Langit gerimis, aku melekaskan langkahku.Â
Biar amat! Toh rintik tak membasahi kausku. Semena rentang tujuanku, membelanjakan roti kroasan di Kafe, yang jaraknya tersisa sepelemparan batu saja.
Dan aku sudah melewati pintu kayunya sekarang, yang segra terharum aroma sgalamacem yang indah. Kue-kue lumer dan minuman yang tenang sampai yang berbuih.
He cantik! Paramupria bersarung tangan menyapa dari balik bakerinya.
Seperti biasa? Sapanya
Yak! Seperti biasa! Jawabku.
Duduklah!
Baiklah!
Lalu aku memilih kursi yang dekat dengan kaca-kaca bakeri yang fragrance nan mengunggah selera. Mataku berkeliling ke sekitar, memandang orang-orang bercengkerama menikmati hidangan dan suasana.
Sampai aku menemukannya. Tampak dia duduk bersendiri di dekat meja bar. Dia memakai kaus yang sama dengan kausku. Aku berhenti di sosoknya, apakah dia sehebat ketika di lapangan rumput hijau? Ah, aku pikir dia tidak sedang...?
Halo? Suara bakeryman mengejutkanku.
Ah! Sudah selesai? Kata basa-basiku.
Pelayan itu mengangguk senyum dan menyerahkan paper bag yang memuat roti pesananku.
Silakan ke kasir, nona! Urusnya.
Aku mengangguk. Tetapi tatapanku masih tidak lepas dari lelaki dengan kaus bernomor punggung tujuh yang duduk di seberang itu.
Ku beranikan hasrat untuk mendekat, semakin ku dekat dia seperti tidak bergerak. Dan aku semakin yakin, pastilah dia pria yang ku maksud. Tetapi kini aku menemukannya sendirian di bar.
Setelah tiba di mejanya aku memberi clue, agar dia mempersilakan ku duduk  bersamanya, namun dia  tone deaf, mukanya begitu ruwet dan tak acuh.
Sehingga ku putuskan menyeret kursi di sebelahnya. Barulah matanya menatapku, sebuah tatapan orang terkenal kepada seorang fans.
Apa yang salah? Aku bertanya.
Itu karena kausnya! Jawab pria itu singkat.
Ada apa dengan kaus itu?
Ah! Kau juga memakai kaus nomer tujuh itu? Mata lelaki itu menerawang kausku.
Masalahnya? Tanyaku.
Kau tau, saat aku memakainya, kaus itu menggantung di punggungku seperti kain kafan. Seperti kotoran beracun yang meneteskan kutukannya ke kulitku.
Kau mau tau lebih lagi? Itulah tattoo terbesar dan terburuk di punggungku. Katanya berwajah sendu.
Hei! Aku menginginkan kaus ini sejak aku masih kecil! Lihatlah! Kataku sembari berdiri dan berputar sehingga angka tujuh di punggung kaus yang kupakai berkedip berputaran. Dia senyum masam.
Aku memakainya sebelum permainan, dan itu begitu harum seperti mimpi. Kini kaus ini membuat bauku menjadi masam! Lanjutnya parah.
Tidak tuan! Kupikir kau tetap beraroma semerbak selama ini! Balasku.
Lalu lengannya mengangkat minumannya dan dia mereguk hingga kerontang.
Aku sudah melakukannya, itu membuatku sakit, lemah dan paranoid! Katanya bergetar.Â
Dan dia berdiri sedikit goyah, lalu berbalik dan kedua kakinya yang istimewa itu melangkah limbung meninggalkanku.
Aku memandangi punggungnya yang bernomor tujuh. Mataku mencoba membelalak, sepertinya angka tujuh itu terlihat suram. Tidak seperti yang kerap ku temukan di layar kaca, nomor tujuh yang bercahaya.
Aku beringsut pulang, melewati meja panjang bar dengan beberapa televisi memancar di papan-papan atasnya.
Di layar televisi terakhir aku berhenti, pada rekaman ulang permainan sepakbola penting itu.
Hatiku berdebar menatap tendangan penalti yang sedang berlangsung di monitor, dan aku menahan napas ketika tendangan penalti itu gagal. Si penendang berkaus tujuh itu tampak tertunduk menutupi wajahnya. Suara stadium tidak setitikpun terdengar, mirip kuburan.
Mataku sendiri masih belum juga mempercayainya, hingga saat aku melangkah keluar kafe, aku mulai merasakan kaus tujuh yang kupakai ini. Mengapa jadi terasa begitu usang?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H