"Saya pilih 1, 2 dan 3 deh, soalnya saya sayang semuanya!" ujar saya kadang berbeda nada dan bahasa. Beberapa teman ada yang mengangguk saja, beberapa menggelengkan kepala, ada bahkan ada yang bilang "Jangan, nanti kalo kamu golput kayak gitu kamu dipenjara! Pilih aja nomor sekian! Bla-bla-bla..."
Dipenjara? Benarkah golput bisa dipenjara? Sebetulnya, banyak orang yang simpang siur mengenai hal ini. Seperti yang dikutip dari Rayandra (2023) mengatakan bahwa:
"...di Indonesia, orang yang tidak memberikan suara dalam pemilu atau golput tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Karena, hak untuk memilih atau tidak memilih dianggap sebagai hak konstitusional yang dilindungi oleh negara. Pemilih di Indonesia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pendapat mereka melalui golput tanpa dikenakan sanksi hukum. Hal ini juga diperkuat dengan Pasal 23 ayat (1) UU HAM yang menjamin kebebasan seseorang untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Akan tetapi, yang dapat dipidana adalah orang yang mempengaruhi atau mengajak orang lain supaya tidak menggunakan hak pilihnya (golput), atau supaya memilih peserta pemilu tertentu."
Dari sini saja, saya melihat bagaimana para orang-orang yang golput sering ditakut-takuti dengan hukum hanya untuk memberikan hak suaranya pada si pengancam yang padahal ancamannya tidak berdasar. Saya sendiri saja golput sampai saat ini, karena memang di hari pemilihan saya pasti akan memilih. Namun penarikan KTP, harus menyebar poster dan lain-lain adalah bentuk mengganggu sekali bagi saya---orang yang berangkat bukan dari simpatisan merupakan hal yang sangat mengganggu kejernihan dalam pengambilan keputusan saya dan orang-orang dengan kewarasan tidak memberikan data pribadi mereka sebagai bentuk partisipasi politik.
Bagi orang yang berkampanye dan partai politik, orang-orang yang masih saat ini belum menentukan pilihannya (atau golput temporer) seperti saya dan mungkin anda yang membaca ini adalah target-target dalam menaikkan angka voting mereka. Seperti marketing, saya hanyalah customer yang harus mampu mereka close dalam hari itu juga demi mengejar target. Bahkan dengan berbagai cara seperti memainkan empati, pengaruh harta, menghasut mengenai paslon dan partai lain, serta menyerang personal dari paslon tersebut hingga cara paling haram seperti bagaimana teman saya mengancam dengan hukum dan ancaman yang bahkan tidak berlandas ataupun ancaman kekerasan emosional dan fisik.
Kampanye sendiri juga merupakan bentuk kelebihan informasi. Dimana dijelaskan oleh Arnold, Goldschmitt, dan Rigotti (2023) yakni terjadi ketika seseorang kewalahan dengan jumlah data yang disajikan untuk diperhatikan atau diproses. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas untuk berfungsi secara efektif, pengambilan keputusan yang buruk, dan bahkan kelelahan. Selain itu juga dapat menyebabkan kelelahan otak, membatasi fokus, dan menghambat pengambilan keputusan, yang pada akhirnya memengaruhi kinerja dan kesejahteraan. Tentu saja, informasi masif yang melelahkan tersebut membuat kita pasrah dan memilih karena entah hasutan orang-orang terdekat seperti keluarga, teman dekat, pacar bahkan hingga orang yang tidak kenal datang hanya ingin kalian memilih pilihannya seolah-olah kita ini terlalu tolol dan bodoh dalam memilih di TPS nanti. Apalagi dibumbui ketakutan dan ancaman tidak jadi saudara, teman, atau pacar dan dikucilkan, seram!
Kami, orang-orang yang golput temporer, bisa jadi karena semakin kalian paksa dengan informasi masif kalian, para orang-orang yang berkecimpung di politik, malah tidak mau memilih. Contoh saja ayah saya ketika 2019 lalu, beliau tidak menyatakan dukungannya bahkan tidak hadir ke TPU karena banyaknya teman yang ke rumah hanya untuk menyantuni dia bak dia seperti orang berkebutuhan khusus. Justru itu malah menyayat kami seolah-olah kami butuh kalian, padahal sebaliknya!
Seperti dari kami ada yang golput benar-benar skeptis, sama halnya dalam film Warm Bodies (2013), dimana terdapat dua tipe zombie yakni zombie yang masih memiliki hati nurani dan semangat untuk sembuh kembali, dan zombie yang sudah lelah menyerah hingga akhirnya menjadi zombie 'feral' yang sudah tidak peduli dengan kesembuhan mereka dan menjadi liar. Bisa jadi, peserta pemilu dengan atribut zombie 'feral' yang skeptis ini adalah orang-orang yang kalian hantam dengan informasi masif, atau seorang ekstrimis pendukung partai, atau bahkan salah satu orang yang kalian sakiti dengan keingkaran kalian. Hingga detik ini para golput yang seringkali diancam dikriminalisasi juga buah hasil dari para orang-orang berkampanye tanpa henti dengan janji palsu dan patutnya harus lebih dihukum juga! Karena bagaimana kalian memanfaatkan suara kami (orang baik) demi kepentingan pribadi kalian (orang jahat).
Lantas, kini kalian berteriak orang golput seolah orang yang tidak punya integritas, tidak ada arah, bahkan membawa kerusakan di Nusantara ini karena tidak berpartisipasi. Maka, dengan cara ancaman dan makian seperti itukah kalian akan mengajak kami memilih kalian? Sayang, tidak ada hukum untuk menghukum orang-orang yang bohong dengan janjinya ketika dipilih. Yang ada kita dibiarkan terluka melihat semua terjadi dan tidak bisa melawan.
Kami datang, kami lihat, dan kami lelah. Begitulah setidaknya bagaimana mereka yang benar-benar abstain pada pemilu sebelumnya melihat kalian (para orang-orang yang berkecimpung di dunia politik). Perlu diketahui, Abstain adalah hak dalam memilih yang memungkinkan individu untuk menahan suaranya tanpa dikenakan sanksi. Abstain tidak sama dengan tidak memilih, karena abstain merupakan keputusan sadar untuk tidak memilih atau menentang suatu mosi atau kandidat. Abstain dapat digunakan untuk menyatakan ketidakpedulian, ketidakpuasan terhadap pilihan yang tersedia, atau kurangnya informasi atau pemahaman mengenai permasalahan yang ada. Maka, jika ada abstain karena 'kelebihan informasi' yang terjadi, kita butuh menambahkan istilah baru---atau memperbaharui istilah lama lagi di kamus demokrasi. Kami pun, para golput (temporer) juga berhak untuk menentukan kapan kami akan menentukan dan siapa yang akan kami pilih, entah itu dalam 1 hari sebelum bahkan hingga 1 detik sebelum kami memilih di bilik suara kami.
Kembali lagi pada saya, karena saya sayang dengan semua paslon, akhirnya saya sekarang tidak mau mendengar mereka dari orang lain. Saya membatasi diri, membaca informasi mengenai program, menimang mana yang tepat dan menjauhkan diri dari kampanye-kampanye, membuat list mute word (kata yang dibisukan) dalam media sosial saya, serta menjauhi debat hingga omongan politik.