Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara-suara pada Tengah Malam dari Pekarangan Belakang

13 Januari 2019   11:17 Diperbarui: 13 Januari 2019   11:20 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada rasa lega campur kehilangan atas hilangnya pintu itu. Akan tetapi, tak disangka-sangka suara gerit dan langkah kaki pada setiap tengah malam itu terus mendera istrinya. Datang dari tempat yang sama, bekas pintu itu. 

Maka, Ainipun masih terus membangunkan Hanafi. "Tolong tengok ya, Bang. Aini sangat terganggu". Hanafipun bangkit, menuju pekarangan belakang dan memandang lekat-lekat ke arah bekas pintu. Menunggu beberapa waktu. Tak ada apa-apa.

Pada satu tengah malam, kembali Aini membangunkan Hanafi. Tapi kali ini suara Hanafi melengking tinggi, "Jangan kau mengarang-ngarang. Pintu itu sudah tak ada lagi!" Itulah suara paling kejam yang pernah ia alamatkan kepada Aini. Aini tersentak. Tubuhnya menggigil. Rasa takutnya berlipat. Takut kepada suara-suara itu. Takut kepada suaminya.

"Aini tak bohong Bang," suaranya bergetar dan pilu. "Aaaaagh. penat aku," sentak Hanafi.

Aini terisak. Takut. Terguncang. Sedih. Terluka. Tak pernah Hanafi marah kepadanya. Kalau kesal sedikit, biasalah. Lelakinya itu tak marah kalau pintu terlambat dibuka. Tak pula marah jika masakan kelebihan garam. 

Tak pun marah manakala setrikaan baju kurang rapi. Bahkan tak sedikitpun terlihat garis tanda marah di wajahnya ketika berbelas tahun lalu dokter mengatakan bahwa Rahim Aini tak subur dan kecil kemungkinan untuk mengandung. 

Padahal, rindu betul Hanafi akan kehadiran seorang anak di rumah tangga mereka. "Kalau bayi kita perempuan, kita beri dia nama Kenanga," ujarnya suatu kali dengan mata berbinar.

Manakala Aini terpukul dengan kenyataan pahit itu, Hanafi mendekapnya, menghibur, menyemangati, mengingatkannya untuk terus bersabar dan berdoa. Manakala Aini tertegun dan sempat linglung dihantam vonis kanker, Hanafi erat memeluknya. 

Pelukan tanpa kata-kata. Hangat. Menentramkan. Malam ini ia rindu pelukan itu. Tapi lelakinya itu mendiamkan dan memunggunginya, sampai subuh tiba.

Azhar memperhatikan sahabatnya dengan seksama. Raut wajah Hanafi tampak letih dan tua. "Kau kenapa?" tanyanya pelan. Hanafi menggeleng. "Ayolah...", Azhar sedikit mendesak. Hening. Azhar tahu, cukuplah desakan itu. Kenal betul ia akan tabiat karibnya. Beri dia sedikit waktu, dan benar saja...

"Entahlah, Har", Hanafi buka suara. "Penat aku. Penat sangat". Diceritakannyalah keadaan Aini belakangan ini, tentang suara-suara yang didengarnya, suara-suara yang tak pernah ada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun