Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tamu yang Dinanti-nanti Abah

22 April 2019   12:31 Diperbarui: 22 April 2019   12:47 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berbahagia melihat senyum abah. Damai sungguh wajahnya itu. Tapi tak urung, dadaku nyeri. Tamu yang sebentar lagi tiba itu, mengapa jadi begitu menakutkanku? Aku bisa merasakan emak juga menyimpan perasaan yang sama. Begitu pula istriku. Begitu pula adik-adikku.

Suara azan magrib terdengar dari surau dekat rumah. Senyum abah melebar. Ia berseru sangat lemah,

"Alhamdulillaah. Tamu telah datang. Marhaban ya Ramadhan!"

Sontak serempak kami mengucap Alhamdulillaah dalam kelegaan yang luar biasa. Kami sampai lupa bahwa Ramadhan, bulan yang paling dinanti, telah tiba.

Aku bahagia dan lega tiada terkira. Kukecup kening abah sebelum beranjak untuk berangkat ke surau melaksanakan sembahyang berjemaah. Shalat fardhu pertama di bulan Ramadhan tahun ini. Ya Allah, mudah-mudahan ini menjadi Ramadhan paling indah bagi keluarga kami.

Selepas maghrib aku bergegas pulang. Kulihat adik bungsuku masih bercakap-cakap dengan beberapa pengurus masjid. Mungkin membicarakan persiapan kegiatan masjid selama Ramadhan. Setiba di rumah kulihat emak, adik-adik perempuanku dan istriku sedang menyiapkan makan malam. Pada setiap memasuki Ramadhan ada tradisi makan malam yang lebih mewah daripada biasa. Biasanya kami akan mulai dengan makanan yang ringan sebelum isya. Kemudian selepas tarawih barulah kami makan dengan hidangan yang lengkap.

Aku langsung menuju ke kamar abah. Tampaknya abah belum selesai sembahyang. Tangannya bersedekap. Matanya terpejam. Wajahnya jernih, sedap dipandang.

Bermenit-menit aku menanti. Tak ada gerakan. Tangan abah tetap bersedekap. Matanya terpejam. Sampai aku menyadari...

"Abaaaah...!" suaraku perih dalam raungan yang tertahan. Kuingat betul pesan abah agar kepergiannya tidak diantarkan dengan raungan atau tangisan pilu.

"Tapi air mata boleh kan, abah?" bisik hatiku dalam isak yang sembilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun