Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seorang Tukang Survei yang Tersisa

3 Desember 2023   22:33 Diperbarui: 3 Desember 2023   22:54 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar pixabay.com

Pernahkah kamu bertemu dengan petugas survei? Ini suatu cerita tentang dia.
Itu terjadi di tahun yang akan datang, mungkin tak seberapa berjauhan dengan tahun depan 2024.

Sebenarnya saya kembali dari masa lalu, sehingga saya dikenal sebagai petugas sensus. Saya bekerja buat mencari orang-orang, menyusuri desa-desa untuk mencatat orang-orang apakah semakin berkembang ataukah semakin menyusut.

Hingga petugas sensus musnah dan diganti petugas survei. Saya masih mendatangi orang-orang sekarang.

Saya tiba di sebuah desa berpinggiran hutan, untuk mensurvei apakah mereka mau memilih. Jika mau, memilih siapa? Kenapa? Kenapa dia? Kenapa bukan yang lain? Dan pertanyaan ruwet buat orang-orang yang hidup di waktu sekarang.

Saya berjalan mencari rumah di tengah pepohonan yang sudah tidak berdaun dan tanahnya gundul, tapi rumah-rumah kondisinya sudah menghitam dari atap sampai pintunya. Tidak ada suara dari dalam rumah, kecuali angin.

Saya memasuki satu rumah yang condong, dindingnya dari semen dan keatas papan kayu. Saya mendorong pintunya yang tiba-tiba terbuka sendiri. Seperti ada efek bantingan dari orang yang masuk sebelum saya.

Ruangan rumah hanya dua kotak persegi, ruang serbaguna dan dapur, tidak ada kasur, atau kompor. Hanya satu meja di ruang tengah yang rapuh, ada beberapa kertas yang kering berisi tulisan pudar. 

Dari tanggalnya itu sekitar lima tahun lalu, tulisannya enggak jelas, tapi sebagian terbaca. Kami enggak akan memilih kamu lagi! Hanya itu yang terbaca, selebihnya seperti cacing. Tapi di baris yang paling bawah terbaca tulisan. Kami telah tertipu!

Saya mengantungi kertas itu dan menuju ke dapur, hanya tungku batu saja yang masih berdiri di lantai semen, selebihnya debu dan sunyi. Saya keluar rumah itu dan mencatat di buku survei.

Selanjutnya saya menuju rumah lain, sedikit berjauhan. Tapi bangunannya sebelas duabelas dengan rumah pertama. Kembali saya mendorong pintunya, tetapi terasa berat, seperti ada yang menahan. 

Saya mendorongnya lebih kuat sampai terbuka tanpa menemukan seorangpun. Mungkin penghuni sebelumnya selalu memalang pintunya hingga terasa berat.

Di dalam, saya mendapati ruang tengah yang sedikit luas, beberapa barang teronggok, seperti sepeda rusak, jaket bomber yang sobek, ada juga beberapa serpihan kantung sembako. 

Saya pun memasuki kamar tidurnya, kosong, hanya beberapa sepatu snikers butut dan kemeja motif kotak-kotak yang warnanya sebagian punah. 

Masih ada tertinggal satu lemari pakaian reyot yang kosong, di kayu dalamnya saya membaca tulisan seperti tulisan anak-anak. Kenangan manis telah selesai! Begitu saya membacanya.

Saya kembali ke ruang tengah dan mengambil catatan survei dan menuliskan apa yang saya temukan, setelah itu saya melangkah ke luar.

Kembali berjalan beberapa puluh meter untuk menggapai rumah selanjutnya.
Saya membuka pintunya yang ringan, sepertinya bekas penghuninya adalah seorang yang suka menolong, atau sukarelawan. 

Ketika saya menginjak ke dalam, rumah ini begitu luas, ada meja besar dengan banyak kursi yang masih cukup baik kondisinya. Di ruangan lain yang cukup besar ada kain-kain sablon yang sudah lusuh. 

Beberapa banner bertumpuk, tapi tulisannya sudah menghilang hanya terbaca tiga kata tersisa. Relawan sampai mati! Membuat saya mengangguk-angguk, berusaha memahami yang tidak saya mengerti.

Lalu saya mengeluarkan catatan survei dan menuliskan apa yang saya saksikan.

Ketika saya meninggalkan rumah terakhir ini, saya merasakan capek, dan beristirahat di sebuah taman yang sudah gersang, taman itu seperti mengalami musim gugur yang hebat. Tanamannya tidak berdaun dan pohonnya tersisa tunggulan saja.

Saya memandang sekeliling dan melihat kawasan perumahan itu tampak lantak dan semua pohon tumbang. Tidak saya temukan seorangpun untuk bisa menghitung orang-orang di dalamnya. tetapi saya tetap berusaha menghitungnya dengan data yang ditinggal para pemiliknya.

Ada rasa kesedihan dalam diri saya melihat rumah-rumah yang ditinggalkan, seperti kehilangan janji mereka untuk melestarikan spesies mereka sepuluh tahun lalu. 

Kesedihan saya sebagai tukang survei karena harus menghitung jiwa, dimana jumlah mereka semakin sedikit setelah sepuluh tahun ini. Dan ini bisa menjadi ekstrim, dimana jumlah mereka menyusut hingga tidak ada sama sekali.

Saya kembali membuka catatan survei dan kembali mengolah data yang sudah saya kumpulkan, dan siap untuk dirilis.

Satu minggu kemudian, ketika saya kembali ke kota saya membaca semua hasil survei orang lain yang menunjukkan hasil yang sama, yaitu orang-orang terus hidup dan berkembang. Ya itulah, persis seperti hasil survei-survei  yang kamu baca sehari-hari itu.

Dan ini sangat berlawanan dengan hasil survei yang telah saya lakukan kemarin ini, dimana dari hasil survei saya, bahwa kita tidak berbeda dengan mereka yang gagal untuk hidup dan berkembang.

Saya merasa sedih dua kali, dan berniat kembali menjadi tukang sensus seperti jaman baheula, meski saya mesti mendatangi kembali rumah-rumah tua yang kosong. 

Dimana tidak ada lampu menyala, dengan kompor yang tertinggal dingin. Hanya sisa-sisa tulisan kertas dan barang yang terkenal di sepuluh tahun yang lalu, yang masih tergeletak di atas meja yang di satu sisinya tidak mempunyai kaki lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun