Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara-suara pada Tengah Malam dari Pekarangan Belakang

13 Januari 2019   11:17 Diperbarui: 13 Januari 2019   11:20 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Diceritakannya betapa ia telah bersabar sekian lama, tapi akhirnya runtuh juga. Ia yang begitu percaya bahwa sabar itu tiada batas, akhirnya bertemu dengan batas sabar itu.

Dikisahkannya kejadian tadi malam saat ia menengking Aini, lalu istrinya itu terisak sampai azan subuh terdengar. Sementara ia bergeming, terus memunggunginya. Berpura-pura tak peduli.

"Pedih seluruh dadaku mendengar isaknya. Engkau tahu, sayang betul aku kepadanya. Menyesal aku bikin dia terluka. Tapi tak pun bisa kusangkal, aku penat. Ada terlintas di pikiran untuk menyudahi ini semua. Untuk meninggalkannya. Tapi...."

Azhar memandang Hanafi penuh iba. Sahabatnya ini sudah macam saudara kandungnya. Sedari kecil mereka main bersama, duduk sebangku semasa SD hingga SMP. Saat SMA mereka berpisah. 

Azhar ke Pekanbaru, Hanafi ke Jogja. Nasib mempertemukan mereka kembali di kampus yang sama di Jogja, walau beda fakultas. Nasib jua yang mempertemukan mereka di tempat kerja yang sama.

Aini adalah adik kelasnya. Ia yang memperkenalkan gadis Minang tapi besar di Inderagiri itu kepada Hanafi. Dia tahu Hanafi telah jatuh hati saat pertama melihat Aini. Pun sebaliknya. Ia menjadi saksi, bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada.

Merekalah pasangan paling serasi yang pernah dikenalnya. Kalau hendak dicarikan contoh bagi kesetiaan, merekalah contohnya. Apabila hendak dikisahkan cinta yang sederhana dan mulia, merekalah kisah itu. 

Jikalau sampai mereka berpisah jalan, bisa jadi orang akan hilang kepercayaan kepada cinta sejati. Runtuh dunia bila itu sampai terjadi. Azhar tersenyum kecil di dalam hati. Tak apalah sedikit melebih-lebihkan, pikirnya.

Masih dipandangnya Hanafi dengan rasa sesak di dada. Sosoknya layu dan rapuh. Bisa ia rasakan napas yang menahan tangis. Bisa ia rasakan beban berat yang ditanggung raga yang semakin ringkih itu. 

Sungguh Azhar merasa kehilangan semua kata. Ia tak tahu mesti mulai dari mana. Ia tak tahu bagaimana cara terbaik untuk mengingatkan, bahwa Aini telah berpulang sejak sebulan silam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun