Mohon tunggu...
Helmi Abu Bakar elLangkawi
Helmi Abu Bakar elLangkawi Mohon Tunggu... Penulis - Pengiat Sosial Kegamaan dan Esais di berbagai Media serta Pendidik di Lembaga Pendidikan Islam

Khairunnas Affa' linnas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meluruskan Pidie Kriet Bu Ie Geukira: Menghadirkan Harmoni Antara Tradisi dan Syariat Islam

31 Oktober 2024   03:47 Diperbarui: 4 November 2024   13:09 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kumpulan Warga yang lahir dan berdomisili di Pidie Raya (Pidie Jaya -Pidie) dalam sebuah acara resmi. Dokpri)

Meluruskan Stigma Pidie Kriet Bu Ie Geukira dalam Perspektif Budaya dan Syariat Islam

Salah satu negeri di Nusantara ini yang memiliki ciri khas yang unik dan keberadaannya menjadi kunci untuk daerah lainnya dikenal dengan Pedir atau Pidie. Keunikan dan ketangguhan endatu Pidie yang sejak dulunya pernah menjadi wilayah kekuasaan kerajaan hebat bahkan keturunannya sebagai pejuang dan perantau masih terpatri dalam keturunan awak Pidie. Selain itu keberadaan adat istiadat dan keagamaan yang sudah menjadi tradisi di wilayah Pidie juga menjadi ikon dan pembahasan yang digali banyak orang.

Diantara sekian banyak keunikan masyarakat Pidie hingga era millenial ada salah satu stigma yang dikenal dengan ungkapan "Pidie Kriet," . Stigma ini seolah-olah anggapan bahwa masyarakat Pidie terkenal pelit atau enggan berbagi, sering kali muncul dari kesalahpahaman tentang nilai budaya lokal, terutama konsep "Bu Ie Geukira."

Dokpri 
Dokpri 

Budaya ini tidak dimaksudkan sebagai tindakan kikir, tetapi sebagai bentuk penghormatan kepada tamu dan anggota keluarga. Dalam masyarakat Pidie, "Bu Ie Geukira" menggambarkan nilai-nilai Islam yang menekankan keseimbangan, kedermawanan, serta kebijaksanaan dalam mengelola rezeki. Nilai ini bersumber dari ajaran Islam, yang mencakup panduan dari Al-Qur'an, hadits Nabi, serta pandangan para ulama klasik, seperti Imam Ghazali dan para imam empat mazhab.

Di bawah ini kita akan menguraikan konsep "Bu Ie Geukira" dengan tambahan referensi ayat Al-Qur'an, hadits, dan pandangan ulama untuk memperdalam pemahaman tentang pentingnya menjaga nilai-nilai mulia ini dalam Islam.

Penghormatan Terhadap Tamu dalam Islam

Konsep "Bu Ie Geukira," yang menekankan penghormatan dan pelayanan terhadap tamu, sejalan dengan ajaran Islam. Al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW memberikan panduan jelas tentang pentingnya memuliakan tamu. Dalam kisah Nabi Ibrahim yang tercantum dalam Al-Qur'an, Allah SWT menunjukkan bagaimana seharusnya kita menyambut tamu:

"Sudahkah sampai kepadamu cerita tamu Ibrahim yang dimuliakan? Ketika mereka masuk ke tempatnya, lalu mereka mengucapkan, 'Salam'. Ibrahim menjawab, 'Salam'. (Mereka adalah) orang-orang yang tidak dikenal. Maka diam-diam dia pergi menemui keluarganya, lalu dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar)." (QS. Adz-Dzariyat: 24-27)

Nabi Ibrahim AS segera menyediakan makanan terbaik bagi tamunya, meski tamu-tamu itu orang asing baginya. Sikap ini menunjukkan bagaimana Islam mengajarkan kita untuk memperlakukan tamu dengan penghormatan dan kedermawanan. Dalam budaya Pidie, nilai ini hidup melalui konsep "Bu Ie Geukira," di mana masyarakat berusaha menyajikan yang terbaik demi membuat tamu merasa dihormati dan nyaman.

Hadits Rasulullah SAW juga memperkuat pentingnya memuliakan tamu:

 "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Masyarakat Pidie menjalankan hadits ini dengan konsep "Bu Ie Geukira," di mana penghormatan terhadap tamu dianggap sebagai ibadah, bukan sekadar tradisi. Tradisi ini bukan hanya bentuk penghormatan, tetapi juga representasi keimanan mereka.

Konsep Kepedulian dan Kebersamaan dalam Keluarga

Selain dalam hal penghormatan terhadap tamu, "Bu Ie Geukira" juga diterapkan dalam konteks keluarga. Misalnya, ada kebiasaan di masyarakat Pidie di mana orang tua, khususnya ibu, merasa bertanggung jawab untuk membantu anak yang baru menikah. Tanggung jawab ini tidak hanya diwujudkan dalam bentuk materi, tetapi juga sebagai dukungan emosional dan bimbingan moral.

Islam sendiri sangat menekankan pentingnya menjaga dan memperhatikan keluarga. Dalam Al-Qur'an disebutkan:

 "Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf..." (QS. Al-Baqarah: 233)

Meski ayat ini khususnya membahas kewajiban orang tua terhadap anak, prinsip umumnya mengajarkan bahwa tanggung jawab keluarga adalah kewajiban yang harus dijaga. Ulama seperti Imam Ghazali juga menekankan bahwa menjaga dan membantu keluarga adalah ibadah yang sangat besar pahalanya. Dengan menerapkan konsep "Bu Ie Geukira," masyarakat Pidie tidak hanya menunjukkan ketaatan mereka pada ajaran agama, tetapi juga mempererat ikatan persaudaraan dan cinta dalam keluarga.

Rasulullah SAW pun bersabda:

"Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali persaudaraan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam budaya Pidie, membantu keluarga, termasuk anak yang baru menikah, adalah bentuk nyata dari menjaga silaturahmi. Dengan kata lain, masyarakat Pidie meyakini bahwa konsep "Bu Ie Geukira" yang mengatur dan mendukung keluarga adalah ibadah yang membawa berkah bagi kehidupan dunia dan akhirat.

Pandangan Ulama tentang Kepedulian dalam Keluarga dan Kedermawanan

Para ulama sepakat bahwa memberi bantuan kepada keluarga adalah amal yang sangat mulia, apalagi jika dilakukan dengan ikhlas. Imam Ghazali, dalam kitabnya "Ihya Ulum al-Din," menyatakan bahwa menghormati tamu dan membantu keluarga adalah bentuk rasa syukur kepada Allah atas rezeki yang diberikan-Nya. Beliau menekankan:

"Salah satu cara untuk menunjukkan rasa syukur kepada Allah atas nikmat-Nya adalah dengan menghormati tamu. Tamu adalah anugerah yang membawa berkah dan kebaikan bagi rumah tangga."

Berdasarkan ini, masyarakat Pidie menjadikan konsep "Bu Ie Geukira" sebagai wujud kepedulian kepada keluarga dan tamu, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para ulama. Kebiasaan menyambut tamu dan mendukung keluarga adalah cerminan keikhlasan masyarakat dalam menjalankan ajaran Islam.

Selain itu, Imam Syafi'i menyatakan bahwa kedermawanan harus dilakukan dengan bijaksana dan penuh perhitungan, sebagaimana Allah SWT berfirman:

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (QS. Al-Furqan: 67)

Berdasarkan pandangan ini, masyarakat Pidie memahami bahwa kedermawanan mereka harus disertai perhitungan yang baik. Dalam konsep "Bu Ie Geukira," mereka memperhatikan kualitas dan efektivitas bantuan yang diberikan, bukan sekadar kuantitas. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa bantuan tersebut benar-benar membawa manfaat.

Menjaga Tradisi dalam Bingkai Iman dan Tanggung Jawab Sosial

Tradisi "Bu Ie Geukira" menunjukkan betapa bijaksananya masyarakat Pidie dalam menjalankan kehidupan sosialnya. Dalam Islam, setiap amal yang dilakukan dengan niat baik dan penuh kebijaksanaan akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Oleh karena itu, "Bu Ie Geukira" menjadi bentuk nyata dari ajaran yang mengutamakan keseimbangan antara kedermawanan dan tanggung jawab.

Menjaga tradisi yang luhur ini adalah cara masyarakat Pidie untuk menjaga hubungan sosial mereka, baik dengan tamu maupun keluarga. Dengan mempertahankan nilai ini, mereka menunjukkan bahwa ajaran Islam bukan hanya tentang ibadah ritual, tetapi juga tentang hubungan antar manusia yang didasari kasih sayang dan keikhlasan.

Melalui pemahaman yang benar terhadap tradisi "Bu Ie Geukira," masyarakat Pidie dapat menghilangkan stigma "Pidie Kriet" yang salah dan menunjukkan bahwa mereka sebenarnya adalah masyarakat yang mengedepankan kebaikan dan keramahan.

Edukasi dan Kesadaran Budaya sebagai Solusi Melawan Stigma

Stigma "Pidie Kriet" dapat diluruskan dengan pendidikan dan dialog antar budaya. Masyarakat luar yang lebih memahami konsep "Bu Ie Geukira" akan lebih menghargai bagaimana masyarakat Pidie menghormati tamu dan mengelola hubungan keluarga. Pendidikan, baik melalui formal maupun informal, menjadi kunci untuk membuka pemahaman yang benar.

Generasi muda Pidie dapat memainkan peran penting dalam hal ini. Dengan menggunakan platform digital dan media sosial, mereka dapat memperkenalkan konsep "Bu Ie Geukira" kepada masyarakat luas, menampilkan budaya yang kaya dan berakar pada nilai-nilai Islam. Dengan demikian, masyarakat luar dapat melihat bahwa apa yang mungkin terlihat sebagai tindakan kikir sebenarnya adalah bentuk dari kebijaksanaan dalam berbagi.

Pandangan Ulama Terkait Pidie Kriet Bu Ie Geukira 

Ulama salaf, seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah, juga mengajarkan pentingnya menghormati tamu sebagai bentuk ibadah. Mereka menyatakan bahwa tamu adalah anugerah dari Allah yang harus dilayani dengan sepenuh hati. Salah satu ajaran yang terkenal dari para ulama salaf adalah:

"Tamu adalah utusan Allah yang datang untuk menguji kita dalam kedermawanan dan keramahan."

Masyarakat Pidie, melalui konsep "Bu Ie Geukira," berusaha memuliakan tamu bukan hanya sebagai tradisi, tetapi sebagai wujud ibadah. Ini sesuai dengan ajaran para ulama yang menyatakan bahwa setiap tamu membawa berkah dan menjadi sarana untuk memperoleh ridha Allah SWT.

Secara keseluruhan, stigma "Pidie Kriet" adalah kesalahpahaman yang muncul dari kurangnya pemahaman tentang budaya lokal masyarakat Pidie. Nilai-nilai "Bu Ie Geukira" yang mereka junjung tinggi adalah wujud dari kebaikan, penghormatan terhadap tamu, serta kepedulian sesama.

Kearifan lokal seperti "Bu Ie Geukira" yang dimiliki masyarakat Pidie bukan hanya sekadar nilai budaya, tetapi juga bentuk nyata dari penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Islam, memuliakan tamu adalah salah satu ajaran yang sangat dihargai, bahkan disebut sebagai tanda iman seseorang. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya."

Hadits ini bukan hanya menjadi panduan moral, tetapi juga menjadi dasar penting bagi masyarakat Pidie untuk menjadikan keramahan kepada tamu sebagai bagian dari iman mereka. Bagi mereka, memberikan pelayanan terbaik kepada tamu tidak sekadar memenuhi kewajiban sosial, melainkan bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah. Dengan demikian, setiap tamu yang datang dianggap sebagai titipan dari Allah yang membawa keberkahan dan kesempatan untuk menambah amal kebaikan.

Dalam kehidupan masyarakat Pidie, penghormatan ini tidak terbatas hanya pada tamu yang mereka kenal, tetapi juga kepada orang asing. Mereka berusaha menyambut tamu dengan menyediakan hidangan terbaik yang dimiliki, meskipun seringkali mereka sendiri harus melakukan pengorbanan dalam menyiapkan jamuan tersebut. Ini menunjukkan betapa tinggi nilai ikhlas dan pengorbanan yang dimiliki masyarakat Pidie, di mana mereka rela memberikan yang terbaik bagi orang lain.

Menghindari Kesalahpahaman dan Menjaga Nilai Kearifan

Stigma "Pidie Kriet" sering kali muncul karena kesalahpahaman dari luar terhadap konsep "Bu Ie Geukira" yang diterapkan masyarakat Pidie. Anggapan bahwa mereka kikir atau tidak ramah mungkin disebabkan oleh perbedaan budaya dan interpretasi dari sikap kehati-hatian mereka dalam mengatur sumber daya. Padahal, prinsip "Bu Ie Geukira" justru mengajarkan keseimbangan antara kedermawanan dan kebijaksanaan dalam mengelola rezeki.

Masyarakat Pidie menyadari bahwa dalam Islam, mengeluarkan rezeki tidak boleh berlebihan, tetapi juga tidak boleh kikir. Allah berfirman dalam Surat Al-Furqan ayat 67:

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian."

Ayat ini menjadi pedoman bagi masyarakat Pidie dalam mengelola rezeki mereka. Konsep "Bu Ie Geukira" mendorong mereka untuk memberi secara bijak, baik dalam menyambut tamu maupun membantu keluarga. Hal ini menjadi wujud kesadaran mereka dalam menjaga keseimbangan antara kebaikan kepada orang lain dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarga.

Selain itu, ulama besar seperti Imam Ghazali juga menekankan pentingnya menjaga niat dan kebijaksanaan dalam berbagi dengan orang lain. Menurut Imam Ghazali, tindakan memberi harus dilakukan dengan ikhlas dan tidak berlebihan, karena yang terpenting adalah niat untuk menyenangkan hati tamu serta memberi manfaat bagi mereka. Pandangan ini sejalan dengan konsep "Bu Ie Geukira," di mana masyarakat Pidie memberikan yang terbaik tanpa harus tampil berlebihan.

Menghormati Keluarga Sebagai Fondasi Kuat dalam Masyarakat Pidie

Selain dalam memuliakan tamu, konsep "Bu Ie Geukira" juga diterapkan dalam hubungan antar anggota keluarga. Masyarakat Pidie meyakini bahwa keluarga adalah pondasi yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Mereka tidak hanya saling mendukung dalam urusan materi, tetapi juga memberikan dukungan emosional dan spiritual. Dalam Islam, menjaga hubungan keluarga atau silaturahmi sangatlah penting, sebagaimana hadits dari Rasulullah SAW:

 "Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali persaudaraan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Pandangan ini mendorong masyarakat Pidie untuk selalu membantu anggota keluarga, terutama saat mereka memulai kehidupan baru, seperti ketika anak perempuan mereka baru saja menikah. Tindakan ini tidak dianggap sebagai kewajiban sosial semata, melainkan juga sebagai bentuk cinta dan perhatian yang mendalam. Bagi mereka, membantu keluarga adalah tanggung jawab moral yang harus dijalankan dengan penuh kesungguhan.

Menghilangkan stigma negatif "Pidie Kriet," pendidikan kepada generasi muda menjadi hal yang sangat penting. Dengan memahami nilai-nilai "Bu Ie Geukira" dan bagaimana konsep ini sejalan dengan ajaran Islam, generasi muda Pidie dapat menjadi duta budaya yang dapat memperkenalkan tradisi Pidie kepada masyarakat luar dengan cara yang relevan dan modern. Mereka perlu dibekali dengan pemahaman mendalam tentang arti menghormati tamu, menjaga hubungan keluarga, dan mengelola rezeki dengan bijaksana.

Generasi muda juga perlu dibiasakan untuk memahami bahwa kedermawanan tidak selalu berarti memberi secara berlebihan. Mereka harus memahami bahwa dalam Islam, setiap amal dinilai dari niat dan kebijaksanaan yang menyertainya. Dengan demikian, mereka dapat mempertahankan nilai-nilai luhur ini tanpa merasa perlu memenuhi standar atau ekspektasi yang tidak sesuai dengan prinsip Islam.

Untuk mengurangi kesalahpahaman terhadap masyarakat Pidie, upaya untuk meningkatkan pemahaman antarbudaya menjadi hal yang sangat penting. Edukasi mengenai budaya lokal seperti "Bu Ie Geukira" perlu diperkenalkan kepada masyarakat luar agar mereka dapat memahami bahwa konsep ini bukanlah bentuk kikir atau pelit, melainkan bentuk kearifan dalam mengatur kehidupan dan menjaga hubungan baik dengan tamu serta keluarga.

Penting untuk mengadakan dialog antarbudaya yang melibatkan berbagai pihak, termasuk tokoh masyarakat, ulama, dan generasi muda. Dengan membuka ruang dialog, masyarakat dari berbagai budaya dapat saling belajar dan mengapresiasi kekayaan tradisi masing-masing. Selain itu, melalui media sosial dan platform digital lainnya, masyarakat Pidie dapat memperkenalkan budaya mereka kepada dunia luar dengan cara yang lebih mudah diakses dan dipahami.

Pada akhirnya, pemahaman yang lebih baik mengenai konsep "Bu Ie Geukira" dapat membantu menghilangkan stigma negatif "Pidie Kriet" yang sering kali dikaitkan dengan masyarakat Pidie. Nilai-nilai luhur ini, yang mencakup kedermawanan, kebijaksanaan, dan kepedulian terhadap keluarga, merupakan cerminan dari ajaran Islam yang mendalam. Dengan memegang teguh prinsip ini, masyarakat Pidie tidak hanya menunjukkan ketaatan mereka kepada Allah, tetapi juga memperlihatkan kecintaan mereka terhadap tradisi dan nilai-nilai sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi.


Melalui upaya edukasi, pelibatan generasi muda, dan promosi nilai-nilai budaya yang baik, masyarakat Pidie dapat menghadirkan identitas mereka yang sesungguhnya sebagai masyarakat yang ramah, dermawan, dan bijaksana. Dengan demikian, masyarakat luar dapat menghargai dan memahami kekayaan budaya Pidie yang berakar pada nilai-nilai luhur Islam, sehingga tercipta saling pengertian dan penghargaan yang lebih besar terhadap keberagaman budaya di Indonesia.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun