Ada rasa kesedihan dalam diri saya melihat rumah-rumah yang ditinggalkan, seperti kehilangan janji mereka untuk melestarikan spesies mereka sepuluh tahun lalu.Â
Kesedihan saya sebagai tukang survei karena harus menghitung jiwa, dimana jumlah mereka semakin sedikit setelah sepuluh tahun ini. Dan ini bisa menjadi ekstrim, dimana jumlah mereka menyusut hingga tidak ada sama sekali.
Saya kembali membuka catatan survei dan kembali mengolah data yang sudah saya kumpulkan, dan siap untuk dirilis.
Satu minggu kemudian, ketika saya kembali ke kota saya membaca semua hasil survei orang lain yang menunjukkan hasil yang sama, yaitu orang-orang terus hidup dan berkembang. Ya itulah, persis seperti hasil survei-survei  yang kamu baca sehari-hari itu.
Dan ini sangat berlawanan dengan hasil survei yang telah saya lakukan kemarin ini, dimana dari hasil survei saya, bahwa kita tidak berbeda dengan mereka yang gagal untuk hidup dan berkembang.
Saya merasa sedih dua kali, dan berniat kembali menjadi tukang sensus seperti jaman baheula, meski saya mesti mendatangi kembali rumah-rumah tua yang kosong.Â
Dimana tidak ada lampu menyala, dengan kompor yang tertinggal dingin. Hanya sisa-sisa tulisan kertas dan barang yang terkenal di sepuluh tahun yang lalu, yang masih tergeletak di atas meja yang di satu sisinya tidak mempunyai kaki lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI