Mohon tunggu...
Helmi Abu Bakar elLangkawi
Helmi Abu Bakar elLangkawi Mohon Tunggu... Penulis - Pengiat Sosial Kegamaan dan Esais di berbagai Media serta Pendidik di Lembaga Pendidikan Islam

Khairunnas Affa' linnas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Radikalisme Via Online di Era Millenial Kian Membahayakan, Benarkah?

26 Oktober 2020   02:12 Diperbarui: 26 Oktober 2020   02:29 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Era millennial dengan kecanggihan teknologi dan informasi ibarat pisau bermata dua, satu sisi bisa memberikan nilai positif juga terkadang mendatangkan negative dan kemudharatan. Salah satunya dengan membuminya penggunaan interner menjadi washilah (perantara) oleh pihak radikal dalam menjalankan aksinya. 

Internet menjadi lahan basah bagi kelompok radikal, apalagi ditambah situasi seperti saat ini. ketika semua aktivitas kehidupan berbasis online

Ceramah, video pendek, provokasi lewat meme, penggiringan opini, dramatisasi suatu kebijakan, play victim, menuduh pemerintah dan pihak tertentu sebagai anti-Islam, adalah cara-cara yang dilakukan oleh kaum radikal. 

Kini di tengah pandemic kerap diadakannya seminar online oleh berbagai elemen dan peluang ini juga bisa  menjadi lahan empuk kaum radikalisme dalam menjalankan visi dan misinya. 

Suul zan atau thingking negative memang dilarang dalam agama, namun  kita wajib waspada karena bisa jadi seminar online tersebut adalah kedok dari kaum radikal untuk menyebarkan pengaruhnya. 

Apalagi jika undangannya tidak resmi melalui email, melainkan lewat grup WA. Sehingga agak susah untuk dilacak siapa sebenarnya sang pengundang. Bisa jadi mereka hanya random alias menyebar undangan ke banyak nomor WA, agar memperbanyak peserta kelas yang tertarik.

 Di online meeting, bagaimana cara mengetahui modus operasi dari kaum radikal? Biasanya di awal seminar diperlihatkan bagaimana cara untuk berdamai dan mendekatkan diri kepada-Nya. 

Namun di tengah-tengah, diperlihatkan video dan berita hoax tentang kebijakan pemerintah yang tidak mereka setujui. Juga ada narasi bahwa presiden adalah orang yang kurang bijak. Hal itu sudah membuat kita merasa aneh, ini seminar online atau ajang pencucian otak dari para teroris? 

Segera matikan laptop, komputer, atau smartphone. Jika terus ditonton maka Anda bisa terpengaruh dan dengan mudah direkrut oleh kaum radikal untuk menjadi kadernya. 

Kelas online jadi tempat untuk mempengaruhi banyak orang, terutama para remaja, karena mereka masih polos dan lebih mudah untuk dibujuk. Kaum radikal memanfaatkan aplikasi-aplikasi yang ada di gadget untuk mengadakan rapat secara daring dan kita harus mewaspadainya. 

Pemilik aplikasi juga wajib bekerjasama agar mau memberi data, jika ternyata ada anggota teroris yang mengadakan online meeting. Kita juga wajib waspada dan tidak sembarangan mengikuti kelas daring, karena bisa jadi penyelenggaranya adalah kaum radikal. (Edi Jatmiko, 2020)

Menurut  Zuhairi Misrawi, ada lima hipotesa radikalisme cyber. Pertama, internet  merupakan medan baru yang mungkin dapat dijadikan instrumen bagi kaum radikalis. Batas-batas yang selama ini ada, di tangan internet itu semuanya hilang. 

Kebebasan di dunia maya tak terkontrol. Orang bisa dengan bebas mengakses konten yang ia mau. Kedua, internet dapat dijadikan ruang menuangkan ide oleh kaum radikal. Kebebasan di dunia maya itu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk merekrut dan mengampanyekan doktrin, paham, ideologi, dan kepentingan kelompoknya. 

Ketiga, internet memudahkan penyebaran ideologi kaum radikalis. Ketimbang media offline dan cara-cara manual-konvensional, penyebaran ideologi berbasis online lebih cepat, efektif, dan lebih mudah menyasar sasaran. Keempat, internet memungkinkan menyebarkan radikalisme tanpa melalui perjumpaan fisik. 

Hanya dengan modal kuota orang bisa sepuasnya dan sebebasnya mengasekses konten-konten radikal. Dan kelima, internet memungkinkan seseorang menyebarkan radikalisme secara mandiri (self-radikalisme). (Nursaulina, 2020).

Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Leni Winarni menunjukkan radikalisme abad ini menarik agama, khususnya Islam dalam situasi dan kondisi yang tak terelakkan dan memunculkan konektivitas antara Islam dan kekerasan, sehingga merugikan dunia Islam padahal ia adalah agama yang rahmatan lil alamin. 

Kelahiran Islam ribuan abad silam bahkan tidak diwarnai dengan pedang, melainkan Islam membawa pesan-pesan perdamaian yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. 

Disatu sisi juga melabelkan bahwa radikalisme sebagai pemahaman yang sangat negatif. Ada dua hal utama yang dapat disimpulkan; Pertama, bahwa media internet mengambil porsi dan peranan yang sangat besar dalam memberikan informasi kepada publik, terutama kaum muda akan ideologi radikal. 

Hal in diperparah dengan fakta bahwa perekrutan kaum muda dalam organisasi-organisasi radikal banyak dilakukan dengan menggunakan media internet. 

Fakta bahwa organisasi teroris dan yang terafiliasi dengannya telah memanfaatkan teknologi yang dapat memudahkan mereka menyebarkan propaganda dan merekrut anggota potensialnya melalui internet adalah hal yang sangat miris dari kemajuan media massa itu sendiri.

 Kedua, media massa memegang peran kunci dalam menangkal dan memberikan informasi ke publik terhadap isu-isu radikalisme sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan pencegahan berkembangnya gerakan-gerakan ekstrimis dimulai dari lingkungannya sendiri. 

Meskipun pada dasarnya, Indonesia adalah negara Islam moderat dan radikalisme sulit berkembang di negeri ini, namun bukan berarti Indonesia tidak luput sebagai target bagi mereka, terutama generasi muda. 

Apapun itu, media massa memiliki tanggung jawab moral dan sosial terhadap publik, meskipun disisi lain pemberitaanpemberitaan itu memang menguntungkan gerakan-gerakan tersebut sebagai bentuk dari propaganda cuma-cuma.

Namun ia juga memunculkan gerakan massa dari masyarakat sendiri untuk aktif berperan serta menjaga lingkungannya dari hal-hal yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum tanpa hanya bergantung pada pemerintah. (Leni Winarni, Media Massa dan Isu Radikalisme Islam, 2014)

Menurut Fazlur Rahman (2014) ia menyebutkan bahwa Internet, dalam konteks kekerasan atas nama agama-aksi terorisme, kekerasan terhadap minoritas dan kasus konflik antara umat beragama-adalah salah satu media yang paling banyak digunakan untuk menyalurkan hasrat demokrasi tersebut. Sementara itu, banyak dari kalangan ekstrimis muslim yang memanfaatkan momen dan media tersebut untuk menyebarkan ideologi jihad mereka. 

Tentunya dengan begitu,  bermacam  ide, gagasan radikalisme, terorisme disebarkan dengan mu- dah memenfaatkan kemajuan teknologi. Di komunitas muslim lahirlah sebutan Islam Virtual. 

Di samping itu,  melalui internet banyak yang menyampaikan penafsiran mereka sendiri tentang Islam dan asas yang berkaitan dengan Islam. Hal ini memiliki implikasi yang serius dengan adanya macam-macam materi dan perspektif yang tersedia dan secara acak yang dimana informasi ini dapat diakses. 

Pengalaman pertama seseorang dengan Islam di dunia maya adalah mungkin apa yang dinamakan kelompok skirmatis (terpecahpecah) organisasi radikal sebagai suatu penafsiran ortodok arus utama. (Gary R Bunt, Islam Virtual, Menjelajah Islam di Jagat Maya,,2005)

Beranjak dari itu, di tengah masa pandemic Covid-19 dan tidak dapat dipungkiri para “pahlawan” radikalisme begitu semangat dan gerilyanya menyebarkan “virus” radikalisme dengan berbagai macam diksi dan lebel termasuk memakai narasi agama via dunia internet. Maraknya radikalisme online menjadi masalah tersendiri di tengah masih mewabahnya virus Corona. 

Kita tidak saja dituntut untuk waspada pada virus Covid-19, melainkan juga pada virus radikalisme yang terus mewabah dan mengancam disintegrasi bangsa. 

Kita harus menjaga diri dan keluarga terhadap virus radikalisme via online juga peran pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan dalam mensinergikan menangkal “virus” tersebut di dunia maya (internet) terlebih para penggunanya mayoritas merupakan kaum remaja dam ini menjadi sasaran utama kaum radikalisme. 

Akhirul kalam, kehadiran teknologi, internet dan sejenisnya  sangat memberikan andil besar dalam menyebarluaskan paham radikal, menjadi media progapanda untuk melakukan tindakan intoleran, sebagai ajang rekrutmen, pelatihan, pendidikan, pembinaan jejaring anggota guna menebar aksi teror dan bom bunuh diri di bumi Nusantara ini. 

Jangan-jangan tanpa  di sadari kita dan orang terdekat kita menjadi ‘agen” penyebaran radikalisme online, benarkah? Semoga Tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun