Lucunya, ironi pada statement terakhir tersebut menggambarkan bahwa para tentara ngabers ini memandang wanita yang dibelanya sebagai objek. Lebih misoginis daripada yang dibayangkan.
Stewart, Dalakas, dan Eells (2021) pernah melakukan penelitian dengan pertanyaan apakah 'penjualan erotis' telah menarik perhatian signifikan dalam penelitian periklanan. Sebuah iklan yang menggunakan daya tarik seks dan iklan kontrol tanpa daya tarik seks untuk merek yang sama ditayangkan di Facebook selama jangka waktu 5 hari yang sama. Hasilnya menunjukkan bahwa iklan daya tarik seks mengungguli iklan kontrol dalam hal keterlibatan namun tidak dalam penjualan sebenarnya.
Sehingga tidak heran, melihat cosplayer hanya menjual badan dan erotisme tanpa memperhatikan moral, tidak berbeda dengan bagaimana Makima menghalalkan segala cara untuk menguasai dunia. Karena dia tahu; jika ada jalan untuk uang mudah, kenapa harus susah?
Saya tidak tahu pasti arah emosi saya kemana; Makima, atau para cosplayer erotis tersebut---karena saya juga sama-sama sebal. Namun, yang cukup jelas adalah dunia ini sudah terlalu baik bagi orang-orang good looking dan good body. Saya hanya tidak suka mereka dapat dengan mudah meraih apapun di dunia ini seperti membalikkan telapak tangan saja. Saya tidak tahu, jika dirasa konten erotis mereka tidak mengganggu moral di negeri ini---karena anggapan bahwa orang luar negeri juga melakukan hal yang sama---maka itu suka-suka mereka. Cuma saya hanya menyayangkan ketika banyak teriakan seperti wanita-wanita untuk melindungi diri dan cosplayer yang benar-benar menikmati passionnya termarjinalkan hanya karena beberapa wanita-wanita yang lebih memilih mencari 'sesuap nasi' dengan cara begini menjadi normal di kalangan umum.
Again, wanita berhak sepenuhnya atas tubuh dan diri mereka dan saya setuju. Tetapi kehidupan sosial merupakan konstruksi masyarakat yang saling berhuungan dibangun dengan proses adaptasi, interaksi dan sosialisasi. Sehingga penting untuk kita menyadari, membangun safe space pada wanita tidak hanya dilakukan pada dunia nyata, namun juga penting untuk dilakukan di dunia maya terutama pada pelaku cosplayer wanita agar tidak mendapat stigma negatif dalam space mereka berkreasi.
Memang cukup gila, jika hanya karena Makima, saya bisa membahas hingga sejauh ini. Namun disitulah letak keindahan menikmati karya yang cukup bagus dan berkesan, seperti halnya ibu-ibu yang menonton sinetron hingga membenci aktor antagonis yang asli, saya rasa saya juga tidak ada bedanya dengan mereka. Apa bisa jadi, saya terlalu berlebihan?
Daftar Bacaan:
- Kristin Stewart, Vassilis Dalakas & Danielle Eells (2023) Does sex sell? Examining the effect of sex appeals in social media ads on engagement with the ad and actual purchase, Journal of Marketing Communications, 29:7, 701-714, DOI: 10.1080/13527266.2022.2072367
- Gwyn Easterbrook-Smith (2023) OnlyFans as gig-economy work: a nexus of precarity and stigma, Porn Studies, 10:3, 252-267, DOI: 10.1080/23268743.2022.2096682
- Ilana Gershon (2020) The Breakup 2.1: The ten-year update, The Information Society, 36:5, 279-289, DOI: 10.1080/01972243.2020.1798316
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H