Hatiku berdebar menatap tendangan penalti yang sedang berlangsung di monitor, dan aku menahan napas ketika tendangan penalti itu gagal. Si penendang berkaus tujuh itu tampak tertunduk menutupi wajahnya. Suara stadium tidak setitikpun terdengar, mirip kuburan.
Mataku sendiri masih belum juga mempercayainya, hingga saat aku melangkah keluar kafe, aku mulai merasakan kaus tujuh yang kupakai ini. Mengapa jadi terasa begitu usang?Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!