Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tamu yang Dinanti-nanti Abah

22 April 2019   12:31 Diperbarui: 22 April 2019   12:47 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua minggu sudah abah sakit. Tak pernah sebelumnya abah begini. Kalau sakit ringan macam flu atau pening sedikit, biasalah. Tapi sakit yang sampai membuatnya terbaring tiada daya, barulah sekali ini.

Di saat awal sakit abah masih memaksakan diri untuk sembahyang berjemaah di surau. Dituntun adik bungsuku, susah payah abah ke surau. Beberapa hari kemudian tubuh tua dan lemah itu tak kuat lagi. Bahkan belakangan ini abah hanya bisa sembahyang sambil berbaring.

Entah abah sakit apa. Saban kami membujuknya untuk diperiksa dokter ahli di rumah sakit, abah tak berkenan. Saban kami tanya terasa sakit di sebelah mana, abah menjawab entah. Yang ia rasa, seluruh badannya lemah. Mulut terasa pahit. Selera makan hilang. Akhirnya aku minta tolong seorang dokter kenalanku untuk datang memeriksa abah. Sayang, ia tak dapat menemukan sumber penyakit abah. Ia menyarankan -- bahkan agak sedikit mendesak -- agar abah menjalani pemeriksaan lengkap dengan peralatan biomedik mutakhir yang lebih teliti. Abah tak hendak. Bagi abah, sakitnya ialah sakit biasa yang dialami orang tua.

Emak selalu tak banyak cakap. Dirawatnya abah dengan kasih dan sabar. Semua keperluan abah disiapkan oleh emak, hampir tanpa kata-kata. Tak ada sedikitpun garis kesal di wajahnya, ketika abah tak menghabiskan makanan yang telah dimasaknya sesuai permintaan abah. Selalu dihabiskannya makanan sisa abah.

"Tak boleh buang makanan. Mubazir," ucapnya.

Macam itulah emak. Kasihnya kepada kami dan abah dibungkusnya indah dalam senyuman, tatapan, dan perbuatan. Kalau ada orang mengatakan bahwa emak-emak sering cerewet melihat tingkah polah anak, maka itu bukan emak kami. Tak pernah aku lihat emak bermuka masam. Apabila kami degil, emak menasihati dengan halus dan tak pernah panjang-panjang. Ketika bertutur ucap, nadanya mengayun. Kata orang, itulah ciri orang Mandailing.

Umur abah dan emak terpaut jauh. Lima belas tahun. Dalam keadaan abah sakit begini, perbedaan umur itu sedikit menguntungkan. Emak cukup kuat merawat dan mengurus keperluan abah. Bukanlah berarti kami tak turut serta merawat abah. Tapi, kami tak selalu ada. Ada saat emak berdua saja dengan abah di rumah.

Lima hari yang lewat, abah memanggilku. Ditemani emak, abah berucap pelan dan patah-patah. Tak lama lagi akan ada tamu istimewa yang datang. Begitu ucap abah. Kami diminta untuk bersiap-siap. Setiap sudut rumah dibersihkan. Apa-apa yang rusak, dibetulkan. Bagian yang mulai kusam dicat ulang. Pekarangan yang bersemak dirapikan. Tanaman hias sebanyak mungkin ditanam. Rumah hendaknya dihiasi dengan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an setiap hari.

Permintaan abah ini membuatku gundah. Hatiku berdegup. Darahku berdesir tak nyaman. Kesedihan merayap ke sekujur tubuhku. Apakah ini pertanda, abah akan segera pergi meninggalkan kami? Kutatap emak. Sorot matanya teduh tapi menahan duka. Senyumnya menenangkan, tapi sekaligus menyiratkan kegetiran. Ada semburat sedih dalam air mukanya. Sedih yang dibungkus indah dengan keikhlasan. Kelopak mataku menghangat. Tapi kutahankan agar jangan ada satu butir air matapun tumpah. 

Aku adalah anak sulung abah dan emak. Aku seorang yang sudah bekerja dan berumah tangga. Kukabarkan permintaan abah kepada keempat adik-adikku. Sama sepertiku, pesan abah itu membuat adik-adik muram dan berduka. Bahkan si bungsu tak kuasa menahan isak. Tapi kami berazam untuk menunaikan permintaan abah dengan sebaik-baiknya agar senang hati abah ketika sang tamu tiba.

Kepada istriku kukatakan bahwa sebaiknya untuk sementara ini kami tinggal di rumah abah dan emak. Ada kamar yang cukup untuk kami sekeluarga besar. Bukanlah menjadi soal harus kutempuh jarak yang lebih jauh setiap hari untuk menuju tempat kerjaku.

Semenjak hari itu bermulalah kesibukan kami di rumah abah dan emak. Satu per satu permintaan abah kami selesaikan. Lepas subuh, sebelum berangkat kerja, kusempatkan untuk mengerjakan bagianku, membersihkan pekarangan dan menanam pepohonan. Saban hari adik-adik dan juga istriku bergantian membaca Al-Qur'an di kamar tempat abah berbaring. Sementara aku, membaca ayat-ayat kitab suci itu di malam hari, sepulang kerja. Di akhir pekan, dari pagi hingga ke petang, kami beramai-ramai mengerjakan bagian yang lebih berat seperti membetulkan pintu, jendela, kursi, meja, dan perabotan lain serta mencat bagian rumah yang kusam. Baru kusadari, ternyata banyak benda-benda di rumah ini yang sudah buram dan tua.

Mendengarkan tawa dan gurau kami seraya bekerja, sering kujumpai, mata tua abah menitikkan air mata. Alangkah besarnya rasa syukur kami. Allah jauhkan kami dari anggota keluarga yang berkelakuan tak patut. Barangkali inilah anugerah Allah bagi abah dan emak karena telah bersetia hidup lurus. Menjadi polisi di negeri ini merupakan pekerjaan yang pelik. Hampir tiap hari ada saja godaan dan cabaran. Tak sedikit rekan sejawat abah yang terpeleset, terjerembab, dan berakhir dalam kehinaan. Segala puji bagiNya yang telah melindungi abah dari nasib yang demikian.

Aku ingat pesan abah untuk hidup lurus. Boleh banyak harta, asalkan berkah. Harta tiada boleh menjadi penjara. Jangan silau pada dunia. Jangan pernah tak peduli pada derita orang lain. Abah tak pernah tanya macam mana kemajuan pendidikan kami di sekolah. Tiap kami juara, abah hanya mengucap Alhamdulillaah dan berpesan untuk sujud syukur. Ketika aku lulus sebagai yang terbaik di kampusku, sikap abah sama saja. Mengucap alhamdulillaah dan menyuruhku sujud syukur. Tapi saat tahu adik bungsuku berhasil hapal sepuluh juzz Al-Qur'an abah menangis terharu. Hari itu abah tampak sangat bahagia.

Abah ialah orang tua yang tegas tapi lembut dalam berucap. Boleh dikata kami tak pernah membantah abah. Bukan kami tak berani atau abah tak suka. Melainkan karena memang tak ada yang perlu kami bantah.

Pernah di suatu hari abah berpesan.

"Kalau ada anak perempuan yang memikat hatimu, bagi tahu abah. Kita kunjungi orang tuanya buat melamar."

Kupikir, sesuailah. Maka, amanah abah kujalani dengan ringan. Ketika aku jatuh hati kepada seorang perempuan, kukabarkan kepada abah. Beberapa hari kemudian abah mengantarku untuk bertemu orang tua sang perempuan guna melamar puterinya untukku. Lamaranku disambut baik. Lantas, ke pelaminanlah kami. Sedemikian lancarnya. Begitulah. Untuk sebagian orang perjodohan terjadi dengan mudah dan hampir tiada rintangan. Sementara untuk sebagian lainnya, penuh liku dan drama.

Hampir dua pekan semenjak abah memanggilku. Rumah sudah berubah banyak. Lebih segar, harum, elok, sedap dipandang mata. Tak ada lagi pojok yang berdebu, sarang laba-laba, kotoran cicak, atau yang semacam itu. Pintu, jendela, dan perabotan rumah cerah berkilauan. Pekarangan semakin ramai dengan berbagai tanaman. Rumah ini telah siap menerima kedatangan tamu.

Tamu. Kata itu membuatku ngilu. Detik ke detik berlalu, hanya untuk mendekatkan kami kepada tibanya sang tamu. Kami semakin sering menemani abah. Ada kalanya kami membacakan kisah para nabi dan aulia. Kadang kala kami bercerita bermacam peristiwa di masa kecil. Sesekali emak, aku, atau adik-adikku hanya berdiam saja menemani abah. Menggenggam tangannya yang lemah atau mengusap punggung tangannya, anak rambutnya, atau sekadar memijit-mijit pelan kakinya. Sering kutatap lembut matanya dengan kasih. Aku merasa seperti sedang bercakap-cakap dengan abah dalam diam. Hanya melalui tatapan mata. Ya Allah. Betapa sungguh kusayangi lelaki tua ini.

 Petang itu, abah tampak berseri-seri. Kebetulan ini akhir pekan. Aku tak berangkat kerja. Adik-adik sudah pulang dari kuliah atau sekolah mereka. Abah tampak lebih sehat daripada hari-hari sebelumnya.

Abah berbicara panjang dengan suara yang sangat pelan. Ia sangat berbahagia rumah telah siap menerima kedatangan sang tamu. Terlebih lagi semua anggota keluarga lengkap untuk menyambut sang tamu istimewa yang akan tiba tak seberapa lama. Kurang dari sejam lagi.

Aku berbahagia melihat senyum abah. Damai sungguh wajahnya itu. Tapi tak urung, dadaku nyeri. Tamu yang sebentar lagi tiba itu, mengapa jadi begitu menakutkanku? Aku bisa merasakan emak juga menyimpan perasaan yang sama. Begitu pula istriku. Begitu pula adik-adikku.

Suara azan magrib terdengar dari surau dekat rumah. Senyum abah melebar. Ia berseru sangat lemah,

"Alhamdulillaah. Tamu telah datang. Marhaban ya Ramadhan!"

Sontak serempak kami mengucap Alhamdulillaah dalam kelegaan yang luar biasa. Kami sampai lupa bahwa Ramadhan, bulan yang paling dinanti, telah tiba.

Aku bahagia dan lega tiada terkira. Kukecup kening abah sebelum beranjak untuk berangkat ke surau melaksanakan sembahyang berjemaah. Shalat fardhu pertama di bulan Ramadhan tahun ini. Ya Allah, mudah-mudahan ini menjadi Ramadhan paling indah bagi keluarga kami.

Selepas maghrib aku bergegas pulang. Kulihat adik bungsuku masih bercakap-cakap dengan beberapa pengurus masjid. Mungkin membicarakan persiapan kegiatan masjid selama Ramadhan. Setiba di rumah kulihat emak, adik-adik perempuanku dan istriku sedang menyiapkan makan malam. Pada setiap memasuki Ramadhan ada tradisi makan malam yang lebih mewah daripada biasa. Biasanya kami akan mulai dengan makanan yang ringan sebelum isya. Kemudian selepas tarawih barulah kami makan dengan hidangan yang lengkap.

Aku langsung menuju ke kamar abah. Tampaknya abah belum selesai sembahyang. Tangannya bersedekap. Matanya terpejam. Wajahnya jernih, sedap dipandang.

Bermenit-menit aku menanti. Tak ada gerakan. Tangan abah tetap bersedekap. Matanya terpejam. Sampai aku menyadari...

"Abaaaah...!" suaraku perih dalam raungan yang tertahan. Kuingat betul pesan abah agar kepergiannya tidak diantarkan dengan raungan atau tangisan pilu.

"Tapi air mata boleh kan, abah?" bisik hatiku dalam isak yang sembilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun