Mohon tunggu...
Firdaus Ramadhan
Firdaus Ramadhan Mohon Tunggu... Lainnya - Professional garbagepreneur.

Nothing to lose, lose to nothing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Banyak Orang Suka Makima?

23 Januari 2024   15:50 Diperbarui: 23 Januari 2024   16:01 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya ingat betul ketika awal rilis manga Chainsaw Man, saya cukup bersemangat karena gaya gambar yang asal-asalan namun memiliki premis cerita yang cukup menjanjinkan. Sebagai seorang yang suka hal setengah-setengah, bagi saya manga ini cukup menggambarkan bagaimana saya dalam berkarya---menjanjikan tapi selalu setengah-setengah. Selain itu, penggambaran Denji (karakter utama dalam serial ini) sebagai laki-laki yang cukup penuh dengan keputus asaan, berlatar belakang sebagai pecundang, bahkan digambarkan sebagai lelaki penuh dengan keputusan kikuk cukup relatable dengan para otaku yang merasa bahwa ketika mereka melihat Denji, mereka akan berteriak dalam benaknya "Dia adalah aku!"

Hingga saya mengikuti terus perkembangannya dari akhir 2019 hingga akhir Part 1 pada akhir 2020 silam. Namun hal yang cukup menarik bagi saya adalah, banyak orang-orang tertarik pada salah satu karakter wanita yang bernama Makima, dikutip dari Wiki Fandom:

"Makima (?) is the main antagonist of the Public Safety Saga. She was a high-ranking Public Safety Devil Hunter who took Denji in as her human pet."

Kata yang saya buat tebal tersebut mempunyai arti bahwa Makima menjadikan Denji sebagai peliharaan dalam bentuk manusia. Bukan hal yang mengagetkan ketika premis-premis seperti ini dilakukan oleh author dari Negeri Sakura. Bahkan, jika anda masih awam, banyak sekali premis-premis seperti: wanita berumur yang memiliki tubuh anak kecil, anak laki-laki yang menjadi beristri banyak wanita, laki-laki tanpa otot namun sekuat raksasa, hingga berusaha menormalkan pedofilia dengan embel-embel `loli`. Bagi saya yang sudah melihat (maksud saya bukan menikmati, tapi melihat dalam artian observasi) semua, saya rasa peliharaan dalam bentuk manusia merupakan hal yang cukup normal.

Dengan meledaknya Chainsaw Man di internet kala pandemi Covid-19, meledak juga pembaca hingga penikmat dari manga tersebut. Sehingga, tidak hanya otaku, orang awam akhirnya juga mulai membaca manga ini. Sehingga, mereka mulai mengenal karakter-karakter dari manga ini termasuk Makima.

Saya tidak berniat untuk misoginis. Saya hanya sebal ketika pembatasan Covid-19 mulai diangkat dan acara-acara budaya Jepang diadakan, saya selalu melihat di acara-acara tersebut hampir banyak orang cosplay sebagai Makima. Bahkan pernah dalam satu acara, saya menghitung ada 10 orang yang menjadi Makima. Tak jarang juga saya lihat berseliweran di Instagram hingga Twitter dengan santai dan mudahnya cosplayer wanita melakukan cosplay pada karakter Makima tersebut. Hingga saya pikir, jika jadi Makima bisa semudah itu, saya pasti juga bisa.

Poin menarik dalam hal ini adalah, banyak sekali kalangan---wanita juga terutama---yang sangat menyukai karakter ini. Selain cantik, Makima memang sangat mudah untuk ditirukan dalam cosplay. Dengan gaya baju kantoran hitam putih, rambut merah dan mata kuning, tentu cosplay ini tidak memakan biaya mahal untuk ditirukan.

 

Sumber: Chainsaw Man Wiki Fandom
Sumber: Chainsaw Man Wiki Fandom

Saya tidak menyangka saya akan membenci karakter fiktif yang bahkan membuat saya projecting pada orang-orang yang menikmatinya. Terdengar menyedihkan, tapi memang jika kalian membaca Chainsaw Man Part 1 hingga selesai, kalian akan tahu betapa menyebalkan dan mengerikannya Makima hingga banyak orang harus menghentikannya. Sehingga bagi saya, ketika mendengar ada wanita yang dengan sadar dia membaca, menikmati dan mengikuti Chainsaw Man hingga Part 1 selesai berkata "Saya sangat suka Makima", tidak hentinya di kepala saya menyumpah serapahi dia di kepala saya dengan makian dan diakhiri dengan "Dasar wanita gila!".

Karena Makima digambarkan sebagai wanita manipulatif, antagonis yang sangat kuat, tidak mudah dikalahkan, bahkan memiliki kekuatan yang tidak terbatas dalam mengendalikan banyak orang di sekitarnya dalam genggamannya sendiri dan memiliki tentara-tentara yang siap mati demi dia. Terdengar familiar?

Sumber Bing. Keterangan:
Sumber Bing. Keterangan: "Tidak ada maksud apa-apa, saya memasang foto ini karena saya senang lihat orangnya"

Tidak heran ketika beberapa wanita melihat Makima, mereka cukup terkesan karena memang harus seperti itu sebagaimana mestinya (saya hanya bercanda).

Selain itu, sifat Makima dalam menjadikan Denji sebagai peliharaan dalam bentuk manusia juga merupakan sifat yang biasa dilakukan oleh beberapa wanita yang selalu melakukan thirst trap pada akun-akun sosial medianya. Thirst trap adalah media yang menampilkan seseorang dengan sangat memancing suasana sehingga menginspirasi orang lain untuk beriteraksi dengannya (Gershon, 2020). Sehingga, tidak heran ketika wanita-wanita yang melakukan hal ini menarik perhatian para pria muda yang menyedihkan (ngabers---istilah normies untuk pria yang suka hal-hal mendasar) sering kali mengikuti mereka bahkan rela keluar uang hanya untuk mereka. Dengan bermodalkan konten memperlihatkan 'sedikit' kulit dan bagian tubuh, wanita-wanita ini bisa 'menguasai dunia hingga memiliki tentara-tentara mereka sendiri'. Terdengar familiar?

Maka, sejauh mana keterkaitan antara Makima dan wanita asli di dunia nyata pada umumnya?

Saya tidak membahas hal ini dengan menggeneralisir seluruh wanita. Namun, perkembangan zaman juga memaksa fenomena sosial untuk berubah. Dulu, kita harus membeli majalah untuk dapat melihat foto model-model dan bahkan kita hanya mendapat apa yang dikonsepkan oleh editor bahkan tim kreatif majalah tersebut. Kini, penggemar atau follower dapat langsung meminta bahkan mendukung dengan sisi keuangan untuk kostum hingga peralatan bagi cosplayer tersebut. Hal ini secara tidak langsung telah memutus pihak ketiga---dalam hal ini majalah---sebagai rantai keberlanjutan ekonomi mereka. Apakah hal ini merupakan hal baik?

Ya, bagi para penggemar dan pelaku cosplay, hal ini cukup mendukung keduanya satu sama lain untuk langsung berinteraksi. Cosplayer mendapatkan uang segera untuk membeli bahan, sementara fans juga mendapatkan perasaan bangga karena membantu memberikan dukungan langsung serta hadiah-hadiah kecil dari cosplayer sesuai dengan jumlah sumbangan mereka.

Tidak, karena hal ini berpotensi pada orang-orang yang menemukan loophole seperti bukan cosplayer sejati yang hanya menjual 'tubuh' dan pakaian minim guna untuk menarik orang awam membeli konten mereka sebagai penghasilan utama mereka---tidak ada beda dengan menjadi ani-ani. Selain itu, pembatasan siapa saja yang dapat mengakses juga tidak ada karena adanya fitur menghilangkan informasi donaturnya.

Hal ini menjadikan platform yang awalnya untuk fanpreneurs, cosplayer dan pembuat konten sebagai yang dapat dipahami sebagai bentuk crowdfunding yang dimediasi oleh platform, yaitu kontrol para kreator atas kondisi kerja mereka, dan pemasaran foto serta rekaman video yang diambil sendiri secara langsung ke konsumen (Easterbrook-Smith, 2022), malah menjadi lebih dikenal menjadi platform konten erotis instan---ingat si kembar yang sekarang jual konten?

Sehingga hal yang dimanfaatkan oleh wanita-wanita tidak bertanggung jawab tersebut mematikan nyala api semangat cosplayer sesungguhnya hingga membuat banyak orang awam akan memandang bahwa 'Ah, cosplay dan urusan ranjang itu pasti sama!'

Tentu, Makima mengendalikan semua orang-orang yang ada disekitarnya, membuat mereka menyembahnya, menguasai dunia dan menghancurkan apa yang menghalanginya dengan tentara siap matinya. Sama seperti wanita-wanita yang diberkahi dengan keindahan tubuh dan wajah, bukankah mereka sama? Mereka akan mengajak para pengikutnya untuk mengakses konten berbayar, bahkan tidak jarang juga beberapa wanita-wanita ini dimanfaatkan untuk promosi judi online.

Tidak jarang juga, dibalik orang-orang yang mencoba mengigatkan, pasti akan ada ngabers yang rela mati dengan tombak pernyataan-pernyataan: "Rezeki orang beda-beda!", "Kalo gasuka bisa skip!", "Halah, kalo kamu disodorkan dia telanjang di depanmu pasti kamu juga pengen! Jangan munafik!"

Lucunya, ironi pada statement terakhir tersebut menggambarkan bahwa para tentara ngabers ini memandang wanita yang dibelanya sebagai objek. Lebih misoginis daripada yang dibayangkan.

Stewart, Dalakas, dan Eells (2021) pernah melakukan penelitian dengan pertanyaan apakah 'penjualan erotis' telah menarik perhatian signifikan dalam penelitian periklanan. Sebuah iklan yang menggunakan daya tarik seks dan iklan kontrol tanpa daya tarik seks untuk merek yang sama ditayangkan di Facebook selama jangka waktu 5 hari yang sama. Hasilnya menunjukkan bahwa iklan daya tarik seks mengungguli iklan kontrol dalam hal keterlibatan namun tidak dalam penjualan sebenarnya.

Sehingga tidak heran, melihat cosplayer hanya menjual badan dan erotisme tanpa memperhatikan moral, tidak berbeda dengan bagaimana Makima menghalalkan segala cara untuk menguasai dunia. Karena dia tahu; jika ada jalan untuk uang mudah, kenapa harus susah?

Saya tidak tahu pasti arah emosi saya kemana; Makima, atau para cosplayer erotis tersebut---karena saya juga sama-sama sebal. Namun, yang cukup jelas adalah dunia ini sudah terlalu baik bagi orang-orang good looking dan good body. Saya hanya tidak suka mereka dapat dengan mudah meraih apapun di dunia ini seperti membalikkan telapak tangan saja. Saya tidak tahu, jika dirasa konten erotis mereka tidak mengganggu moral di negeri ini---karena anggapan bahwa orang luar negeri juga melakukan hal yang sama---maka itu suka-suka mereka. Cuma saya hanya menyayangkan ketika banyak teriakan seperti wanita-wanita untuk melindungi diri dan cosplayer yang benar-benar menikmati passionnya termarjinalkan hanya karena beberapa wanita-wanita yang lebih memilih mencari 'sesuap nasi' dengan cara begini menjadi normal di kalangan umum.

Again, wanita berhak sepenuhnya atas tubuh dan diri mereka dan saya setuju. Tetapi kehidupan sosial merupakan konstruksi masyarakat yang saling berhuungan dibangun dengan proses adaptasi, interaksi dan sosialisasi. Sehingga penting untuk kita menyadari, membangun safe space pada wanita tidak hanya dilakukan pada dunia nyata, namun juga penting untuk dilakukan di dunia maya terutama pada pelaku cosplayer wanita agar tidak mendapat stigma negatif dalam space mereka berkreasi.

Memang cukup gila, jika hanya karena Makima, saya bisa membahas hingga sejauh ini. Namun disitulah letak keindahan menikmati karya yang cukup bagus dan berkesan, seperti halnya ibu-ibu yang menonton sinetron hingga membenci aktor antagonis yang asli, saya rasa saya juga tidak ada bedanya dengan mereka. Apa bisa jadi, saya terlalu berlebihan?

Daftar Bacaan:

  1. Kristin Stewart, Vassilis Dalakas & Danielle Eells (2023) Does sex sell? Examining the effect of sex appeals in social media ads on engagement with the ad and actual purchase, Journal of Marketing Communications, 29:7, 701-714, DOI: 10.1080/13527266.2022.2072367
  2. Gwyn Easterbrook-Smith (2023) OnlyFans as gig-economy work: a nexus of precarity and stigma, Porn Studies, 10:3, 252-267, DOI: 10.1080/23268743.2022.2096682
  3. Ilana Gershon (2020) The Breakup 2.1: The ten-year update, The Information Society, 36:5, 279-289, DOI: 10.1080/01972243.2020.1798316

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun