Lalu kami bersua kerna sudah mulai ada rindu di saat fajar menyingsing sebelum mulai kelas.
Kenapa? Tanya saya.
Aku mendesain jubah bayi yang baru lahir! Jelas Mey tersipu elok.
Kembali saya meneliti image itu di gajet saya, sebuah pola baju bayi yang begitu ceria, berwarna biru seperti sayap burung liar yang kalem.
Kenapa bayi?
Itu bajuku waktu aku lahir, Andre!
Whats?
Ya, aku pikir aku sudah mendesainnya tak lama sebelum aku lahir! Kata Mey merenung.
Namun saya kurang menanggapinya, mungkin si Mey sedang terhanyut dalam desain fashion mahluk mungil itu.
Lalu kami sekolah sampai lulus. Dan membuat hati saya mematah, adalah saat Mey memutuskan tidak berkehendak melanjut kuliah fashion design. sementara saya sudah kadung berjanji pada ortu untuk kuliah ke Paris.
Kenapa?
Aku akan mendesain autodidak!
No, Mey! Kau harus meningkatkan sense dengan kuliah ilmu desain! Pinta saya.
Tidak Andre, aku akan punya lebih banyak waktu untuk mendesain hidupku sendiri! Jelas Mey.
Lalu kami harus berpisah, dan Mey menangis, waktu itu di bandara tiga dan saya otw Paris. Saya memeluk tubuhnya yang kurus. Sudahlah Mey! Don't you cry to night, I still love you baby! Bujuk saya menenangkan seperti Guns n'Roses.
Meskipun hati saya juga break, Â tapi saya minta Mey bersabar sampai saya tamat master.
Kau tak perlu memaksakan, Andre! Biar saja mengalir! Katanya lirih. Lalu saya goodbye kepada perempuan langsing semampai itu dengan harapan yang menggumpal sepulang dari kota Paris kelak.
Lalu mulai periode LDR, tapi selama kesibukan saya begadang kuliah Mey sangat jarang membalas chat saya, hanya sesekali saja. Dia mengisyaratkan dia begitu konsen dan penuh kontemplasi katanya. Sehingga kami mulai langka berkomunikasi, meski tetap membikin saya masjgul.