Â
Namanya Ibu Nurmiyati. Tetangganya biasa memanggilnya dengan Yati saja. Ibu dari tiga orang anak ini merupakan single parent. Selain kepada Tuhan, dia menaruh harapan rejekinya pada penghuni perumahan di sebelah tempat tinggalnya. Mulai dari mencucikan baju, mencuci piring, memijat, hingga membantu bidan dalam proses persalinan, dilakoni ibu usia 40 tahun ini. Ia serba bisa, dan oleh karenanya ia mampu menghidupi ketiga anaknya meski pas-pasan.
Pola bertahan hidup yang selama ini dipegangnya ternyata tak selamanya bisa diandalkan. Satu ketika, ia jatuh sakit. Kakinya terkilir, yang mana kata ahli tulang, saraf Yati terjepit. Di rumah tinggalnya di Blok Askal, Sindang, Indramayu, Yati tak mampu berjalan jauh. Perempuan yang biasanya paling mobile di lingkungannya ini, harus pasrah akan keadaan yang membuatnya terdiam selama beberapa hari.
Saya tahu, ia segan berbicara masalah biaya pengobatan. Tapi dari kesehariannya, saya memahami kondisi tersebut, dan memaklumi mengapa ia tak segera menghubungi pihak medis yang sebenarnya sering dibantunya. Pola bertahan hidup yang dimilikinya memang hanya bisa menopang biaya pokok, tak ada biaya cadangan untuk kondisi darurat semacam ini. Dan akhirnya setelah saya desak, ia membuka diri.
"Saya bingung, pak. Khawatir biaya berobat saya nanti besar. Biarlah di (pengobatan) alternatif saja," ujarnya.
Sekedar informasi, Yati merupakan salah satu ibu-ibu dampingan saya dalam program bantuan sosial yang dihelat Pemerintah. Namun untuk urusan advokasi kesehatan, saya hanya ditugaskan mendata saja, belum pada wilayah advokasi yang lebih jauh. Dan alhamdulillah, berdasarkan data, Yati merupakan pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS).
"Ibu 'kan dapat KIS, nanti bisa dibantu sama bu Maryam," kataku mencoba menjawab permasalahannya.
Bu Maryam adalah bidan desa yang sering dibantu Yati ketika membantu orang bersalin. Namun masalah ini tak diceritakannya kepada Bu Maryam. Mungkin persoalan biaya itu yang mengganjalnya. Dan akhirnya, lewat saya, Bu Maryam pun tahu kondisi sebenarnya termasuk kepesertaan KIS yang dimiliki Yati. Tanpa basa-basi, Bu Maryam pun merujuk ke fasilitas kesehatan terdekat agar Yati segera diberi penanganan.
Seminggu kemudian, saya pun berkunjung kembali ke rumah Yati. Alhamdulillah, dia sudah beraktifitas sebagaimana biasa.
"Maaf, pak, tadi membantu tetangga mengurus KTP di Balai Desa," jawabnya sambil terengah-engah.
Aku hanya tersenyum saja. Bersyukur atas kesembuhannya.