Mohon tunggu...
Helmi Abu Bakar elLangkawi
Helmi Abu Bakar elLangkawi Mohon Tunggu... Penulis - Pengiat Sosial Kegamaan dan Esais di berbagai Media serta Pendidik di Lembaga Pendidikan Islam

Khairunnas Affa' linnas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggali Estetika Tradisi di Era Digital: Kuah Tuhe dan Semangat HSN 2024 Dayah Putri Muslimat

23 Oktober 2024   02:23 Diperbarui: 23 Oktober 2024   02:31 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) ke-10 tahun 2024 di Dayah Putri Muslimat Gampong Putoh, Kecamatan Samalanga, bukan hanya meriah dan khidmat dengan zikir kebangsaan yang dihadiri 3000 santriwati dan 270 guru yang digelar di aula dayah setempat, Selasa, (22/10/2024)

Di balik momentum HSN di dayah Putri Muslimat Samalanga juga menghadirkan sebuah elemen yang unik dan berakar kuat pada tradisi lokal Aceh: kenduri raya dengan sajian bulukat kuah tuhe, makanan khas leluhur Aceh. Acara memasak bersama ini tidak hanya menghadirkan kelezatan kuliner endatu, tetapi juga menjadi refleksi nilai-nilai kebersamaan, kesabaran, serta estetika yang hidup dalam kehidupan santriwati dan dayah.

Hubungan Kuah Tuhe dan Estetika Tradisi

Secara sekilas, bulukat kuah tuhe mungkin tampak seperti sajian sederhana, namun di baliknya tersembunyi estetika yang mendalam, terkait dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Kuah santan kental yang dicampur dengan pisang raja, nangka masak, dan aroma wangi daun pandan adalah kombinasi yang menggambarkan kesederhanaan dan keindahan. Kelezatan yang tercipta bukan hanya berasal dari bahan-bahan alami, tetapi juga dari proses pembuatan yang mengajarkan kesabaran dan ketelatenan.

Dalam tradisi Aceh, estetika tidak hanya berkaitan dengan tampilan fisik, tetapi juga bagaimana sesuatu itu diciptakan dan dihargai. Proses pembuatan kuah tuhe, mulai dari memarut kelapa hingga memotong pisang dan nangka, semuanya dilakukan dengan tangan, tanpa bantuan teknologi modern. Hal ini menambah keindahan dari hidangan tersebut, karena setiap bagian pembuatan melibatkan tenaga dan jiwa manusia, menciptakan rasa kebersamaan yang otentik.

Dalam kehidupan santri, estetika bukan hanya tentang keindahan fisik, tetapi juga keindahan spiritual. Hubungan antara guru dan santri di dayah seringkali digambarkan sebagai hubungan rohaniah yang berlangsung sepanjang hayat. Hal ini tercermin dalam setiap langkah kehidupan mereka, termasuk dalam cara mereka memasak bersama. Proses pembuatan bulukat kuah tuhe pada peringatan HSN ini menjadi simbol bagaimana nilai-nilai kesabaran dan ketelatenan yang diajarkan di dayah diterapkan dalam setiap aspek kehidupan.

Tgk. Hj Atikah guru senior  yang memimpin acara memasak tersebut, menekankan bagaimana proses memasak kuah tuhe ini mencerminkan filosofi hidup santri di dayah. "Setiap langkah dalam pembuatan kuah tuhe ini mengajarkan kita untuk bekerja bersama, saling mendukung, dan menikmati prosesnya, bukan hanya hasil akhirnya," jelasnya.

Ia menjelaskan guru dibantu Santriwati, dalam satu tim besar, bergotong royong menyiapkan hidangan, mulai dari memarut kelapa hingga mengaduk santan dengan sabar. Ini bukan hanya tentang makanan, tetapi tentang kehidupan komunitas yang mengedepankan kebersamaan dan ketelatenan.

Gotong Royong dalam Tradisi Dayah

Gotong royong adalah salah satu nilai fundamental yang diajarkan di dayah. Pembuatan bulukat kuah tuhe ini menjadi salah satu momen di mana nilai tersebut dihidupkan kembali. Santriwati dan guru bekerja bersama-sama, saling melengkapi dalam proses pembuatan hidangan.

Proses panjang yang dilalui dengan penuh kesabaran menjadi sebuah pelajaran bagi para santri untuk tidak terburu-buru dalam mencapai tujuan. Mereka diajarkan untuk menikmati proses, karena hasil yang terbaik hanya bisa dicapai melalui kerja keras dan kesabaran.

Tgk. Siti Halimah, salah satu dewan guru, menjelaskan bahwa kebersamaan ini adalah salah satu ajaran penting di dayah. "Dalam memasak, kami merasakan nikmat kebersamaan yang tak ternilai. Ini adalah waktu bagi kami untuk belajar bekerja sama, saling menguatkan, dan menghargai proses," ungkapnya.

Menurutnya, kuah tuhe bukan hanya makanan, tetapi simbol dari gotong royong yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Melalui acara ini, santri belajar tentang pentingnya saling mendukung dan menghargai peran masing-masing.

Kuah Tuhe sebagai Simbol Kesabaran

Kesabaran adalah salah satu nilai utama yang diajarkan di dayah, dan pembuatan bulukat kuah tuhe mencerminkan nilai ini dengan sempurna. Proses memasak yang panjang dan memerlukan ketelitian mengajarkan para santriwati bahwa segala sesuatu yang bernilai membutuhkan waktu dan usaha. Tidak ada langkah yang bisa diabaikan atau dipercepat. Setiap komponen dari hidangan ini, mulai dari santan hingga potongan pisang dan nangka, harus diperlakukan dengan penuh perhatian.

Bagi santriwati, memasak kuah tuhe adalah pelajaran tentang ketelatenan dan dedikasi. Seperti yang diungkapkan oleh Tgk. Siti Halimah bahwa proses panjang ini mengajarkan kami untuk menghargai setiap bagian dari pekerjaan kami. Tidak ada hasil yang instan, semuanya membutuhkan usaha yang serius.

'' Kesabaran ini bukan hanya berlaku dalam memasak, tetapi juga menjadi prinsip yang dipegang dalam kehidupan mereka sehari-hari di dayah. Namun, di balik semua nilai positif yang terkandung dalam tradisi pembuatan bulukat kuah tuhe, ada juga tantangan dan kontroversi yang muncul,''ulasnya

Di era digital seperti saat ini, banyak orang yang lebih memilih cara-cara praktis dan cepat dalam melakukan segala sesuatu, termasuk dalam hal memasak. Tradisi pembuatan kuah tuhe yang memakan waktu lama mungkin dianggap tidak relevan lagi oleh sebagian orang. Terlebih dengan kemajuan teknologi, banyak yang merasa bahwa cara-cara tradisional seperti ini sudah ketinggalan zaman.

Di satu sisi, ada pandangan bahwa mempertahankan tradisi seperti kuah tuhe adalah cara untuk menjaga identitas budaya dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang penting. Namun di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa kehidupan modern menuntut efisiensi, dan cara-cara tradisional seperti ini bisa menghambat kemajuan. Kontroversi ini mencerminkan dilema yang sering dihadapi oleh masyarakat yang berusaha menjaga warisan budaya di tengah perkembangan zaman.

Tgk. Muhammad Aminullah, MA, pakar Alamtologi Dunia yang juga pengasuh Dayah Putri Muslimat, menanggapi kontroversi ini dengan bijaksana. Menurutnya, tradisi dan modernitas tidak harus saling bertentangan.

"Kita bisa menjaga tradisi tanpa harus mengorbankan kemajuan. Yang penting adalah bagaimana kita menanamkan nilai-nilai yang ada di balik tradisi itu ke dalam kehidupan modern kita," jelasnya.

Kepala SMAS Muslimat Samalanga ini menyebutkan pada akhirnya, estetika yang tercipta dalam pembuatan bulukat kuah tuhe ini bukan hanya soal tampilan atau rasa, tetapi juga tentang proses. Kesabaran, gotong royong, dan kebersamaan adalah nilai-nilai yang menghidupkan estetika tersebut.

Bagi para santriwati di Dayah Putri Muslimat, memasak kuah tuhe bukan hanya sekadar menyajikan makanan, tetapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang telah diajarkan oleh para leluhur mereka.

''Hari Santri Nasional 2024 ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa dalam setiap tradisi, terdapat nilai-nilai penting yang harus dijaga dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,' sambungnya

Dosen UNISAI Samalanga yang juga dosen pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh menguraikan bahwa relevansi tradisi di era digital  tidak boleh membuat kita melupakan esensi dari tradisi itu sendiri.

''Bulukat kuah tuhe adalah simbol dari kesabaran, gotong royong, dan kebersamaan yang tetap relevan di tengah dinamika dunia yang terus berubah,'' paparnya.

Abah H. Tu Ahmadallah, pimpinan Dayah Putri Muslimat, memberikan pandangannya yang mendalam terkait kuliner tradisional bulukat kuah tuhe dan kaitannya dengan Hari Santri Nasional (HSN). Menurutnya, kuah tuhe bukan hanya sekadar makanan, tetapi simbol dari warisan budaya Aceh yang kaya akan nilai-nilai luhur, terutama yang berkaitan dengan kebersamaan dan gotong royong.

"Kuliner endatu seperti kuah tuhe ini mengajarkan kita banyak hal. Dalam setiap prosesnya, ada nilai kesabaran, keikhlasan, dan kerjasama yang selalu diajarkan oleh para leluhur kita. Ini sangat sesuai dengan semangat yang kita junjung tinggi dalam peringatan Hari Santri Nasional," ujar Abah H. Tu Ahmadallah dengan penuh kebanggaan.

Ia juga menegaskan bahwa momen seperti HSN adalah waktu yang tepat untuk mengenang kembali perjuangan dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh generasi terdahulu, termasuk tradisi kuliner. "Kita merayakan HSN bukan hanya untuk mengenang perjuangan santri di masa lalu, tetapi juga untuk melanjutkan warisan budaya kita yang kaya, seperti bulukat kuah tuhe. Dengan cara ini, santri tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga melestarikan kearifan lokal yang menjadi identitas kita," tambahnya.

Abah H. Tu Ahmadallah berharap bahwa dengan peringatan HSN dan kegiatan memasak kuah tuhe bersama, para santri bisa semakin memahami pentingnya menjaga tradisi leluhur sambil tetap relevan di zaman modern.

"Semoga santri dan masyarakat tidak hanya menikmati lezatnya kuah tuhe, tetapi juga merenungkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Tradisi ini adalah bagian dari identitas kita yang harus terus kita lestarikan, terutama di tengah dinamika dunia yang semakin modern," pungkasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun