Sudah lebih dari tiga pekan Aini selalu membangunkan Hanafi pada sekitar tengah malam. "Bang, Aini mendengar suara-suara di pekarangan belakang. Seperti suara gerit daun pintu dan langkah kaki. Tolonglah kau tengok ya Bang".
Mendengar aduan istrinya, sontak ia melompat dari ranjang dan bergegas menuju pekarangan belakang. Pekarangan itu kecil saja. Hanya sekitar satu setengah kali tiga meter persegi. Beberapa jenis krokot, sayuran, dan bunga tumbuh indah di sana.Â
Pada sisi pekarangan yang berbatasan dengan tanah kosong terpasang tembok setinggi sepuluh meter. Terdapat sebuah pintu aluminium pada tembok itu. Dari sanakah suara gerit berasal?
Hanafi tak menemukan satupun yang mencurigakan. Tak ada jejak kaki. Tak ada tanda-tanda pintu terbuka. Meski begitu, ia terus berjalan mendekati. Diperiksanya dengan lebih teliti. Â Pintu rapat tertutup. Â Gembok utuh di tempatnya. Tak sedikitpun bergoyang.Â
Matanya menyapu setiap bagian pekarangan, melihat kalau-kalau ada bekas tikus atau hewan lain melintas. Tak ada apa-apa. Diam dan senyap. Daunpun tak bergerak.
Ia kembali ke kamar. Sang istri telah tertidur. Suara-suara itu sepertinya tak didengarnya lagi. Dalam keadaan pulas begitu, selalu ada seulas senyum menyungging di bibirnya. Senyum yang menggetarkannya pada lebih dari 20 tahun lalu.
Ditatapnya wajah Aini dengan kasih dan iba. Telah lewat dari tiga purnama istrinya itu lebih banyak menjalani hari di tempat tidur. Kanker payudara stadium empat yang terlambat diketahui telah membuatnya terkapar. Semangat hidupnya benar tak henti berkobar, tetapi tubuhnya terus melemah.
Pada malam-malam berikutnya Aini selalu membangunkan Hanafi. Suara gerit dan langkah kaki terus membuatnya terjaga, ketakutan, merasa tak aman. Ia bukanlah perempuan manja. Boleh dikata sebelum ini tak pernah ia membangunkan suaminya untuk dilayani ini itu atau sekadar mengadukan sakit yang dirasanya.Â
Sakit yang bagi kebanyakan orang boleh jadi tiada terperi itu selalu sanggup ia tahankan. Ia bahkan menolak keras ketika Hanafi memutuskan hendak cuti kerja supaya bisa merawat dan menjaganya dari pagi ke malam. Tak perlu. Tak tak ada yang terlalu perlu dijaga. Apa lagi, ada mak Ijah yang bisa mengawani dan melayani keperluannya di pagi hingga ke petang.
Akan tetapi, suara gerit dan langkah kaki itu sungguh terlalu. Kian hari, kian menyeramkan. Ia harus membangunkan Hanafi. Begitulah. Hanafi selalu bangkit dari tidurnya, lalu memeriksa pintu pekarangan belakang dan tak menemukan apa-apa. Ada masa ia kesal, juga letih.Â
Terlebih, ia tak mudah tidur kembali sehabis terjaga. Sementara itu, anehnya, Aini selalu sudah terlelap sekembalinya ia dari memeriksa sumber suara. Seperti tak ada apa-apa.
Tidaklah mengapa jika ia dibangunkan oleh sang istri misalkan untuk diambilkan air minum, dituntun ke kamar mandi, atau bahkan sekadar minta diusap rambut atau dikecup kening. Akan dengan sangat senang hati ia laksanakan.Â
Biarlah ia terkantuk-kantuk di kantor karena kurang tidur. Tapi, ini untuk memeriksa suara-suara yang sama dan selalu terbukti tak pernah ada!
Sekali dua ia merasa dipermainkan. Cepat-cepat digilasnya perasaan itu, sebab tak mungkin. Bukanlah tabiat Aini merepotkan orang, apatah lagi mempermainkan. Ia adalah perempuan yang punya banyak alasan untuk dicintai. Parasnya, tatapannya, senyumnya, tutur katanya, candanya, sikapnya.Â
Beruntung nian lelaki yang berjodoh dengannya. Â Maka bodoh nian Hanafi jika mengotori nasib untungnya itu dengan tak mempercayai Aini, sekalipun suara gerit pintu dan langkah kaki itu tak pernah ditemukan sumbernya.
Atau sakitnyakah itu yang membuat Aini berhalusinasi sehingga seperti mendengar suara-suara? Hanafi merasa bersalah. Pintu itu sudah lama diusulkan Aini agar ditembok saja. Ia merasa tak nyaman dan aman ada pintu yang menghubungkan rumah mereka dengan lahan kosong di belakang kompleks pemukiman.Â
Hanafi menolak. Lahan kosong itu sumber inspirasinya. Sering ia mendapatkan ilham di sana, baik untuk pekerjaan maupun untuk tulisan-tulisannya. Â Baginya tak cukup alasan untuk merasa tak nyaman. Lahan yang kabarnya milik seorang purnawirawan itu tidaklah liar. Secara berkala ada orang yang membersihkan, sehingga ilalang tak sempat meninggi.Â
Beberapa pokok besar tumbuh di sana menghadirkan oksigen dan kesejukan. Selain itu, ada pula beberapa tanaman hutan penghasil buah yang dulu dijumpainya di masa kecil.
Tak jarang ia mengajak Aini berjalan-jalan di lahan kosong itu, duduk berdua di salah satu pokok besar, menikmati pagi yang menghangat atau sore yang meredup, bercakap-cakap tentang apa saja.Â
Tapi sejak divonis kanker, jika sedang merasa kuat, Aini lebih suka melewatkan waktu untuk merawat tanaman baik di pekarangan belakang maupun depan. Ia tahu, Hanafi tak cukup sabar merawat tanaman-tanaman itu.
"Apa kutembok saja pintu itu?", pikir Hanafi. Suatu hari dipanggilnya tukang untuk membongkar pintu di pekarangan belakang, lalu menemboknya. Â Aini tak berkata-kata. Senyum saja. Bukan senyum tanda setuju, melainkan tanda kerelaan.Â
Begitulah Aini. Ia selalu bilang "apa yang baik menurut abang", pada setiap keputusan yang diambil Hanafi. Satu-satunya saat ia bersikeras adalah ketika menolak rencana Hanafi cuti kerja untuk merawatnya.
Ada rasa lega campur kehilangan atas hilangnya pintu itu. Akan tetapi, tak disangka-sangka suara gerit dan langkah kaki pada setiap tengah malam itu terus mendera istrinya. Datang dari tempat yang sama, bekas pintu itu.Â
Maka, Ainipun masih terus membangunkan Hanafi. "Tolong tengok ya, Bang. Aini sangat terganggu". Hanafipun bangkit, menuju pekarangan belakang dan memandang lekat-lekat ke arah bekas pintu. Menunggu beberapa waktu. Tak ada apa-apa.
Pada satu tengah malam, kembali Aini membangunkan Hanafi. Tapi kali ini suara Hanafi melengking tinggi, "Jangan kau mengarang-ngarang. Pintu itu sudah tak ada lagi!" Itulah suara paling kejam yang pernah ia alamatkan kepada Aini. Aini tersentak. Tubuhnya menggigil. Rasa takutnya berlipat. Takut kepada suara-suara itu. Takut kepada suaminya.
"Aini tak bohong Bang," suaranya bergetar dan pilu. "Aaaaagh. penat aku," sentak Hanafi.
Aini terisak. Takut. Terguncang. Sedih. Terluka. Tak pernah Hanafi marah kepadanya. Kalau kesal sedikit, biasalah. Lelakinya itu tak marah kalau pintu terlambat dibuka. Tak pula marah jika masakan kelebihan garam.Â
Tak pun marah manakala setrikaan baju kurang rapi. Bahkan tak sedikitpun terlihat garis tanda marah di wajahnya ketika berbelas tahun lalu dokter mengatakan bahwa Rahim Aini tak subur dan kecil kemungkinan untuk mengandung.Â
Padahal, rindu betul Hanafi akan kehadiran seorang anak di rumah tangga mereka. "Kalau bayi kita perempuan, kita beri dia nama Kenanga," ujarnya suatu kali dengan mata berbinar.
Manakala Aini terpukul dengan kenyataan pahit itu, Hanafi mendekapnya, menghibur, menyemangati, mengingatkannya untuk terus bersabar dan berdoa. Manakala Aini tertegun dan sempat linglung dihantam vonis kanker, Hanafi erat memeluknya.Â
Pelukan tanpa kata-kata. Hangat. Menentramkan. Malam ini ia rindu pelukan itu. Tapi lelakinya itu mendiamkan dan memunggunginya, sampai subuh tiba.
Azhar memperhatikan sahabatnya dengan seksama. Raut wajah Hanafi tampak letih dan tua. "Kau kenapa?" tanyanya pelan. Hanafi menggeleng. "Ayolah...", Azhar sedikit mendesak. Hening. Azhar tahu, cukuplah desakan itu. Kenal betul ia akan tabiat karibnya. Beri dia sedikit waktu, dan benar saja...
"Entahlah, Har", Hanafi buka suara. "Penat aku. Penat sangat". Diceritakannyalah keadaan Aini belakangan ini, tentang suara-suara yang didengarnya, suara-suara yang tak pernah ada.Â
Diceritakannya betapa ia telah bersabar sekian lama, tapi akhirnya runtuh juga. Ia yang begitu percaya bahwa sabar itu tiada batas, akhirnya bertemu dengan batas sabar itu.
Dikisahkannya kejadian tadi malam saat ia menengking Aini, lalu istrinya itu terisak sampai azan subuh terdengar. Sementara ia bergeming, terus memunggunginya. Berpura-pura tak peduli.
"Pedih seluruh dadaku mendengar isaknya. Engkau tahu, sayang betul aku kepadanya. Menyesal aku bikin dia terluka. Tapi tak pun bisa kusangkal, aku penat. Ada terlintas di pikiran untuk menyudahi ini semua. Untuk meninggalkannya. Tapi...."
Azhar memandang Hanafi penuh iba. Sahabatnya ini sudah macam saudara kandungnya. Sedari kecil mereka main bersama, duduk sebangku semasa SD hingga SMP. Saat SMA mereka berpisah.Â
Azhar ke Pekanbaru, Hanafi ke Jogja. Nasib mempertemukan mereka kembali di kampus yang sama di Jogja, walau beda fakultas. Nasib jua yang mempertemukan mereka di tempat kerja yang sama.
Aini adalah adik kelasnya. Ia yang memperkenalkan gadis Minang tapi besar di Inderagiri itu kepada Hanafi. Dia tahu Hanafi telah jatuh hati saat pertama melihat Aini. Pun sebaliknya. Ia menjadi saksi, bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada.
Merekalah pasangan paling serasi yang pernah dikenalnya. Kalau hendak dicarikan contoh bagi kesetiaan, merekalah contohnya. Apabila hendak dikisahkan cinta yang sederhana dan mulia, merekalah kisah itu.Â
Jikalau sampai mereka berpisah jalan, bisa jadi orang akan hilang kepercayaan kepada cinta sejati. Runtuh dunia bila itu sampai terjadi. Azhar tersenyum kecil di dalam hati. Tak apalah sedikit melebih-lebihkan, pikirnya.
Masih dipandangnya Hanafi dengan rasa sesak di dada. Sosoknya layu dan rapuh. Bisa ia rasakan napas yang menahan tangis. Bisa ia rasakan beban berat yang ditanggung raga yang semakin ringkih itu.Â
Sungguh Azhar merasa kehilangan semua kata. Ia tak tahu mesti mulai dari mana. Ia tak tahu bagaimana cara terbaik untuk mengingatkan, bahwa Aini telah berpulang sejak sebulan silam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H