Hatiku berdebar menatap tendangan penalti yang sedang berlangsung di monitor, dan aku menahan napas ketika tendangan penalti itu gagal. Si penendang berkaus tujuh itu tampak tertunduk menutupi wajahnya. Suara stadium tidak setitikpun terdengar, mirip kuburan.
Mataku sendiri masih belum juga mempercayainya, hingga saat aku melangkah keluar kafe, aku mulai merasakan kaus tujuh yang kupakai ini. Mengapa jadi terasa begitu usang?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!