Ku beranikan hasrat untuk mendekat, semakin ku dekat dia seperti tidak bergerak. Dan aku semakin yakin, pastilah dia pria yang ku maksud. Tetapi kini aku menemukannya sendirian di bar.
Setelah tiba di mejanya aku memberi clue, agar dia mempersilakan ku duduk  bersamanya, namun dia  tone deaf, mukanya begitu ruwet dan tak acuh.
Sehingga ku putuskan menyeret kursi di sebelahnya. Barulah matanya menatapku, sebuah tatapan orang terkenal kepada seorang fans.
Apa yang salah? Aku bertanya.
Itu karena kausnya! Jawab pria itu singkat.
Ada apa dengan kaus itu?
Ah! Kau juga memakai kaus nomer tujuh itu? Mata lelaki itu menerawang kausku.
Masalahnya? Tanyaku.
Kau tau, saat aku memakainya, kaus itu menggantung di punggungku seperti kain kafan. Seperti kotoran beracun yang meneteskan kutukannya ke kulitku.
Kau mau tau lebih lagi? Itulah tattoo terbesar dan terburuk di punggungku. Katanya berwajah sendu.
Hei! Aku menginginkan kaus ini sejak aku masih kecil! Lihatlah! Kataku sembari berdiri dan berputar sehingga angka tujuh di punggung kaus yang kupakai berkedip berputaran. Dia senyum masam.
Aku memakainya sebelum permainan, dan itu begitu harum seperti mimpi. Kini kaus ini membuat bauku menjadi masam! Lanjutnya parah.
Tidak tuan! Kupikir kau tetap beraroma semerbak selama ini! Balasku.
Lalu lengannya mengangkat minumannya dan dia mereguk hingga kerontang.
Aku sudah melakukannya, itu membuatku sakit, lemah dan paranoid! Katanya bergetar.Â
Dan dia berdiri sedikit goyah, lalu berbalik dan kedua kakinya yang istimewa itu melangkah limbung meninggalkanku.
Aku memandangi punggungnya yang bernomor tujuh. Mataku mencoba membelalak, sepertinya angka tujuh itu terlihat suram. Tidak seperti yang kerap ku temukan di layar kaca, nomor tujuh yang bercahaya.
Aku beringsut pulang, melewati meja panjang bar dengan beberapa televisi memancar di papan-papan atasnya.
Di layar televisi terakhir aku berhenti, pada rekaman ulang permainan sepakbola penting itu.