Ketika banyak sekali buzzer-buzzer berseliweran di media sosial, saya cukup bingung dengan siapa yang nantinya saya pilih. Melihat banyaknya banner politik di jalan, konten media sosial penuh dengan hasil debat, meme bahkan potongan podcast orang-orang berdebat masalah pilihannya, membuat kecapekan saya terhadap politik memuncak. Selain karena tidak ada yang menurut saya dari ketiganya meyakinkan saya, juga dibingungkan dengan kombinasi-kombinasi aneh dari pihak-pihak yang mencalonkan. Jangankan calon Presiden dan Wakil Presiden, bahkan sekelas legislatif saja saya juga tidak tahu mau mendukung siapa atau partai siapa.
Sebenarnya, semangat politik saya ada sejak 2014 silam, dimana semangat berpolitik saya yang waktu itu baru memasuki awal usia 20-an masih semangat-semangatnya untuk ikut serta dalam pesta demokrasi. Bahkan saya siap dan tahu siapa pilihan saya, namun kemudian ketika pilihan saya gagal menang, saya justru ya... kecewa. Namun siapa sangka, pilihan saya toh akhirnya juga menjabat di Pemerintahan beberapa saat kemudian. Akhirnya muncul pertanyaan di kepala saya, apakah cukup worth it untuk memilih dan menggunakan hak suara saya mendatang? Apalagi mendukung dengan penuh semangat seperti sedia kala?
Sekarang saya sudah di ujung umur 20 tahun dengan kelelahan yang sudah menjadi-jadi karena janji yang tak kunjung ditepati, harga sembako dan bahan bakar yang tinggi, serta pemasukan yang sering kali tidak seimbang dengan pengeluaran yang terjadi.
Lalu, isenglah saya berceletuk diantara teman-teman saya entah ketika sedang mengopi bersama, atau memecah suasana ketika ada pertanyaan mengenai pesta politik tahun ini.
"Saya kayaknya golput aja deh, bingung!" ujar saya kadang berbeda nada. Beberapa teman ada yang mengangguk, beberapa menggelengkan kepala, bahkan ada yang bilang "Jangan, nanti suaramu dipakai orang jahat!"
Seringkali saya memandang remeh ungkapan 'dipakai orang jahat' tersebut. Orang jahat? Memakai suara saya? Jika kita bedah, jahat adalah kata yang cukup kuat. Maksud saya, pun ketika saya menggunakan suara saya kepada orang yang salah, bukankah dia juga orang yang jahat menggunakan suara saya (orang yang baik ini)?
Lalu tak lama beberapa teman ada yang menghubungi saya. Ada yang mengajak untuk menjadi anggota relawan salah satu DPRD di kota saya. Ada juga yang mengajak saya mempromosikan dia karena katanya masih ada ikatan 'saudara'---sudah seperti bagaimana seorang pebisnis MLM bertemu teman lama. Pilihan saya? Tetap sama, tidak menanggapi keduanya. Bahkan, ketidak ikut sertaan saya sendiri pada gelora kampanye partai-parta politik ini dinodai dengan bagaimana ibu saya sebagai ketua ranting salah satu partai di kota saya---sebuah partai kecil yang saya sendiri melihatnya tidak mungkin bisa menembus nasional, menggunakan KTP saya tanpa izin untuk didaftarkan sebagai salah satu simpatisan partai tersebut. Kalau saja saya bisa mengirim video kajian ke ibu saya mengenai orang tua yang durhaka...
Saya merindukan bagaimana Luber Jurdil (singkatan dari Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil) yang dari dulu di SD hingga SMA selalu dicetak tebal di kepala kami. Istilah yang merujuk pada prinsip-prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam proses pemilihan umum (pemilu) di negara Indonesia ini sudah seperti tidak diindahkan kembali. Padahal, istilah tersebut merupakan bagaimana seharusnya kami---golputers, menentukan pilihan, apalagi dengan salah satu kata yakni 'Rahasia', yang kini saya sangat mensucikan kata tersebut karena yang tahu siapa yang akan saya pilih itu hanya saya dan Tuhan semata. Namun karena pengumpulan KTP ini, seolah-olah saya sekarang terdaftar secara terang-terangan sebagai pendukung partai yang tidak saya kehendaki.
Memang menyebalkan di periode politik seperti ini, di halaman Twitter---atau X sekarang, sering dijumpai anak dimusuhi orang tua kandungnya hanya karena tidak senada pilihan mereka, ada yang sampai dibully di kolom komentar, dicaci maki dan lain-lain. Melihat semua itulah yang menggugah lelah saya berkecimpung hingga akhirnya saya tidak mengikuti apapun dari paslon-paslon maupun kampanye partai yang ada.
Karena lelah tersebut dan supaya saya tidak diganggu lagi dengan hasutan politik, maka jika ada pertanyaan tersebut saya selalu menjawab:
"Saya pilih 1, 2 dan 3 deh, soalnya saya sayang semuanya!" ujar saya kadang berbeda nada dan bahasa. Beberapa teman ada yang mengangguk saja, beberapa menggelengkan kepala, ada bahkan ada yang bilang "Jangan, nanti kalo kamu golput kayak gitu kamu dipenjara! Pilih aja nomor sekian! Bla-bla-bla..."
Dipenjara? Benarkah golput bisa dipenjara? Sebetulnya, banyak orang yang simpang siur mengenai hal ini. Seperti yang dikutip dari Rayandra (2023) mengatakan bahwa:
"...di Indonesia, orang yang tidak memberikan suara dalam pemilu atau golput tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Karena, hak untuk memilih atau tidak memilih dianggap sebagai hak konstitusional yang dilindungi oleh negara. Pemilih di Indonesia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pendapat mereka melalui golput tanpa dikenakan sanksi hukum. Hal ini juga diperkuat dengan Pasal 23 ayat (1) UU HAM yang menjamin kebebasan seseorang untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Akan tetapi, yang dapat dipidana adalah orang yang mempengaruhi atau mengajak orang lain supaya tidak menggunakan hak pilihnya (golput), atau supaya memilih peserta pemilu tertentu."
Dari sini saja, saya melihat bagaimana para orang-orang yang golput sering ditakut-takuti dengan hukum hanya untuk memberikan hak suaranya pada si pengancam yang padahal ancamannya tidak berdasar. Saya sendiri saja golput sampai saat ini, karena memang di hari pemilihan saya pasti akan memilih. Namun penarikan KTP, harus menyebar poster dan lain-lain adalah bentuk mengganggu sekali bagi saya---orang yang berangkat bukan dari simpatisan merupakan hal yang sangat mengganggu kejernihan dalam pengambilan keputusan saya dan orang-orang dengan kewarasan tidak memberikan data pribadi mereka sebagai bentuk partisipasi politik.
Bagi orang yang berkampanye dan partai politik, orang-orang yang masih saat ini belum menentukan pilihannya (atau golput temporer) seperti saya dan mungkin anda yang membaca ini adalah target-target dalam menaikkan angka voting mereka. Seperti marketing, saya hanyalah customer yang harus mampu mereka close dalam hari itu juga demi mengejar target. Bahkan dengan berbagai cara seperti memainkan empati, pengaruh harta, menghasut mengenai paslon dan partai lain, serta menyerang personal dari paslon tersebut hingga cara paling haram seperti bagaimana teman saya mengancam dengan hukum dan ancaman yang bahkan tidak berlandas ataupun ancaman kekerasan emosional dan fisik.
Kampanye sendiri juga merupakan bentuk kelebihan informasi. Dimana dijelaskan oleh Arnold, Goldschmitt, dan Rigotti (2023) yakni terjadi ketika seseorang kewalahan dengan jumlah data yang disajikan untuk diperhatikan atau diproses. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas untuk berfungsi secara efektif, pengambilan keputusan yang buruk, dan bahkan kelelahan. Selain itu juga dapat menyebabkan kelelahan otak, membatasi fokus, dan menghambat pengambilan keputusan, yang pada akhirnya memengaruhi kinerja dan kesejahteraan. Tentu saja, informasi masif yang melelahkan tersebut membuat kita pasrah dan memilih karena entah hasutan orang-orang terdekat seperti keluarga, teman dekat, pacar bahkan hingga orang yang tidak kenal datang hanya ingin kalian memilih pilihannya seolah-olah kita ini terlalu tolol dan bodoh dalam memilih di TPS nanti. Apalagi dibumbui ketakutan dan ancaman tidak jadi saudara, teman, atau pacar dan dikucilkan, seram!
Kami, orang-orang yang golput temporer, bisa jadi karena semakin kalian paksa dengan informasi masif kalian, para orang-orang yang berkecimpung di politik, malah tidak mau memilih. Contoh saja ayah saya ketika 2019 lalu, beliau tidak menyatakan dukungannya bahkan tidak hadir ke TPU karena banyaknya teman yang ke rumah hanya untuk menyantuni dia bak dia seperti orang berkebutuhan khusus. Justru itu malah menyayat kami seolah-olah kami butuh kalian, padahal sebaliknya!
Seperti dari kami ada yang golput benar-benar skeptis, sama halnya dalam film Warm Bodies (2013), dimana terdapat dua tipe zombie yakni zombie yang masih memiliki hati nurani dan semangat untuk sembuh kembali, dan zombie yang sudah lelah menyerah hingga akhirnya menjadi zombie 'feral' yang sudah tidak peduli dengan kesembuhan mereka dan menjadi liar. Bisa jadi, peserta pemilu dengan atribut zombie 'feral' yang skeptis ini adalah orang-orang yang kalian hantam dengan informasi masif, atau seorang ekstrimis pendukung partai, atau bahkan salah satu orang yang kalian sakiti dengan keingkaran kalian. Hingga detik ini para golput yang seringkali diancam dikriminalisasi juga buah hasil dari para orang-orang berkampanye tanpa henti dengan janji palsu dan patutnya harus lebih dihukum juga! Karena bagaimana kalian memanfaatkan suara kami (orang baik) demi kepentingan pribadi kalian (orang jahat).
Lantas, kini kalian berteriak orang golput seolah orang yang tidak punya integritas, tidak ada arah, bahkan membawa kerusakan di Nusantara ini karena tidak berpartisipasi. Maka, dengan cara ancaman dan makian seperti itukah kalian akan mengajak kami memilih kalian? Sayang, tidak ada hukum untuk menghukum orang-orang yang bohong dengan janjinya ketika dipilih. Yang ada kita dibiarkan terluka melihat semua terjadi dan tidak bisa melawan.
Kami datang, kami lihat, dan kami lelah. Begitulah setidaknya bagaimana mereka yang benar-benar abstain pada pemilu sebelumnya melihat kalian (para orang-orang yang berkecimpung di dunia politik). Perlu diketahui, Abstain adalah hak dalam memilih yang memungkinkan individu untuk menahan suaranya tanpa dikenakan sanksi. Abstain tidak sama dengan tidak memilih, karena abstain merupakan keputusan sadar untuk tidak memilih atau menentang suatu mosi atau kandidat. Abstain dapat digunakan untuk menyatakan ketidakpedulian, ketidakpuasan terhadap pilihan yang tersedia, atau kurangnya informasi atau pemahaman mengenai permasalahan yang ada. Maka, jika ada abstain karena 'kelebihan informasi' yang terjadi, kita butuh menambahkan istilah baru---atau memperbaharui istilah lama lagi di kamus demokrasi. Kami pun, para golput (temporer) juga berhak untuk menentukan kapan kami akan menentukan dan siapa yang akan kami pilih, entah itu dalam 1 hari sebelum bahkan hingga 1 detik sebelum kami memilih di bilik suara kami.
Kembali lagi pada saya, karena saya sayang dengan semua paslon, akhirnya saya sekarang tidak mau mendengar mereka dari orang lain. Saya membatasi diri, membaca informasi mengenai program, menimang mana yang tepat dan menjauhkan diri dari kampanye-kampanye, membuat list mute word (kata yang dibisukan) dalam media sosial saya, serta menjauhi debat hingga omongan politik.
Namun dalam hal ini, saya tidak mengajak anda untuk golput, melainkan mencoba berpikir jernih. Kita punya waktu, dan kita tidak tergesa-gesa. Saya rasa, keputusan saya kemarin tidak menonton debat kedua hingga terakhir kemarin mengurangi kelelahan dan kesalahan saya dalam informasi politik yang saya dapat. Maka, jika informasi yang segitu cukup bagi saya, mungkin anda bisa mencoba mengurangi informasi-informasi dari kampanye yang tidak perlu seperti ujaran kebencian, sentimen negatif, hingga debat-debat yang tidak perlu. Sehingga, saya mengajak anda semua---si golput temporer ini, untuk tidak bingung dengan tekanan dari sekitar dan cukup kita pilih sesuai hati nurani nantinya di hari pemilu yang akan datang.
Kita sudah dewasa, pilihan kita juga tidak terletak karena menariknya desain grafis, videografi, atau alat-alat marketing murahan lainnya seperti artis, musisi maupun influencer. Kewarasan kita sebagai seorang golput---hingga detik ini, adalah bukti bagaimana kita yang belum menentukan pilihan karena tidak terpengaruh paparan kampanye merupakan sikap dewasa dalam berhati-hati untuk hak suara kita. Namun, hal yang perlu diingat hanyalah: jangan memilih karena dikucilkan, diancam, ditakut-takuti atau bahkan dikasihani! Ingat! Kita golput sekarang karena kita memang bukan orang yang tergesa-gesa, masih ada waktu untuk mengubah warna di tanggal 14 Februari nanti!
Dengan hari suci---yakni masa tenang di 11-13 Februari 2024 mendatang ini, merupakan masa-masa dimana saya mungkin bisa jernih dalam menentukan pilihan saya, semoga saja saya juga bisa menemukan jawabannya selambat-lambatnya sebelum H-1 saya ke TPU nanti. Hal ini semata-mata karena saya sayang paslon 1, 2 dan 3 sebagai manusia dan ingin memanusiakan mereka (dengan tidak menjadi 'feral'). Â Juga, dalam hemat sayaa pasti akan memilih orang-orang yang memiliki pemikiran yang akan saya lakukan ketika saya jadi pemimpin juga nanti (celakanya, ketiganya memiliki apa yang saya setuju juga, sehingga butuh waktu lama bagi saya untuk menentukan pilihan). Saya juga mendo'akan anda agar segera mendapat jawaban, sekalian semoga pilihan mantap dari keyakinan dan kebijaksanaan anda sendiri nantinya tidak mudah terpengaruh dengan serangan fajar dan hal-hal lain.
Ya, beginilah susahnya jadi warga negara Konoha, lima tahun sekali tapi bikin pusing lima tahun kedepannya lagi.
Referensi:
Arnold, M., Goldschmitt, M., & Rigotti, T. (2023). Dealing with information overload: a comprehensive review. Frontiers in psychology, 14, 1122200. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2023.1122200
Rayandra, Regio Alfa. (2023). Bisakah Dipidana Jika Golput dalam Pemilu?. Diakses melalui: https://www.hukumonline.com/klinik/a/bisakah-dipidana-jika-golput-dalam-pemilu-lt5bce93cd1dceb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H