Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tamu yang Dinanti-nanti Abah

22 April 2019   12:31 Diperbarui: 22 April 2019   12:47 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak hari itu bermulalah kesibukan kami di rumah abah dan emak. Satu per satu permintaan abah kami selesaikan. Lepas subuh, sebelum berangkat kerja, kusempatkan untuk mengerjakan bagianku, membersihkan pekarangan dan menanam pepohonan. Saban hari adik-adik dan juga istriku bergantian membaca Al-Qur'an di kamar tempat abah berbaring. Sementara aku, membaca ayat-ayat kitab suci itu di malam hari, sepulang kerja. Di akhir pekan, dari pagi hingga ke petang, kami beramai-ramai mengerjakan bagian yang lebih berat seperti membetulkan pintu, jendela, kursi, meja, dan perabotan lain serta mencat bagian rumah yang kusam. Baru kusadari, ternyata banyak benda-benda di rumah ini yang sudah buram dan tua.

Mendengarkan tawa dan gurau kami seraya bekerja, sering kujumpai, mata tua abah menitikkan air mata. Alangkah besarnya rasa syukur kami. Allah jauhkan kami dari anggota keluarga yang berkelakuan tak patut. Barangkali inilah anugerah Allah bagi abah dan emak karena telah bersetia hidup lurus. Menjadi polisi di negeri ini merupakan pekerjaan yang pelik. Hampir tiap hari ada saja godaan dan cabaran. Tak sedikit rekan sejawat abah yang terpeleset, terjerembab, dan berakhir dalam kehinaan. Segala puji bagiNya yang telah melindungi abah dari nasib yang demikian.

Aku ingat pesan abah untuk hidup lurus. Boleh banyak harta, asalkan berkah. Harta tiada boleh menjadi penjara. Jangan silau pada dunia. Jangan pernah tak peduli pada derita orang lain. Abah tak pernah tanya macam mana kemajuan pendidikan kami di sekolah. Tiap kami juara, abah hanya mengucap Alhamdulillaah dan berpesan untuk sujud syukur. Ketika aku lulus sebagai yang terbaik di kampusku, sikap abah sama saja. Mengucap alhamdulillaah dan menyuruhku sujud syukur. Tapi saat tahu adik bungsuku berhasil hapal sepuluh juzz Al-Qur'an abah menangis terharu. Hari itu abah tampak sangat bahagia.

Abah ialah orang tua yang tegas tapi lembut dalam berucap. Boleh dikata kami tak pernah membantah abah. Bukan kami tak berani atau abah tak suka. Melainkan karena memang tak ada yang perlu kami bantah.

Pernah di suatu hari abah berpesan.

"Kalau ada anak perempuan yang memikat hatimu, bagi tahu abah. Kita kunjungi orang tuanya buat melamar."

Kupikir, sesuailah. Maka, amanah abah kujalani dengan ringan. Ketika aku jatuh hati kepada seorang perempuan, kukabarkan kepada abah. Beberapa hari kemudian abah mengantarku untuk bertemu orang tua sang perempuan guna melamar puterinya untukku. Lamaranku disambut baik. Lantas, ke pelaminanlah kami. Sedemikian lancarnya. Begitulah. Untuk sebagian orang perjodohan terjadi dengan mudah dan hampir tiada rintangan. Sementara untuk sebagian lainnya, penuh liku dan drama.

Hampir dua pekan semenjak abah memanggilku. Rumah sudah berubah banyak. Lebih segar, harum, elok, sedap dipandang mata. Tak ada lagi pojok yang berdebu, sarang laba-laba, kotoran cicak, atau yang semacam itu. Pintu, jendela, dan perabotan rumah cerah berkilauan. Pekarangan semakin ramai dengan berbagai tanaman. Rumah ini telah siap menerima kedatangan tamu.

Tamu. Kata itu membuatku ngilu. Detik ke detik berlalu, hanya untuk mendekatkan kami kepada tibanya sang tamu. Kami semakin sering menemani abah. Ada kalanya kami membacakan kisah para nabi dan aulia. Kadang kala kami bercerita bermacam peristiwa di masa kecil. Sesekali emak, aku, atau adik-adikku hanya berdiam saja menemani abah. Menggenggam tangannya yang lemah atau mengusap punggung tangannya, anak rambutnya, atau sekadar memijit-mijit pelan kakinya. Sering kutatap lembut matanya dengan kasih. Aku merasa seperti sedang bercakap-cakap dengan abah dalam diam. Hanya melalui tatapan mata. Ya Allah. Betapa sungguh kusayangi lelaki tua ini.

 Petang itu, abah tampak berseri-seri. Kebetulan ini akhir pekan. Aku tak berangkat kerja. Adik-adik sudah pulang dari kuliah atau sekolah mereka. Abah tampak lebih sehat daripada hari-hari sebelumnya.

Abah berbicara panjang dengan suara yang sangat pelan. Ia sangat berbahagia rumah telah siap menerima kedatangan sang tamu. Terlebih lagi semua anggota keluarga lengkap untuk menyambut sang tamu istimewa yang akan tiba tak seberapa lama. Kurang dari sejam lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun