke mana.
"Menuntut ilmu di sebuah tempat." Itu saja yang dikatakan oleh Mat Gani, atok Cempaka, kepada orang kampung. Orang kampung lama menaruh heran, darimana Mat Gani punya harta untuk membiayai pendidikan cucunya. Terlebih lagi tersebar kabar yang dibawa oleh angin bahwa Cempaka dididik di perguruan khusus untuk keluarga bangsawan.
Sekitar satu purnama yang lalu Cempaka kembali ke kampungnya. Usianya sudah dua puluh tahun sekarang. Parasnya sangatlah jelita, melebihi Rugayah emaknya. Banyak pemuda yang pura-pura melewati jalan depan rumah atoknya dan mencuri-curi pandang ke arahnya. Biasanya Cempaka membantu nenek menenun kain.
Akan tetapi, suatu hari kelakuan Cempaka sangat berubah. Sungguh ganjil dan tak kena di akal. Setiap hari, tak pagi tak petang, ia berbaju kurung putih dengan kerudung yang juga putih berdiri di tepi jalan depan rumah atoknya, merayu setiap lelaki yang melintas untuk menikahinya. Setiap lelaki. Tak tua tak muda. Tak perjaka, duda, ataupun suami orang.
Banyak sudah lelaki yang menjadi korban. Hampir setengah laki-laki dewasa di kampung itu sudah tak waras dibuatnya. Sekarang, para orang tua melarang anak lelaki mereka melintasi jalan itu. Para istri mengawasi lekat-lekat suami mereka. Jalan itu menjadi sunyi dan menakutkan. Cempaka telah menjadi seperti bunga cempaka. Wangi, tapi menyeramkan.
Suatu hari lewatlah di jalan itu seorang pemuda. Pasti anak muda bukanlah berasal dari dekat-dekat kampung itu sehingga tak tahu betapa berbahayanya jalan yang tengah dilintasinya itu.
Cempaka, berbaju kurung putih dengan kerudung yang juga putih, tiba-tiba mencegatnya, "Menikahlah denganku!"
Sang pemuda terperanjat. Seketika ia terkesima akan kecantikan perempuan yang tiba-tiba mengejutkannya itu. Tetapi dengan cepat ia menundukkan pandangan.
"Nama saya Bujang Ramli. Dari pulau seberang. Siapakah gerangan puan?" Tanya pemuda itu dengan sopan, setelah berhasil meredam degup jantungnya yang kencang.
Cempaka tak menyangka sang pemuda akan bersikap seperti itu. Semua lelaki yang dicegatnya selalu menyambut rayuannya dengan sukacita yang segera diikuti dengan imajinasi yang nakal. Ia dapat merasakan aroma birahi yang terpancar dari tubuh seorang lelaki. Tapi, pemuda ini sungguhlah berbeda.
"Menikahlah denganku." Rayunya sekali lagi. Sekali ini dengan nada agak bergetar seperti disergap keragu-raguan.
Sang pemuda sudah sepenuhnya menguasai diri sekarang. Lantas iapun menjawab panjang.
"Aduhai puan. Kenapa cakap macam tu? Menikah bukanlah perkara sekejap dan mudah. Tak boleh kita menikah dengan sembarang orang. Haruslah kenal dahulu. Haruslah ada cinta."
Terkesiap Cempaka mendengar jawaban pemuda ini. Lenyap sudah kuasanya untuk menundukkan lelaki. Sekali ini ia seperti tak ada daya, tapi sekaligus hatinya gembira. Berdentum keras jantungnya. Darah mengalir lebih cepat ke seluruh penjuru tubuhnya. Adakah hari ini akan menjadi akhir dari permainannya?
Ya, permainan. Suatu hari, manakala ia masih berguru, ia teringatkan nasib pilu yang dialami allahuyarhamah Rugayah, emaknya. Atoknya bercerita bahwa emaknya itu telah dilamar untuk menjadi isteri ketiga Raja. Lamaran yang tak boleh ditolak, kalau tak mau celaka. Tapi rupa-rupanya adik sang Raja terpikat dan berbuat jahat. Diperintahkannya beberapa pengawal untuk menculik Rugayah. Raja yang mengetahui perbuatan pangeran murka, tapi marwah kerajaan haruslah dipelihara. Itu sebab direka satu keadaan seolah-olah Rugayah dibuat celaka oleh orang tak dikenal di semak dekat rumahnya.
Raja tak sepenuhnya berlepas tangan. Diam-diam kebutuhan atok, nenek dan Cempaka dicukupkan. Kepergiannya untuk berguru juga atas sokongan kerajaan. Tapi mereka tak boleh banyak cakap. Marwah kerajaan patutlah diutamakan.
Mengenangkan nasib emaknya itu, terilhamkan oleh Cempaka untuk menguji hati lelaki. Ia percaya bahwa cinta itu boleh jadi ada, tapi dia akan selalu dapat dikalahkan oleh kemolekan tubuh perempuan. Raja tentu mencintai permaisurinya, tapi masih berniat menyunting Rugayah.Tentulah karena dia cantik jelita. Manalah sudi Raja kalau Rugayah biasa saja parasnya. Pangeran sampai hati merenggut hidup Rugayah pastilah karena tergoda indah tubuh emaknya.
Cempaka mengadukan keraguannya kepada cinta yang sejati itu kepada Tuhan. Ia memohonkan pertolongan Tuhan ketika ia nanti menguji hati lelaki. Ia tak menyangka bahwa setiap lelaki yang tak sanggup menahan nafsu mendengarkan rayuannya akan mengalami gangguan jiwa. Ia hanya berharap agar Tuhan membuat para lelaki itu tiba-tiba merasa mual melihat wajahnya dan mengurungkan niat lalu kembali ke rumah.
Tidak warasnya hampir separuh lelaki dewasa di kampung itu, belum lagi ditambah banyak lelaki dari kampung-kampung lain, akibat rayuan Cempaka tak hanya menciptakan kengerian. Â Melainkan juga kemarahan. Meski disadari bahwa kejadian tak masuk akal itu terjadi juga karena gatalnya si lelaki, penduduk kampung menganggap Cempaka biang keladinya. Mereka, terutama perempuan, mendesak kepala kampung untuk mengusir Cempaka. Tak mempan. Kepala kampung malah menakut-nakuti orang kampung bahwa Cempaka itu sakti mandraguna. Jika dia diusir, musibah besar akan terjadi di kampung itu. Rupa-rupanya kepala kampung sudah mendapat petunjuk dari istana, agar Cempaka tak diusik.
"Puan..." Ucapan pemuda itu memecah kebisuan. Cempaka tersentak dari lamunan.
"Saya nak melanjutkan perjalanan"
Cempaka tergagap. Tiba-tiba ia merasakan perasaan yang asing. Ia tak ingin pemuda itu berlalu. Ia tak ingin kehilangan pemuda itu.
"Sekejap Tuan." Suara Cempaka sedikit serak. Entah apa sebab.
"Apakah saya tak layak untuk Tuan cintakan?"
Kali ini Bujang Ramli yang tergagap. Suara perempuan yang masih belum memperkenalkan namanya itu terasa seperti menyimpan lara, duka, dan terutama sepi. Ia seperti bisa merasakan penatnya jiwa dan raga perempuan itu.
Ya, sesungguhnyalah Cempaka memang sudah penat. Hampir satu purnama ia berseru, "Menikahlah denganku" kepada setiap lelaki yang melewati jalan depan rumah atoknya itu, selalu berakhir dengan lara. Ia sudah hampir sampai pada kesimpulan, bahwa cinta sejati itu tak ada. Siapapun lelaki pasti akan terpikat akan indahnya paras dan tubuh perempuan. Siapapun lelaki akan mencari-cari cara untuk mendapatkan itu. Seorang lelaki mungkin akan menikahi seorang perempuan atas nama cinta. Tapi Cempaka yakin lelaki itu akan bersedia mengorbankan cinta itu jika ada kesempatan mendapatkan perempuan lain yang lebih memesona.
Di sisi lain ia merasa kalaulah nanti ada lelaki hendak menikahinya, itu bukan karena dirinya. Melainkan karena kulitnya. Selaput tipis yang membungkus tubuhnya. Oleh sebab itu ia berencana dalam beberapa hari ini akan kembali berguru. Lepas itu ia akan terus di sana dan tak akan menikah selamanya. Ia telah muak dengan asmara meski belum pernah merasakannya.
"Mmm, bukan macam tu Puan. "Semua perempuan bolehlah mendapatkan cinta. Tapi saya tak kenal puan. Sayapun tak tahu siapa nama puan. Bolehlah kita berkenalan dahulu. Lepas tu, sama kita tengok apa yang terjadi"
Sikap Bujang Ramli betul-betul membuat Cempaka jatuh hati. Ia tersenyum. Elok parasnya menjadi bertambah elok dibuatnya. Berapa lama sudah ia tak tersenyum? Hati Bujang Ramli berdebar. Kalaulah tak kuat ia tahankan, mungkin ia sudah mabuk kepayang. Lelaki mana yang tak terpesona akan kecantikan perempuan? Apa lagi yang cantiknya hampir sempurna begini? Segera saja pemuda itu kembali menundukkan pandangan, sembari terus berdoa kepada Tuhan agar kokoh melawan godaan.
"Cempaka nama saya", ujar perempuan berbaju kurung putih sambil agak membungkukkan badan.
"Sudilah kiranya Tuan singgah sekejap di rumah atok saya di tepi jalan itu. Bolehlah saya sediakan segelas air untuk melepas penat."
Itu adalah tanda yang nyata bagi Bujang Ramli, bahwa Cempaka ingin dirinya dipahami. Ia tak lagi sekadar menantang untuk dinikahi, melainkan ia ingin agar lelaki menyelami perasaannya. Bujang Ramli mengerti, itulah asal mula cinta yang sejati. Perasaan yang terselami dan dipahami. Karenanya, sangatlah ingin ia memenuhi permintaan perempuan itu. Akan tetapi...
"Banyak terima kasih Puan Cempaka. Maafkan, saya terpaksa meneruskan perjalanan. Saya terburu-buru. Kedatangan saya sudah ditunggu oleh Tuan Guru."
Pemuda itu tidaklah sedang menghindar atau berdusta. Ia memang sedang dalam perjalanan menuju sebuah perguruan untuk mempelajari ilmu agama dan bela diri. Ia diperintahkan oleh Ayahandanya untuk mempersiapkan diri. Â Bujang Ramli bukanlah nama sebenarnya. Nama aslinya ialah Pangeran Abdurrahman, putera mahkota kerajaan seberang.
Cempaka kecewa dengan penolakan Bujang Ramli. Terlihat nyata pada perubahan air mukanya. Bujang Ramli yang dapat merasakan kekecewaan itu lalu berkata,
"Kalaulah Puan Cempaka berkenan. Tunggulah dua puluh purnama ke depan. Saya akan kembali ke jalan ini menjumpai Puan. "
Pemuda itu pamit dan meneruskan perjalanan. Tinggallah Cempaka seorang diri di jalan itu dengan wajah merona merah dan hati yang merekah.
Itulah hari terakhir Cempaka merayu lelaki yang melewati jalan itu. Duapuluh purnama ia arungi dengan banyak menenun kain dan mengaji. Orang-orang yang setengah gila terkena rayuan Cempaka satu per satu waras kembali. Hidup terus berlanjut di kampung kecil itu. Jalan depan rumah Mat Gani ramai kembali.
Kabar ini akhirnya sampailah pula ke telinga Raja. Raja dibuat senang karenanya. Lepas sudah satu kesedihan yang selama ini merundungnya. Walaupun pahit jalan ceritanya, Cempaka tetaplah anak dari adiknya. Cempaka adalah kemenakan yang harus ia jaga keselamatannya dengan tak mengorbankan marwah kerajaan.
Tak seorangpun tahu, Rajalah yang memohon kepada raja seberang yang masih satu garis keturunan dengannya untuk memerintahkan Bujang Ramli melewati jalan itu.
"Kita tengok apa yang terjadi..."
Catatan: cerpen ini diambil dari buku kumpulan cerpen 'Lelaki Yang Tak Pernah Bertemu Hujan' (2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H